DSBC Erlyne 50.000 DWT - PT PAL |
Pada 1987, PT PAL mengembangkan sayap membuka divisi General Engineering (GE / Rekayasa Umum). Suleman memotori peluncuran Divisi ini. Idenya muncul setelah mengetahui sudah cukup banyak awak PT PAL yang menguasai ketrampilan di bidang GE. Sementara itu PT PAL masih memiliki bengkel kerja yang masih belum terpakai, dan bisa dimanfaatkan untuk bengkel kerja Divisi GE.
Langkah awal Suleman dalam membidani kelahiran Divisi GE adalah meyakinkan seluruh anggota Direksi PT PAL yang waktu itu mayoritas masih dari unsur TNI-AL-bahwa PT PAL sesungguhnya merupakan engineering company. Karena kapal berkait erat dengan mesin. Di sana ada engine room yang isinya mesin semua. Sehingga untuk membangun kapal diperlukan pula keahlian di bidang mesin (general engineering). Atas dasar itu, PAL perlu memiliki Divisi GE, yang punya ahli-ahli di bidang permesinan, termasuk ahli konstruksi mesin, bubut, pipa, dan sebagainya, guna membantu divisi lain mengatasi masalah engineering dalam proses produksi kapal.
Pembentukan Divisi GE amat strategis, bukan cuma untuk membantu divisi lain dalam masalah engineering, tapi ikut pula memberikan pemasukan bagi perusahaan. Karena bila pemasukan PT PAL hanya bergantung dari produksi kapal serta layanan pemeliharaan dan perbaikan kapal, maka manakala order dari kedua sektor itu menurun, income PAL akan menurun pula, dan keadaan tersebut berpotensi membahayakan kelangsungan hidup perusahaan. "Karena itu kita memerlukan satu 'kaki' baru, yang bisa menarik income sendiri, disamping mensupport divisi lain", tutur Suleman. 'Kaki' baru itu adalah Divisi GE.
Direktur PAL akhirnya sepakat untuk mendirikan Divisi GE, B.J. Habibie selaku Direktur Utama (waktu itu) memberi "lampu hijau". Sehingga Divisi ini terbentuk dan beroperasi sejak tahun 1987.
Benar juga ahli-ahli dari Divisi GE banyak membantu mengatasi masalah engineering yang dihadapi divisi lain. Sementara itu Divisi tersebut juga bisa mengerjakan proyek-proyek yang menghasilkan uang.
Divisi GE di PT PAL juga dikenal sebagai Divisi Non-Kapal, karena mengerjakan order-order di luar bidang perkapalan, selain tetap membantu divisi lain dalam masalah engineering. Divisi ini telah memproduksi turbin uap dan perlengkapannya, mesin diesel, crane, dll. Juga mengerjakan konstruksi-konstruksi berat seperti jembatan, bangunan lepas pantai, dan sebagainya. "Kami juga sudah mengerjakan perbaikan mesin pabrik gula, meski masih dalam skala kecil," kata General Manager divisi GE, Ir. Kusimawati Rukminto pada saat itu.
Dalam perkembangannya, Divisi GE secara bertahap diperkuat dengan peralatan-peralatan modern, untuk menghasilkan produk-produk berkualitas tinggi. Divisi inipun melakukan kerjasama alih teknologi dengan perusahaan-perusahaan engineering di sejumlah negara, seperti Jerman, Swedia, Jepang dan Finlandia. Kerjasama-kerjasama tersebut telah membuahkan hasil yang menggembirakan.
Sebagai contoh, kerjasama dengan Mitsubishi Heavy Industry (MHI), Jepang, telah menghasilkan produk-produk komponen pembangkit listrik temaga uap (PLTU). PT PAL (dalam hal ini Divisi GE-nya), sebagai sub-kontraktor lokal MHI, memfabrikasi balance of plant (BOP) untuk Proyek PLTU Gresik.
PT PAL juga bekerjasama dengan MHI melaksanakan fabrikasi BOP untuk PLTU Suralaya 3 x 600 Megawatt (MW) . Juga bekerjasama dengan MHI, PT PAL mengerjakan proses permesinan (machining) turbin uap berkapasitas 190 MW untuk PLTU Gresik. Dalam hal ini komponen setengah jadi dipasok MHI dan dirakit oleh PT PAL dengan technical assistance dari MHI. Kerjasama dengan MHI dilaanjutkan untuk machining perlengkapan turbin uap PLTU Suralaya 3 x 600 MW.
PT PAL bahkan telah mendirikan perusahaan patungan dengan MHI, dengan nama PT POSSI, yang bergerak dalam bidang jasa perawatan, perbaikan dan modifikasi turbin uap dan turbin gas.
Kerjasama dengan Warstila dari Finlandia, juga telah menghasilkan produk-produk pembangkit tenaga listrik dan mesin kapal. Dengan MAN GHH (Jerman), menghasilkan level luffing crane.
Hampir 100% ordernya berasal dari luar negeri. Antara lain dari General Electric, USA, yang memesan turbin gas dan perlengkapannya untuk proyek-proyek PLN. "Selama ini kami mendapat order dari luar, terutama dari Jepang, Amerika, dan negara-negara Eropa", tambah Kusimawati.
Karena hampir semua ordernya dari luar negeri, Divisi GE tidak terkena dampak melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika selama krisis moneter. Bahkan Divini ini sekarang merupakan salah satu Divisi yang penting di PT PAL, karena kontribusinya relatih tinggi dalam memberikan profit bagi perusahaan.
Menurut Direktur Utama PT PAL Dr. Ir. Adwin H. Suryohadiprojo, MBA, keuntungan rata-rata per-tahun Divisi GE masih di bawah divisi-divisi lain di BUMN tersebut. Tapi cukup membantu mengamankan cash flow perusahaan.
Menggagas Laboratorium Indonesia
Sebelum PAL berstatus Persero, B.J. Habibie selaku Menristek/Ketua BPPT mengemukakan pemikirannya bahwa untuk memajukan industri, perlu optimalisasi riset dalam bidang industri yang bersangkutan. Dari situ Suleman menyodorkan gagasan membangun Laboratorium Hidrodinamika Indonesia (LHI), guna menunjang optimalisasi riset dalam industri perkapalan. "Gagasan untuk membangun LHI datang dari Pak Suleman ," ungkap Prof. Ir. Soegiono, Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, yang terlibat dalam proyek pembangunan LHI.
Habibie meneruskan ide itu ke Pak Soeharto, dan Presiden memberikan lampu hijau kepada BPPT untuk melaksanakannya. Habibie dalam kapasitasnya sebagai Ketua BPPT menunjuk Suleman sebagai Kepala Pelaksana Harian (Kalakhar) proyek itu.
BPPT semula berencana membangun LHI di Serpong, Jawa Barat. Tapi kemudian Habibie menyetujui proposal dari ITS agar LHI dibangun di dekat kampus ITS Sukolilo, Surabaya. Pertimbangannya, LHI akan lebih efektif karena dekat dengan lingkungan kampus (yang memiliki Fakultas Teknologi Perkapalan). Kalau LHI dibangun di Sukolilo, berarti memudahkan mahasiswa ITS untuk melakukan kerja praktek dalam pengujian hidrodinamika. Dan staf ITS bisa melakukan penelitian di LHI, tanpa meninggalkan tugas mengajarnya. Pertimbangan lain, dekat pula dengan PAL yang kala itu dalam proses pengembangan untuk menjadi sentra industri perkapalan di Indonesia.
Proyek ini selanjutnya di garap BPPT bekerjasama dengan ITS.
Sekitar bulan April 1979, di Kantor BPPT, Jakarta, Suleman mengadakan pertemuan dengan Prof. Ir. Soegiono dari ITS, serta Rochim Murtado dan Budiarta Soeradhiningrat, keduanya staf di BPPT. "Disitu kita bicara serius mengenai disain LHI", ungkap Soegiono.
Lalu Suleman mengirim sebuah tim ke Eropa, guna melakukan studi perbandingan pada laboratorium-laboratorium hidrodinamika disana, sebelum membuat konsep disain LHI.
Setelah konsep rampung, Suleman bersama timnya mengajukan proposal pendanaan ke Bappenas, sebab pembangunan LHI merupakan proyek Pemerintah melalui BPPT. Bappenas mengucurkan dana. Hanya saja, lantaran biaya keseluruhannya cukup besar, sementara dana Pemerintah terbatas, maka pencairannya terbatas.
Baru cair dana Rp. 1 milyar untuk pemasangan tiang pancang, Bappenas menyetop pasokan dana sehingga pembangunannyapun terhenti. "Sudah ditanam ratusan tiang pancang, tahu-tahu mandeg." ungkap Dipl. Ing. Budiarta Soeradhiningrat, staf BPPT yang turut merintis proyek ini.
Kemudian Bappenas membuka kran dana lagi untuk proyek ini, dan digunakan untuk membangun kantor LHI. Tapi sampai disitu, lagi-lagi Bappenas menyetop pendanaan akibat krisis ekonomi. Buntutnya, proyek di atas lahan seluas 8,4 hektar ini terkatung-katung. Sampai disitu, Bappenas seolah-olah menghentikan proyek itu.
Namun Suleman tak patah semangat. Tahun 1986, setelah bertahun-tahun macet, Suleman mengusulkan kepada Habibie agar PT PAL mengambil alih proyek LHI, mengingat laboratorium tersebut amat penting untuk menunjang kemajuan PT PAL dan industri perkapalan Indonesia pada umumnya.
Habibie setuju, PT PAL pun melanjutkannya (setelah memperoleh izin dari Bappenas).
Langkah Suleman selanjutnya adalah melobi lembaga-lembaga pembiayaan di luar negeri, agar memberikan pinjaman lunak bagi proyek tersebut. Tapi upaya ini tidak gampang. Masih perlu waktu dan perjuangan yang agak panjang.
Sampai pimpinan proyeknya Syukur Nasution, meninggal pada tahun 1989, pembangunan fisik LHI belum berlanjut. Pemandangan di lokasi proyek masih cuma ratusan tiang pancang dan sebuah bangunan kantor.
Posisi Syukur Nasution digantikan Budiarta. Dan pada awal dekade 1990-an, upaya Suleman dan timnya membuahkan hasil, dengan diperolehnya pinjaman lunak dari luar negeri. Pembangunan gedungnya dikerjakan konsorsium dari Jepang, dengan pinjaman lunak dari Bank Ekspor-Impor Jepang. Sedangkan suplai dan instalasi peralatan laboratoriumnya dilakukan konsorsium Jerman, dengan pinjaman lunak dari KFW, Jerman. Sampai akhirnya rampung dan diresmikan Presiden Soeharto pada 1995.
Menurut Soegiono, kontribusi Suleman dalam proyek ini amat besar. Suleman konsisten memotori tim pelaksana proyek sejak tahap perencanaan disain. "Mulai dari tahap perencanaan, paling tidak seminggu sekali beliau mengadakan rapat dengan anggota tim," tutur Soegiono.
Suleman selalu berusaha mencarikan jalan keluar dari berbagai kesulitan dalam proses pembangunannya, termasuk dalam hal pendanaan. Soegiono percaya, tanpa kegigihan Suleman, kemungkinan besar proyek ini masih terkatung-katung.
"LHI adalah salah satu karya besar Pak Suleman," tukas Budiarta, karena LHI lahir dari ketajaman visinya, tentang perlunya laboratorium hidrodinamika, guna mendukung kemajuan industri-industri perkapalan nasional. Dan ia konsisten untuk mewujudkannya.
Belakangan ini, dalam situasi krisis ekonomi, LHI masih menerima order pengujian hidrodinamika dari luar negeri. Antara lain dari Srilanka dan Kanada. Disamping itu LHI juga menerima order dari dalam negeri, termasuk untuk uji hidrodinamika atas kapal kontainer 1.600 Teu dan 400 Teu yang sedang di bangun PT PAL. "Memang belum profit, tapi biaya operasinya sudah tertutup," kata Budiarta.
Sekarang LHI sudah di limpahkan kembali oleh PT PAL kepada BPPT, setelah memperoleh persetujuan dari Departemen Keuangan. Agar PT PAL bisa berkonsentrasi pada line business yang sudah dijalani.
Membuat Gebrakan Pertama
Sewaktu PAL masih berstatus Perum, B.J. Habibie meminta Suleman menyiapkan proyek pembangunan kapal yang relatif besar. Tujuannya, membuat gebrakan untuk membuktikan bahwa Indonesia mampu membuat kapal besar, yang belum pernah diproduksi di sini.
Bertolak dari situ Suleman merancang proyek pembangunan Kapal Tanker 3.000 Dwt-5.000 Dwt untuk Pertamina. Tahun 1979, ia sudah menawarkan kerjasama dengan beberapa galangan di Jakarta untuk ikut mengerjakan proyek tersebut.
Pada 13 Juni 1980, diadakan Rapat Direksi PT PAL yang dipimpin langsung oleh B.J. Habibie. Hasil pertemuan antara lain membentuk Divisi-divisi di PT PAL, yakni Divisi Pemeliharaan dan Perbaikan, Divisi Kapal Perang, Divisi Kapal Niaga, dan Divisi Produksi. Proyek yang disiapkan untuk Divisi Kapal Niaga adalah Kapal Layar 2.000 Dwt, dan Tanker 3.500 Dwt.
Suleman merangkap sebagai Kepala Divisi Kapal Niaga-disamping menjabat sebagai Direktur Teknologi. Berikutnya, 24 Juni 1980, Habibie memimpin rapat dengan Pertamina, membahas rencana proyek tersebut. Keputusannya, dari lima Tanker pesanan Pertamina, tiga di antaranya dibangun di PT PAL, dua di PT Pelita Bahari.
Namun dalam Rapat Direksi PT PAL, tanggal 2 Juli 1980, Habibie mengemukakan perubahan rencana pembagian order, menjadi dua unit dibangun di PT PAL, dua di PT Intan Sengkunyit, dan satu di PT Pelita Bahari. Intan Sengkunyit adalah galangan swasta milik mantan Direktur Pertamina Ibnu Sutowo dan dikelola oleh putranya, Ponco Sutowo.
Pertamina sebenarnya tidak nyakin PAL bisa membangunnya. Indra Kartasasmita, salah seorang Direktur Pertamina yang menandatangani kontrak dengan PT PAL untuk membangun kapal itu.
Skeptisme itu beralasan. Karena rekor industri perkapalan di Indonesia pada era itu beru membangun kapal-kapal kelas 1.000 Dwt. Sementara PT PAL masih hijau dalam soal membangun kapal, sebab tadinya hanyalah instalasi TNI-AL yang berkonsentrasi pada pemeliharaan dan perbaikan kapal perang. Padahal, dengan pengetahuannya yang luas dalam bidang perkapalan, Suleman ketika itu amat yakin bahwa PAL mampu mengerjakannya.
Banyak orang di PT PAL sendiri tidak percaya bahwa mereka mampu membangun kapal 3.500 Dwt. Bahkan ada diantara mereka yang mengatakan, "Ini kan proyek Pak Suleman. Kita kerja saja, soal bisa atau tidak, selesai atau tidak, itu urusan nanti."
Ir. M. Moenir, staf PT PAL yang ikut membantu Suleman dalam pelaksanaan proyek Kapal Tanker 3.500 Dwt, membenarkan bahwa ia dan rekan-rekan seangkatannya (yang kala itu masih fresh graduate dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya dan baru bergabung di PT PAL) pada awalnya tidak begitu yakin bahwa mereka bisa membangun kapal sebesar itu. "Tapi kami punya figur pimpinan, yakni Pak Suleman, yang tahu apa saja kunci untuk membangun kapal itu. Jadi beliau membuat kita optimis, yakin 100%, bahwa itu bisa kita buat.
Modal awal yang sudah dimiliki PT PAL untuk membangun kapal itu adalah dok gali berkapasitas 20.000 ton, lebih dari cukup untuk membangun kapal 3.500 ton. Juga sumber daya manusia (SDM) yang ketrampilannya bisa dikembangkan untuk mengerjakan proyek ini.
Atas prakarsa Habibi, Suleman merintis kerjasama dengan Mitsui Engineering & Shipbuilding (MES), Jepang, pemilik lisensi kapal tanker yang akan diproduksi itu. PT PAL mengirim personilnya ke MES, untuk belajar merancang bangun kapal tersebut. Dan MES memberikan tenaga technical assitance selama proses produksinya berlangsung di PT PAL. Sampai akhirnya terbukti bahwa PT PAL bisa merancang bangun kapal tanker 3.500 Dwt.
Setelah kapal diserahkan kepada Pertamina, Indra malah memuji PT PAL. Bukan semata karena mampu menyelesaikannya, namun juga lantaran kapal yang dibangun di PT PAL itu kualitasnya jauh lebih tinggi dibanding yang ia perkirakan. Dengan bukti kongkrit, Suleman telah mematahkan keraguan atas kemampuan PT PAL membangun kapal tersebut. Ia pun turut membuka mata berbagai pihak, bahwa SDM Indonesia di masa itu sebenarnya sudah punya ketrampilan merancang bangun kapal yang kelasnya jauh diatas 1.000 Dwt. Ketrampilan itu terpendam lama, karena tidak ada aksi untuk memberi meraka kesempatan mengekspresikannya.
Dari situ, tumbuh kepercayaan atas kemampuan galangan-galangan di Indonesia, termasuk PT PAL dalam memproduksi kapal modern yang lebih besar lagi.
(Suleman Wiriadidjaja @Kapal-Kapal )
PT PAL, Kemandirian Negeri Bahari (4)
PT PAL, Kemandirian Negeri Bahari (3)
PT PAL, Kemandirian Negeri Bahari (2)
PT PAL, Kemandirian Negeri Bahari (1)
PT PAL, Kemandirian Negeri Bahari (4)
PT PAL, Kemandirian Negeri Bahari (3)
PT PAL, Kemandirian Negeri Bahari (2)
PT PAL, Kemandirian Negeri Bahari (1)
1 komentar:
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut
Posting Komentar