Halaman

Visi Habibie, Visi Teknologi Indonesia. (3)

Deregulasi tanpa evaluasi

SitePlan - KrakatauSteel
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, IPTN dan PAL, misalnya, telah cukup menguasai beberapa keterampilan teknologi yang cukup berarti. Masalahnya adalah apakah kemampuan teknologi ini telah menciptakan suatu luapan(spill over) teknologi yang bisa dimanfaatkan industri industri lain. Sebab, hanya dengan melihat pengaruh ini, kita akan bisa mengatakan sumbangan IPTN dan PAL terhadap pendalaman struktur industri di dalam negeri. Ataukah, kedua jenis in- dustri strategis tersebut hanya sebagai satu pulau teknologi yang terisolasi, yang tidak memberikan sumbangan terhadap kemajuan teknologi industri lain di sekitarnya.


IPTN, misalnya, dari kegiatannya selama ini telah memiliki kemampuan teknologi yang bisa dimanfaatkan oleh industri lain. Pengetahuan yang diperoleh IPTN dalam bidang metalurgi, material komposit, mik- roelektronik, telekomunkasi, merupakan pool pengetahuan yang bisa dimanfaatkan oleh industri lain seperti industri mesin, otomotif, atau kapal. Tapi kemampuan teknologi yang dimiliki IPTN ini kelihatannya belum merambah ke luar untuk dimanfaatkan oleh industri lain. Untuk pemerataan teknologi, IPTN misalnya dapat menggunakan sistem subkontrak dan kerja sama dengan industri ringan yang banyak terdapat di sekitar Bandung. Produksi barang-barang teknik yang dihasilkan industri lokal ini juga sudah cukup bermutu. Tapi untuk sebab yang belum jelas, IPTN belum melakukan alih teknologi kepada industri teknik sekitarnya.


Mungkin masih ada ketakutan bahwa mutu industri komponen lokal belum bisa diandalkan, dan bahwa mereka kurang memiliki keterampilan yang diperlukan untuk menjadi pemasok. Seperti dikatakan oleh Suleman Wiriadidjaja, Wakil Presiden Senior PT PAL, ''Para pemasok itu tidak profesional. Mereka tidak punya insinyur''. Tapi, kalau pemasok lokal ini bisa dikembangkan, beberapa industri strategis ini akan menerima manfaat, dalam bentuk dikuranginya komponen yang harus didatangkan lewat im- por. Di PAL, misalnya, 70% ongkos pembuatan satu kapal merupakan biaya komponen impor. Ini bisa mengikis keunggulan komparatif ongkos buruh yang murah. Dan ini juga menunjukkan bahwa industri padat teknologi di sini ternyata masih merupakan industri padat impor. Padahal, produk industri strategis sebagian besar masih dijual di pasar dalam negeri yang dijamin.


Untuk bisa membenarkan fasilitas subsidi dan proteksi yang diberikan Pemerintan selama ini, industri strategis ini harus bisa menghasilkan aliran devisa neto yang positif. Tapi justru di sinilah dilema terjadi. Makin lama proteksi dan subsidi diberikan, makin manja sebuah industri, dan makin sulit berdiri tegak sebagai industri yang dewasa. Dan makin lama sebuah industri menjadi industri anak yang disusui, makin banyak subsidi dan proteksi harus diberikan. Lingkaran setan ini akan masih dihadapi beberapa industri strategis, tanpa diketahui kapan didobrak dan diakhiri. Dengan alasan mengembangkan industri dengan teknologi canggih, pemerintah, sekalipun dengan berat hati, masih memberi perlindungan dan subsidi kepada industri- industri ini.


Dan jangan Anda mencoba membicarakan deregulasi untuk industri strategis, kecuali sebuah industri yang tampaknya merupakan satu kekecualian. Pelajaran Dari Cilegon PT Krakatu Steel sudah merasakan betapa pahitnya apabila hak monopoli membikin dan mengimpor baja yang dinikmatinya selama ini dicabut secara pelan-pelan.


Dari perusahaan yang memiliki hak monopoli untuk mengimpor beberapa jenis baja, dan yang produknya juga dilindungi dari saingan impor, sekarang PTKS harus mencoba peruntungannya dengan kekuatan sendiri. Ada beberapa sebab yang mungkin bisa menerangkan kenapa deregulasi harus diberlakukan terhadap PTKS.


Pemerintah menyadari bahwa proteksi yang terlalu lama terhadap industri baja tidak menguntungkan dan bahkan menghambat kemajuan industri lainnya. Sementara itu, beberapa faktor eksternal memberi lingkungan yang menguntungkan buat PTKS. Beberapa negara yang lebih maju seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan sudah menghentikan industri baja yang menghasilkan jenis yang kelas bawah. Karena ongkos buruh yang tinggi, industri ini tidak kompetitif lagi. Mereka beralih ke industri yang memproduksi jenis baja yang bermutu lebih tinggi, dengan nilai tambah yang lebih besar, seperti silicon steel, alloy steel, dan transformer. Untuk produksi baja jenis ini, mereka bisa menggunakan teknik produksi yang kurang padat karya, dengan teknik yang lebih maju, tapi efisien. Mereka telah menghentikan produksi jenis- jenis yang bernilai tambah lebih rendah seperti pipa tiang pancang, besi beton, dan kawat baja, jenis baja yang sekarang dibikin PTKS. Karena upah buruh di sini sepersepuluh upah buruh Jepang atau Taiwan, produksi baja Indonesia ini cukup kompetitif. Inilah yang menerangkan mengapa PTKS berhasil mengekspor 30% produksinya. Laba PTKS yang meningkat pesat dari Rp 84 miliar pada 1984 menjadi Rp 198 miliar pada 1990 -- sebagian besar berasal keuntungan dari ekspor.


Harus diakui bahwa laba yang besar ini sebagian berasal dari kenaikan harga baja di pasar internasional akibat terjadinya kelangkaan, tapi pasar yang dapat diraih PTKS mempunyai arti tersendiri. Keuntungan yang cukup besar yang diperoleh PTKS telah memperkuat posisi keuangannya, sehingga lebih mudah bagi bank- bank untuk membantu kebutuhannya. Hal ini dibuktikan ketika PTKS harus menyuntikkan dana SU$ 290 juta kepada PT CRMI yang terus-menerus mengalami kerugian. PT yang sahamnya 40% milik PTKS, 40% lagi milik PT Kaolin Indah Utama (milik Liem Sioe Liong dan Ciputra), dan 20% milik Sestiacer SA dari Belgia ini, sejak didirikannya pada 1984, selalu menderita rugi karena kapasitas produksinya hanya mencapai 49%, padahal titik impas diperoleh apabila produksi mencapai 80% kapasitas. Ketika utang PT CRMI menggelembung menjadi US$ 469 juta, dan tak ada harapan bahwa utang ini akan dapat dibayar, PTKS langsung menyuntikkan dana US$ 290 juta, sekalipun ini berarti mayoritas kepemilikan saham PT CRMI akhirnya jatuh ke tangan PTKS.


Tanpa proteksi, sekarang ini PT KS harus menghadapi persaingan impor. Situasi memang sedikit rawan dengan adanya dumping baja dari negara Eropa Timur dan bekas Uni Soviet yang menekan harga baja. Tapi, dengan perbaikan efisiensi yang terus dilakukan selama ini, PTKS tampaknya akan sanggup mengatasi saingan ini. Orang bisa saja mempersoalkan, kenapa deregulasi untuk industri baja tidak dilakukan dari dulu, sehingga sejak dulu PTKS dipaksa bekerja lebih keras. Mungkin memang agak terlambat, tapi kasus yang terjadi di PT Krakatau Steel, yang kurang lebih seusia IPTN, menunjukkan bahwa sebuah industri strategis pada akhirnya bisa dilepas untuk berusaha sendiri, tanpa perlindungan yang ketat.


IPTN sudah berumur 15 tahun, tapi Habibie mengatakan, ''Berilah kami lima belas tahun lagi, dan lihat apa yang akan terjadi.'' PT Krakatau Steel mungkin tak perlu waktu lima belas tahun lagi untuk menunjukkan apa yang terjadi. Pemerintah Bukan Sinterklas Sampai di sini, beberapa industri strategis Indonesia sudah menempuh perjalanan yang panjang. Usahanya pun juga tidak sia sia. Apa yang dihasilkan IPTN, PAL, dan Krakatau Steel menun- jukkan kemampuan teknologi yang telah dikuasai Indonesia. Kalau sekarang timbul desakan untuk selalu membandingkan hasil yang dicapai dengan biaya yang dikeluarkan, hal ini disebabkan adanya kesadaran bahwa kemampuan keuangan Pemerintah sekarang bukanlah keuangan Pemerintah tahun 1970-an. Makin disadari bahwa Pemerintah bukanlah sinterklas, dan bahwa keuangan Pemerintah bukan tanpa batas. Setiap sen yang dikeluarkan Pemerintah harus bisa dipertanggungjawabkan, untuk apa, dan manfaatnya apa.


Maka, wajar kalau prestasi yang ditunjukkan beberapa industri strategis mulai dikaji dalam perspektif yang berbeda. Juga wajar jika industri-industri strategis ini mulai dituntut untuk lebih terbuka dalam sistem keuangannya. Kelemahan yang mencolok pada industri-industri ini adalah lemahnya manajemen keuangan.


PT PAL, misalnya, sampai sekarang belum mempunyai seorang direktur keuangan sendiri. Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan PT PAL tidak terkontrol dengan wajar. PAL mengalami kerugian besar dalam pembikinan dan pengoperasian jetfoil. Biaya personalia juga tampaknya berlebihan. Direksi PAL mempunyai 38 orang staf ahli yang tidak jelas fungsinya. Sejak tahun 1990 sampai triwulan III 1992, akumulasi kerugian PAL sudah mencapai Rp 81 miliar. Sementara itu, subsidi Pemerintah kepada PT PAL ini sudah sangat besar. Ini dapat dilihat, misalnya, pada program pembikinan kapal Caraka Jaya. Harga jual kapal ini yang wajar diperkirakan Rp 21 miliar. Tapi PT PANN, sebuah perusahaan pelayaran, hanya membayar Rp 10 miliar. Kerugian PAL ditutup oleh Pemerintah. Padahal, menurut rencana, PAL akan memproduksi 58 kapal Caraka Jaya, yang semuanya merupakan pesanan perusahaan pelayaran swasta dalam negeri dan BUMN. PAL memang belum mengekspor produksinya. Pasar dalam negeri yang masih besar dan masih dilindungi dari impor kapal masih akan membikin PAL sibuk untuk beberapa tahun mendatang. Juga saat ini sulit menentukan apakah PT PAL sudah untung atau belum. Dari segi pembukuan, Pemerintah masih harus menentukan berapa porsi dana yang sudah dikeluarkan akan dianggap sebagai modal penyertaan (equity), dan berapa yang akan dianggap sebagai pinjaman. Dan kalau dianggap sebagai pinjaman, Pemerintah masih harus menentukan berapa suku bunga yang akan dibebankan. Dan dana yang statusnya harus diputuskan ini sudah mencapai jumlah Rp 555 miliar per akhir 1991. Tapi memang memperoleh laba bukan pertimbangan utama, karena misi PAL lebih memberat pada peningkatan keterampilan dalam industri perkapalan.


Tanpa kontrol dan kriteria yang jelas, dana akan terus mengucur, dan Pemerintah akan harus membayar sangat mahal. Industri-industri ini wajib menyadari bahwa mereka tidak bisa hanya meneropong lompatan teknologi ke depan. Pembenahan dan perbaikan manajemen juga merupakan kewajiban yang setaraf dan tak kalah pentingnya dengan kiprah mereka di bidang teknologi. Mereka juga harus menyadari bahwa kemampuan Pemerintah di bidang pendanaan untuk selalu memberi subsidi makin terbatas, karena makin banyaknya proyek yang lebih mendesak.


Tapi apabila komitmen terhadap pembangunan industri teknologi tinggi sudah merupakan keputusan politik, dan karena itu harus direalisasi, Pemerintah harus menyediakan dana dari sumber lain. Pos penyertaan modal Pemerintah kepada BUMN sudah sangat terbatas dan tidak mungkin investasi untuk industri strategis diambil dari anggaran ini. Kenapa tidak menjual sebagian saham BUMN lain, dan lalu menggunakan hasil penjualan ini untuk pengem- bangan industri strategis? Tapi menjual sebagian saham BUMN di pasar modal dalam negeri menimbulkan risiko terjadinya crowding out, dana masyarakat habis disedot kemari, hingga yang tersisa buat sektor swasta jumlahnya kecil. Maka, muncullah gagasan agar beberapa BUMN go international.


Memang menarik bahwa inisiatif dan penjajakan awal untuk BUMN go international ini berasal dan dilakukan oleh Habibie sebagai Menristek, dan bukan oleh Menteri Keuangan, sebagai komisaris BUMN atas nama Pemerintah. Apakah ini berarti bahwa kalau usaha BUMN go international ini menghasilkan penerimaan dana yang cukup besar buat Pemerintah, Habibie sebagai Menristek merupakan pihak yang paling berhak mengklaim penggunaan dana tersebut untuk pengembangan industri strategis?


Dalam pidatonya selama 75 menit tanpa teks itu, Habibie untuk pertama kalinya memberi isyarat bahwa dia tahu prinsip ekonomi, sekalipun bukan ekonom. ''Kalau kita harus mengeluarkan US$ 100 ribu tapi rugi, kita tidak akan mengeluarkannya. Tapi kalau harus megeluarkan US$ 1 juta tapi untung, kita akan mengeluarkannya,'' kata Habibie. Kalau Habibie bisa konsisten dengan sikapnya ini, ada harapan bahwa kontroversi di sekitar industri teknologi tinggi akan dihadapi dengan pendekatan yang realistis, bukan dengan pendekatan yang penuh emosi dan motif politik.


Dan strategi seperti inilah yang dipakai negara-negara lain dalam bidang teknologi tinggi. Di samping memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi, bagi Indonesia yang penting adalah kemungkinan keikutsertaan swasta dalam industri teknologi ini. Toh pada akhirnya hasil riset atau penemuan teknologi yang semula dibiayai Pemerintah akan bisa dimanfaatkan oleh industri swasta. Masa saat pemerintah memonopoli industri teknologi tinggi dan kegiatan riset sudah banyak ditinggalkan dan diganti dengan kemitraan pemerintah dan swasta. Sebab, bila monopoli pemerintah dibidang ini berlangsung tanpa batas, baik dalam pendanaan maupun jangka waktu, industri ini tidak akan pernah dewasa, dan ini berarti beban yang cukup berat bagi APBN, dan beban yang berat yang harus dipikul pembayar pajak negeri ini. Tentunya ini akan mengurangi keindahan mimpi masa depan, seperti yang selalu dilukiskan Habibie selama ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...