Halaman

Dr Warsito, Penemu Teknologi ECVT

Dr Warsito P. Taruno, pendiri dan pemilik Edwar Technology. Belasan tahun belajar di luar negeri. Tanpa bantuan pemerintah, penelitian mereka berhasil di Tanah Air. Robot itu bernama Sona CT x001. robot yang dibekali dua lengan itu sedang memindai tabung gas sepanjang 2 meter. Di bagian atas robot, layar laptop menampilkan grafik hasil pemindaian. Selasa dua pekan lalu itu, Sona—buatan Ctech Labs (Center for Tomography Research Laboratory) Edwar Technology—sedang diuji coba.
Alat ini sudah dipesan PT Citra Nusa Gemilang, pemasok tabung gas bagi bus Transjakarta.Perusahaan migas Petronas, kata Warsito, tertarik kepada alat buatannya. Kini mereka masih dalam tahap negosiasi harga dengan perusahaan raksasa milik pemerintah Malaysia tersebut.

Selain Sona, Edwar Technology mendapat pesanan dari Departemen Energi Amerika Serikat. Nilai pesanan lumayan besar, US$ 1 juta atau sekitar Rp 10 miliar. Bahkan Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) pun memakai teknologi pemindai atau Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT) temuan Warsito. ECVT adalah satu-satunya teknologi yang mampu melakukan pemindaian dari dalam dinding ke luar dinding seperti pada pesawat ulang-alik. Teknologi ECVT bermula dari tugas akhir Warsito ketika menjadi mahasiswa S-1 di Fakultas Teknik Jurusan Teknik Kimia, Universitas Shizuoka, Jepang, tahun 1991. Ketika itu pria kelahiran Solo pada 1967 ini ingin membuat teknologi yang mampu “melihat” tembus dinding reaktor yang terbuat dari baja atau obyek yang opaque (tak tembus cahaya).


Sona CT x001 Pelacak Korosi

Lewat layar laptop akan terlihat tiga tabel yang bergerak-gerak. Kemudian muncul gambar seperti stalagnit dari analisis tabel tersebut. Terdapat warna biru pada bagian yang menonjol. "Warna biru menunjukkan telah terjadi korosi pada tabung," kata Warsito P. Taruno, menunjukkan bekerja alat Sona CT x001. Korosi juga terjadi jika nilainya di bawah 400 mikron.
Ada empat komponen pada alat ini, yakni sensor scan, robot gantri untuk menjalankan sensor, sistem akuisisi data, dan komputer (lihat gambar). Dalam komputer itu ada program electrical capacitance volume-tomography (ECVT). Ada juga program visual basic dan mathlab. Hasil akhir alat ini adalah gambar isi atau jeroan tabung gas atau obyek yang dipindai.
Metode tomografi tersebut bisa dibagi menjadi dua tahap, yakni proses pengambilan data proyeksi melalui sensor yang dipasang di sekeliling obyek. Kemudian proses itu dilanjutkan dengan proses rekonstruksi untuk mendapatkan citra dalam obyek dari data proyeksi tersebut.

Cara kerja ECVT dapat diumpamakan sebagai cara kerja otak manusia. Otak mampu melakukan diferensiasi pada obyek yang kecil dan yang besar secara bersamaan. Teknik memiliki jaringan pemindai yang dibuat berdasarkan model algoritma sistem saraf. Sistem algoritma ini kemudian diberi input wujud benda yang dipindai. Sistem itu bekerja dengan memanfaatkan distribusi kekuatan medan listrik statis yang dipengaruhi sensor elektroda yang diletakkan secara tiga dimensi.
Medan listrik statis ini akan berubah-ubah sesuai dengan obyek yang berada di dalamnya. Algoritma matematis sendiri mampu mengonversi perubahan medan listrik itu dalam bentuk perubahan nilai kapasitansi yang terukur menjadi citra volumetrik dari obyek tersebut. Dari situ kemudian dihasilkan hasil akhir berupa citra tiga dimensi benda yang real-time.

Ia menemukan teknologi tomografi yang membuat alat pemindai tubuh lebih murah dan amat akurat. Akan dipatenkan seperti enam penemuannya yang lain.

Dari sebuah ruko sewaan di Tangerang, terciptalah teknologi berkelas dunia. Dr. Warsito, 39 tahun, sang penemu, berhasil menjungkirkan keyakinan bahwa teknologi canggih hanya bisa diciptakan di pusat riset maju. Temuan made in ruko itu telah membuat Warsito muncul di hampir semua jurnal ilmiah di dunia sepanjang Maret lalu.

Teknologi yang ditemukan pemegang enam dokumen paten ini adalah teknologi tomografi medan listrik tiga dimensi atau electrical capacitance volume tomography (ECVT). Inilah penolong para pasien miskin bila mereka harus mengecek kesehatan dengan pemindai tubuh.

Dengan ECVT, proses pemindaian tubuh bakal lebih murah dibanding CT Scan dan MRI. Caranya juga simpel. Tak perlu masuk tabung seperti pada MRI. Pasien cukup dilewatkan di pintu detektor. Akurasinya, jangan tanya. Sementara MRI menghasilkan gambar dua dimensi, citra tomografi ini tiga dimensi.

Soal resolusi gambar, sebentar lagi ketajaman MRI bakal tertinggal jauh. Warsito sedang menggodok patennya yang ketujuh, ECVT resolusi tinggi. Ia akan mengajukannya ke kantor paten dan merek dagang Amerika Serikat pada Januari mendatang.

Bukan tanpa alasan jika Warsito memilih menyiapkan ECVT di rukonya. "Saya minta hak eksklusif untuk bisa mengembangkannya tanpa terikat dengan Universitas Ohio," katanya. Ia memang pernah intensif menggunakan laboratorium Ohio State University, AS, saat bekerja sebagai peneliti di sana sejak 1999.

Ketidaktergantungan pada kampusnya membuat anak petani dari Solo ini dengan enteng menampik tawaran untuk memperpanjang kontrak pada Juli lalu. Ia bahkan bisa pulang membawa paten tomografinya. Kini ia sedang menyiapkan pusat riset dan tempat produksi tomograf tiga dimensinya di Tangerang, bekerja sama dengan investor dalam negeri.

Pilihan ruko ini penuh risiko. Suatu kali petir menghanguskan satu komputernya. Lalu, laptop dan sebuah komputer lainnya jebol karena tak tahan menjalankan simulasi tomografi. Seluruh dokumentasi risetnya lenyap. "Satu minggu saya shock, tidak keluar kamar," ujarnya.

Warsito nyaris gila saat komputer kerjanya hangus terbakar disambar petir. Hanya satu laptop tersisa, dan itu juga tiba-tiba jebol. Ini cobaan berat: di komputer itu, hasil riset belasan tahun hilang tak berjejak.

Hampir sepekan dia berdiam diri di kamar. Mimpinya seperti kandas. Dia ingin menciptakan alat pemindai empat dimensi (4D) berbasis teknologi Electrical Capacitance Volume-Tomography (ECVT). Itu teknologi pemindaian tiga dimensi (3D), dengan obyek bergerak berkecepatan tinggi, sehingga menghasilkan citra 4D.

Getir. Tapi dia harus bangkit, dan tak boleh menyerah. Musibah itu memaksanya kembali membongkar arsip, dan catatan riset. Satu tim ahli dibentuknya membantu kerja besar itu. Mereka dari Center for Tomography Research Laboratory (CTECH Labs).

Barangkali itu hikmah di balik musibah. Sebelumnya, dia malas membongkar data yang tersimpan belasan tahun. Semuanya bertumpuk seperti bangunan tumpang tindih. Tak ada cara lain merapikannya, kecuali membongkar, dan membangun ulang dari nol. “Mungkin di sini kunci keberhasilan itu,” katanya.

Pada 2004, riset itu kelar. Tapi masih dalam bentuk simulasi.

Meski begitu, temuan Warsito segera menjadi incaran sejumlah perusahaan terkemuka dunia. Teknologi pemindai 4D pertama di dunia itu akhirnya dipatenkan di Amerika Serikat, dan lembaga paten internasional PTO/WO pada 2006.

Tak kurang, yang naksir berat adalah NASA, lembaga antariksa Amerika. “NASA adalah lembaga luar yang pertama kali mengakui teknologi ini, dan kemudian memakainya meskipun masih taraf riset,” katanya.

NASA memakai teknologi temuannya itu, untuk mengembangkan sistem pemindai tumpukan embun di dinding luar pesawat ulang-alik. Saat pesawat itu meluncur, ada perubahan suhu sangat tinggi. Tumpukan embun itu bisa merusak dinding pesawat yang terbuat dari keramik.

Setelah NASA, temuan Warsito dilirik oleh lembaga top lainnya, seperti Ohio State University, perusahaan B&W, Departemen Energi Amerika, University of Cambridge, dan sejumlah lembaga besar lain.

Teknologi Warsito itu diperkirakan bakal membawa perubahan drastis dalam perkembangan riset dan teknologi. Jangkauannya juga luas. Mulai dari bidang energi, proses kimia, kedokteran hingga nano-teknologi.

Menekuni riset tomografi sejak 1992, persisnya saat dia kelar tugas akhir S1, Warsito mengatakan hasil yang dicapainya adalah buah dari kerja keras. Tomografi yang dia kembangkan bukan ada secara tiba-tiba. “Proses pengembangannya panjang, diikuti improvisasi terus-menerus sampai saat ini,” ujarnya.

Tomografi adalah teknologi memindai berbagai obyek, dari luar hingga kondisi bagian dalam, tanpa harus merusak penampangnya. Teknologi ini terdiri dari rangkaian sistem sensor, elektronika, dan komputer.

Dengan teknologi ini, pemindaian bisa dilakukan dari luar, tanpa menyentuh obyek. Contoh paling umum adalah mesin CT Scan, dan MRI yang digunakan di bidang kedokteran. Hanya, dua alat itu sekadar menghasilkan citra dua dimensi (2D), dengan obyek tidak bergerak.

Sedangkan tomografi ciptaan Warsito mampu memindai 3D, atau volumetrik dengan obyek bergerak berkecepatan tinggi. “Jadi bisa 4D yakni tiga dimensi ruang dan satu dimensi waktu,” ujarnya. Aplikasinya pun, kata Warsito, sangat luas. “Dari reaktor yang dipakai di pabrik-pabrik, tubuh manusia, obyek-obyek skala nano, hingga perut bumi.”

Menurut Warsito, pemindaian dari dalam menuju luar dinding itu bisa dilakukan karena teknologi tomografi 4D kreasinya memakai gelombang listrik non-linear. Teknologi pemindai lain menggunakan gelombang linear, sehingga hanya bisa memindai dari luar obyek, ke dalam obyek.

Di Indonesia, teknologi yang masih terus dikembangkan Warsito ini, digunakan untuk pemindaian tabung gas bertekanan tinggi, seperti kendaraan berbahan bakar gas Bus Transjakarta.

Tabung gas bertekanan tinggi perlu dipindai untuk memeriksa apabila ada retakan di dalam tabung yang tidak terlihat. Sebab, retakan itu bisa mengakibatkan ledakan, dan berdampak fatal. Sistem pemindai ini telah dipakai di pabrik tabung gas tekanan tinggi di Cikarang.

“Ada banyak teknologi turunan dari sensor dan tomografi ini yang sekarang sedang kami kembangkan, seperti sensor untuk treatment kanker, sistem pemindaian aktivitas otak manusia, hingga sensor untuk kebocoran tabung gas,” Warsito menambahkan.

Di bidang kedokteran, teknologi temuan Warsito jelas mengungguli kemampuan CT Scan dan MRI. Penemu CT Scan, Sir Godfrey Hounsfield dan Dr. Alan Cormack, diganjar Nobel Bidang Fisiologi dan Kedokteran 1979. Pun penemu MRI, Paul Lauterbur dan Sir Peter Mansfield, yang meraih penghargaan sama tahun 2003.

Akankah Warsito menjadi peraih Nobel di masa mendatang?

“Rasanya terlalu tinggi untuk bangga dengan ini semua. Yang saya pikirkan hanyalah keinginan memberikan harapan bagi bangsa agar tidak terlalu pesimis dengan kemampuan mereka, dan tidak harus merasa rendah terhadap bangsa mana pun juga,” ujar Warsito.

Bukan Superman, tokoh kartun DC Comics itu, yang memberi ilham bagi Warsito menciptakan teknologi ‘tembus pandang’ ini. Ia bahkan berkelakar tak percaya kehebatan Superman.

Temuan ini hanya serpihan imajinasinya sewaktu SMA. Kala itu, ia terpaku dengan sosok jenius dalam komik yang berhasil mengembangkan mesin foto copy yang mampu mengkloning benda sama persis aslinya.

“Cerita itu tidak pernah saya lupa. Itu sedikit memberi inspirasi untuk mengembangkan teknologi tomografi ini. Karena teknologi ini bisa ‘meng-copy’ seluruh obyek menjadi data digital 3D,” ujar lelaki yang kini menjabat sebagai staf ahli Menristek.

Lahir di Solo, 16 Mei 1967, dia yang bernama lengkap Warsito P Taruno ini, bukanlah anak yang tumbuh dengan mimpi besar. Sebagai anak desa di lereng Gunung Lawu, ia menjalani hidup ala kadarnya. Ia habiskan masa kecil bergumul dengan sawah, dan ternak.

Tapi memang, kemampuan intelektualitasnya ditempa karena dia gemar membaca buku. “Saya meminjam buku apa saja yang bisa saya pinjam dan baca. Saya membacanya di mana saja, bisa di sawah, ladang, sungai. Kambing saya kenyang makan tanaman orang, saya kenyang baca buku,” ujarnya. Aktivitas itu dilakoninya hingga lepas masa SMA.

Sebagai siswa cemerlang, Warsito kemudian pindah ke Yogyakarta, setelah namanya tertera sebagai mahasiswa Teknik Kimia UGM. Tapi dia gagal sekolah ke kampus itu, karena terbentur masalah biaya. Ia lalu merantau ke Jakarta. Beruntung, dia mendapat beasiswa di Universitas Shizuoka, Jepang, 1987. Beasiswa mengantarnya meraih gelar tertinggi akademik (S3), 1997.

Pada 1999, dia hijrah ke Amerika Serikat. Berbekal riset tentang tomografi, dia menjadi satu dari 15 peneliti papan atas dunia di Industrial Research Consortium, Ohio State University. Sebuah lembaga riset terpandang yang menjadi acuan sejumlah perusahaan minyak raksasa di dunia semisal ExxonMobil, Conoco Phillips, dan Shell.

Di tengah kesibukan riset, ia meluangkan waktu menulis di sejumlah jurnal ilmiah bertaraf internasional. Tak jarang, ia juga dipercaya menjadi pembicara utama dalam sejumlah forum ilmuwan dunia.

Momen tak terlupakan adalah tatkala ia selesai memberi sesi paripurna (plenary lecture) di konferensi internasional tentang reactor engineering di Delft, Belanda, 1999. “Itu adalah sesi paripurna sebuah konferensi besar, yang dihadiri pakar dan professor dari seluruh dunia. Sepertinya tak ada penghargaan lebih besar dari itu, yang pernah saya rasakan dalam hidup saya. Bagaikan cerita di film.

Empat tahun dia curahkan tenaga dan waktu di Amerika. Mulai 2003 hingga 2006, ia memilih wara-wiri antara Amerika dan Indonesia.

Akhirnya, dia memutuskan kembali ke Indonesia, membesarkan CTECH Labs yang dibangunnya di satu ruko mungil di kawasan Tangerang. “Cita-cita saya membangun institusi riset yang tidak kalah dengan institusi riset mana pun di dunia, dan itu di Indonesia.”

Di matanya, dunia sains di Indonesia kurang tantangan. Bukan hanya wadah yang terbatas, tapi juga interaksi antarilmuwan di ajang internasional lemah. Tantangan nyata dari industri juga minim. “Tanpa tantangan, dunia sains kita tidak akan maju,” ujarnya.

(dari berbagai sumber)


Read more...

LIPI Ciptakan Teropong Bidik Malam Senapan

Kemampuan Indonesia di bidang pertahanan dan keamanan sudah sepantasnya disejajarkan dengan negara-negara asing. Salah satu buktinya adalah sudah banyak peralatan pertahanan dan keamanan bangsa yang bisa dibuat di dalam negeri oleh putra bangsa.
Salah satu contohnya adalah Teropong Bidik Malam Senapan (TBMS), buatan para ahli di Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi, dan Metrologi (Puslit KIM) LIPI.
Menurut Ahmad Harimawan, Peneliti Instrumentasi di Puslit KIM LIPI, TBMS ini dirancang khusus untuk membidik/menembak tepat dan pengamatan pada malam hari. TBMS ini terdiri dari rumah utama (housing) yang didalamnya terpasang unit lensa objektif, Image Intensifier generasi 2 yang digabungkan dengan sumber tegangan, dan unit Ocular. Alat ini memiliki kemampuan untuk melihat obyek yang berada pada sumber cahaya yang sangat minim sekalipun, pemakai dapat melihat dan mengamati sasaran tanpa menggunakan bantuan cahaya buatan sehingga tidak mudah terdeteksi oleh musuh.

TBMS ini terutama dirancang untuk digunakan pada senapan infantri TNI seperti type SS1 yang sudah diproduksi 120 unit untuk digunakan di Papua pada thn 2004 dengan senapan mesin dan adaptor yang sesuai. Kalau untuk kalangan Sipil digunakan untuk survey dan penelitian pada waktu malam hari. TBMS sudah teruji kehebatannya. Kemampuan jarak pandang tergantung cuaca alam sekitar. Mis. Kalau ada binatang, bisa dideteksi hingga 300 meter.

LIPI juga sudah membuat Teropong Bidik Siang, dan saat ini sedang mengembangkan teropong bidik generasi keempat yang sudah dibuat para ahli di Puslit KIM LIPI. Generasi pertama dari Teropong Bidik Malam ini, sudah terbukti ketangguhannya ketika TNI berperang melawan Fretlin di Timor-Timur.
Yang membanggakan, lensa optik yang digunakan pada TBMS ini benar-benar dibuat sendiri oleh para ahli LIPI.
“Kualitasnya pun sudah sejajar dengan alat yang diimpor dari luar negeri, diantaranya: -Tahan udara lembab dan kedap air (standard spesifikasi militer), -Tahan terhadap getaran tembakan 500 butir peluru (perubahan kedudukan fisir/titik bidik maksimum 1 klik). TBMS juga dapat digunakan dengan dipegang langsung atau dengan tripod. Dan yang terpenting lagi, dari aspek kemampuan SDM, kita kuat”, tegas Harimawan.

Namun menurut Harimawan, TBMS masih mempunyai kelemahan, yaitu tidak mampu menembus kabut Hal ini akan terus dicari solusinya oleh para ahli LIPI. Kendala lain yang ditemui para ahli kita di LIPI selama mengembangkan TBMS ini, diantaranya kenadala teknis dan juga sosialisasi dari pengembangan industri TBMS. Untuk produksinya masih mengalami hambatan kekurangan dana, dan untuk sosialisasinya harus mengikuti prosedur/ birokrasi.

Akan ada banyak teknologi yang akan dikembangkan dalam pembuatan TBMS ini nantinya. Tentu saja, para ahli di LIPI menginginkan perkembangan ini akan menambah daya guna bagi TBMS.
Akhirnya, Harimawan, mewakili para ahli di LIPI mengharapkan support dari pemerintah. Diharapkan pemerintah membentuk industri teknis untuk mensupport hasil/produk peneliti, khususnya produk Hankam. Misalnya dengan membuat Industri Strategis. Diharapkan juga Kementerian Ristek dapat mendiseminasikan iptek kepada instansi terkait untuk dapat dikembangkan lebih lanjut, supaya tidak sia-sia.

(Ristek.go.id)

Read more...

Peralatan Tempur Buatan LIPI

Achmad Harimawan tak pernah melupakan tantangan untuk memperbaiki periskop kapal selam TNI Angkatan Laut KRI Nanggala pada 2003. Meski tak punya track record memperbaiki periskop, Kepala Bidang Instrumentasi di Pusat Penelitian Kalibrasi Instrumentasi dan Metrologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tersebut menyanggupi tawaran itu.

Bermodal pengalaman dan kompetensi para peneliti di bidang instrumentasi optik, Harimawan dan timnya memberanikan diri menangani masalah itu. Ketika itu, hanya satu syarat yang diajukan TNI Angkatan Laut: LIPI harus bisa memperbaikinya dalam waktu kurang dari satu tahun. Soalnya, TNI Angkatan Laut hanya memiliki dua kapal selam diesel elektrik modern, yaitu KRI Nanggala dan KRI Cakra, sehingga perbaikan harus dilakukan secepatnya.

"Untuk mengganti periskop, kapal selamnya harus dikirim ke negara lain yang ongkosnya tidak murah dan pada saat itu, pada 2003, kita masih kena embargo, sehingga tak mungkin diperbaiki," kata Harimawan. "Pada waktu itu kita ditanyai bisa memperbaiki nggak."

Ternyata tugas itu bisa diselesaikan Harimawan, yang menjadi pemimpin proyek perbaikan periskop kapal selam KRI Nanggala tersebut, dalam waktu delapan bulan.

Perbaikan yang harus dilakukan Harimawan dan timnya waktu itu cukup rumit. Periskop kapal selam KRI Nanggala rusak dan bengkok karena menabrak sesuatu sehingga tidak bisa dinaik-turunkan lagi. "Kesulitannya waktu itu mencari komponen tabung stainless steel untuk periskop," kata pakar optoelektronika dan aplikasi laser dari Universitas Indonesia itu

.
Harimawan harus mencari ke seluruh dunia untuk memperoleh tabung baja sepanjang 11 meter dan berdiameter 40 sentimeter itu. Namun, tak ada pabrik baja yang bisa menyediakannya. "Kami mencoba mencari ke black market di Cina," katanya. "Saya pesan satu dan, syukur alhamdulillah, waktu itu dilayani, padahal itu pabrik besar," kata Harimawan.

Sebetulnya tak cuma periskop kapal selam yang bisa dibuat Pusat Penelitian Kalibrasi Instrumentasi dan Metrologi LIPI di Bandung. Sejak 1980, para penelitinya telah mendukung kebutuhan teknologi pertahanan dan keamanan TNI. Misalnya, pada 1982, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Departemen Pertahanan dan Keamanan meminta LIPI mengembangkan alat optik, mulai prisma teleskop untuk tank, teropong senapan, sampai teropong bidik malam.

"Bahkan pada 1985 kami sudah berhasil membuat prototipe dan 120 teropong bidik malam untuk mendukung TNI mengatasi masalah di Timor Timur," kata pria kelahiran Yogyakarta, 13 Juni 1953, itu.
Keterlibatan LIPI dalam mendukung kebutuhan teknologi peralatan optik TNI itu dilatarbelakangi banyaknya tentara yang jadi korban dalam pemberontakan tersebut. Menurut Harimawan, yang sempat mengikuti pelatihan militer di Dili, pada waktu itu Fretilin menggunakan teropong canggih. "Teropong buatan kami mendapatkan apresiasi karena mendukung mental tentara. Mereka bisa melihat pada malam hari," dia menambahkan

.
Keistimewaan teropong bidik malam dan teropong medan malam buatan LIPI ini dilengkapi sinar inframerah, sehingga penggunanya bisa melihat di kegelapan seperti kelelawar. Pusat Penelitian Kalibrasi Instrumentasi dan Metrologi juga membuat alat penembak malam yang memungkinkan penggunanya menembak sasaran dengan tepat tanpa harus membidik lewat teropong. Si penembak cukup mencari target dengan kacamata malam (night vision goggles), mengarahkan senjata ke sasaran, dan peluru akan tepat mengenai titik terang yang dilihat kacamata malam itu.

LIPI, khususnya Pusat Penelitian Kalibrasi Instrumentasi dan Metrologi, sebenarnya mampu mendukung kebutuhan teknologi pertahanan keamanan, terutama alat strategis, di antaranya teleskop, teropong bidik, dan peluncur roket, seperti yang dipamerkan pada pameran pertahanan Indo Defence 2006 Expo and Forum di Kemayoran, 22-25 November 2006. Apalagi mereka punya kompetensi di bidang instrumentasi yang didukung sejumlah laboratorium mekanik, optik, elektronik, dan komputer. Sayangnya, sampai saat ini sebagian besar kebutuhan TNI, baik komponen maupun alat strategis, masih diimpor.

Harimawan berharap para peneliti dalam negeri diberi kesempatan untuk memanfaatkan kemampuan mereka semaksimal mungkin. "Kita sebetulnya harus mau dan mampu melakukan kemandirian teknologi. Kita sudah belajar banyak dari pendahulu kita. Dulu, pada saat tidak punya senjata, kita bikin senjata sendiri dari bambu runcing," katanya.
Menurut Harimawan, para peneliti dalam negeri sebetulnya juga membuat panser yang tak kalah mutunya dari buatan luar negeri. "Kenapa kita nggak bikin sendiri di Pindad? Kita juga sudah bisa, apalagi bila bersinergi dengan lembaga lain," tuturnya. "Kalau bisa bikin, kenapa harus beli?"

Himawan mengatakan banyak keuntungan yang bisa diperoleh jika alat pertahanan diproduksi di dalam negeri. Selain menghemat devisa, tumbuhnya industri alat utama sistem pertahanan akan mendorong tumbuhnya industri lain, seperti industri karet, pengecoran, atau elektronik.
"Kita juga tidak tergantung embargo luar negeri, dan punya tanggap kontrol yang lebih cepat daripada menunggu ahlinya datang dari luar negeri untuk mengutak-atik alat yang rusak," kata Himawan.

(TempoInteraktif)

Read more...

BATAN Menghapus Wajah Seram Nuklir

Suatu ketika, Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Dr. Hudi Hastowo, mendapat pertanyaan lumayan pelik dari mitra kerjanya, Prof. Tomihiro Taniguchi: “Saya dengar, wakil presiden Anda tidak setuju dengan pembangunan PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir) di Indonesia?”
Mendapat pertanyaan seperti itu, Hudi maklum. Memang sudah menjadi tugas Taniguchi untuk bertanya masalah keamanan nuklir. Taniguchi adalah Deputi Direktur Jenderal dan Kepala Departemen Keamanan dan Keselamatan Nuklir pada International Atomic Energy Agency (IAEA), sebuah organisasi antar pemerintah di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa.


Hudi, sebagai anggota Standing Advisory Group on Nuclear Energy (SAGNE), rutin mengunjungi markas besar IAEA di Vienna, Austria. Setidaknya setahun sekali Hudi bertemu dengan pejabat IAEA. SAGNE adalah panitia tetap yang bertugas memberikan masukan kepada Direktur Jenderal IAEA tentang perkembangan teknologi PLTN di dunia.
Nah, pada kunjungan Hudi, awal April lalu, ia mendapat pertanyaan tersebut. “Saya jawab, Bapak jangan salah sangka. Beliau mengatakan itu bukan sebagai seorang wakil presiden, melainkan sebagai salah satu kandidat presiden untuk pemilu mendatang,” kata Hudi. Perkembangan nuklir di Indonesia, Hudi melanjutkan, memang menjadi perhatian dunia.
Niat membangun PLTN di Tanah Air memang sering kembang-kempis. Ketika dilanda krisis energi, nuklir mulai ditimbang-timbang sebagai jalan keluar. Namun, ketika masa kampanye tiba, kata “nuklir” seakan menjadi barang haram. Tak pelak lagi, wajah nuklir memang masih terlihat seram. Yang terbayang tentang nuklir, kalau tidak bom atom Hiroshima atau bocornya reaktor nuklir Chernobyl, adalah munculnya beragam monster mutant akibat limbah nuklir dalam film fiksi ilmiah.

Padahal, beragam kejadian alam sehari-hari banyak yang melibatkan proses nuklir. “Misalnya saja, sinar mata-hari yang menghangatkan bumi sebenarnya proses radiasi nuklir dengan pancaran berbagai senyawa partikel atom,” kata Hudi. Hanya saja, berkat atmosfer yang menyelubungi bumi, sinar ultraviolet tak sampai merusak kulit.
Asas manfaat yang besar itulah yang menjadi pedoman Batan dalam menghasilkan beragam produk yang dapat langsung dipakai masyarakat. Prinsip yang dianut Batan adalah meningkatkan dan memanfaatkan energi nuklir dengan mengurangi sisi negatifnya. Dan, fokus utama pengembangan teknologi nuklir Batan terkait dengan masalah pangan, energi, kesehatan, industri, dan sebagainya.
Dari situ, ada tiga pilar utama yang menjadi prioritas, yaitu pangan, energi, dan air. Kegiatan Batan diarahkan ke sana. Intinya, dalam istilah Hudi, pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) nuklir bagi kemaslahatan umat.

Di bidang pangan, misalnya, jangan heran jika nasi yang disantap setiap hari berasal beras yang dihasilkan dari proses radiasi nuklir. Batan telah mengembangkan dan mengolah tanaman pangan dengan teknik radiasi nuklir sejak berwujud bibit hingga berbuah. Itu termasuk masalah pupuk, perkembangan tanaman, dan upaya agar cepat berbuah. Singkat kata, dengan teknologi iptek nuklir, pertumbuhan pangan bisa dipercepat.
Salah satu varietas unggul itu adalah padi Mira-1, yang banyak diminati petani. Mira-1 mampu menghasilkan panen rata-rata 9-11 ton per hektare, dengan produksi gabah kering giling mencapai 6-7 ton per hektare. Karena itu, masyarakat tidak perlu takut, karena metode iptek nuklir sangat higienis, tidak berbahaya, dan berkualitas tinggi.
Di bidang kedokteran, Batan juga menghasilkan banyak kemajuan. Salah satunya, untuk menghadapi penyakit kanker, pasien tak sebatas menjalani operasi atau kemoterapi, melainkan juga harus mendapat pengobatan radiokemoterapi. Metode ini diperlukan untuk membersihkan jaringan sel kanker yang mungkin masih tertinggal pasca pembedahan. “Kalau dioperasi, sel kanker yang hilang mencapai 95%. Agar 5% sisanya dapat diberantas, digunakanlah metode kemoterapi yang digabung dengan radiasi tadi,” tutur Hudi.
Contoh lainnya adalah penyakit gondok. Batan telah menerapkan terapi gondok dengan metode radiasi nuklir (lihat: Dari Mira Hingga Rendang Enam Bulari). Tubuh pasien disuntik dengan unsur radiasi agar bisa melacak jejak-jejak gondok.
Tak hanya itu. Teknologi nuklir, dengan pengolahan yang tepat, bahkan dapat mendeteksi kondisi janin di perut ibu. “Ada serangkaian tes hormon yang dapat dilakukan di luar tubuh, sehingga dapat diketahui janin yang ada sehat atau tidak,” kata Hudi.
Semua terapi nuklir itu dikerjakan dengan mutu standar yang terukur dan telah mengalami serangkaian tahap uji coba serta memperhatikan aspek keselamatan dan keamanan. Karena itu, Batan tak sembarangan melakukan penelitian dan memproduksi peralatan. Produk Batan juga harus mudah dan bermanfaat bagi masyarakat dan dunia usaha serta memiliki nilai jual di pasar.
Untuk urusan keselamatan, Batan tidak main-main. Sebelum dilempar ke masyarakat, produk Batan harus melewati rangkaian uji coba keamanan dan kesehatan. Untuk itu, setidaknya ada dua lembaga yang terkait langsung, yakni Badan POM (Pengawas Obat dan Makanan) dan Bapeten (Badan Pengawas Teknologi Nuklir).

Berbagai produk Batan itu harus lulus berbagai ketentuan yang ditetapkan Badan POM dan Bapeten. “Jadi, Batan tidak langsung memberi produknya untuk dipakai masyarakat, tetapi harus melalui tes yang dilakukan para dokter di bidang nuklir dan lolos berbagai uji serta peraturan dua lembaga itu,” ujar Hudi.
“Inspektur Bapeten terus melakukan pengawasan kepada para pemegang izin pengolahan nuklir di seluruh Indonesia, termasuk Batan,” kata Kepala Bapeten, Dr. As Natio Lasman, kepada wartawan gatra Lufti Avianto.
Menurut As Natio, peralatan yang ada di Batan telah disertifikasi dan selalu dicek standardisasinya agar sesuai dengan persyaratan teknis yang telah ditentukan. “Itu termasuk para pekerja. Mereka harus punya surat izin bekerja sebagai petugas proteksi radiasi dari Bapeten,” kata As Natio.
As Natio juga mengatakan, bila sudah beredar di masyarakat, maka produk tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab Badan POM yang berkoordinasi dengan instansi terkait. Namun, menurut As Natio, tidak semua produk yang diradiasi bisa mudah dilepas ke pasaran. Ini memerlukan standar internasional, memenuhi sejumlah ketentuan dan syarat. “Jadi, tidak membahayakan, baik bagi pekerja, konsumen, maupun lingkungan hidup,” ujar As Natio.
Kewenangan Bapeten adalah memastikan bahwa proses itu berjalan sesuai dengan kondisi yang ditentukan. Contohnya, cairan radioaktif yang dimasukkan ke tubuh untuk keperluan terapi atau diagnosis harus memiliki izin dari Departemen Kesehatan. “Tapi proses pembuatannya harus tetap melalui Bapeten,” kata As Natio.
Sejauh ini, menurut As Natio, berbagai produk dan peralatan Batan tak ada yang bermasalah. “Yang saya sayangkan justru masih ada sikap pembodohan dan antinuklir,” As Natio menambahkan. Soalnya, walaupun penerapan teknologi nuklir untuk kesehatan dan industri dapat diterima dengan baik, “Kalau bicara PLTN, nanti dulu. Itu kan aneh,” tutur As Natio.
Apa boleh buat, Batan memang masih berjuang agar PLTN dapat diterima secara utuh di masyarakat. Berbagai produk nuklir itu memang menjadi andalan Batan untuk menunjukkan teknologi nuklir, yang akan sangat berguna bagi kemanusiaan bila dikelola dengan cermat. “Banyak hal yang bisa kita kerjakan dengan nuklir,” kata Hudi.
Untuk itu, Hudi memohon kerja sama dengan semua pihak yang terkait. Namun, sayang, untuk saat ini, para elite politik negeri ini sedang sibuk dengan kepentingan politik masing-masing. Bahkan, untuk sementara, sejumlah politikus yang awalnya mendukung program nuklir berbalik arah 180 derajat.
Toh, itu tidak menjadi masalah bagi Batan. “Yang jelas, hingga saat ini belum ada perintah kepada saya untuk menghentikan pembangunan PLTN,” ujar Hudi. Untuk itu, di samping terus menelurkan berbagai produk inovatif, Batan juga berbenah diri menyiapkan PLTN.
“Kami sudah siap dan terus menyiapkan sumber daya manusia yang ada,” kata Hudi. Apalagi, tahun depan Batan bakal mendapat tamu istimewa. Sejumlah petinggi IAEA akan berkunjung ke Indonesia. “Mereka akan mengadakan peninjauan dan sertifikasi terhadap pelaksanaan nuklir di Indonesia,” tutur Hudi.
Penerapan teknologi nuklir untuk kemanusiaan, menurut Hudi, tak terelakkan lagi jika tidak ingin ketinggalan. “Semua ini arahnya adalah menciptakan inovasi,” kata Hudi. Saat ini, perekonomian nasional tak bisa hanya mengandalkan sumber daya alam. “Juga harus ada nilai tambah dari produksinya. Salah satunya, dengan tambahan teknologi iptek nuklir. Intinya, bagaimana mendapatkan hasil yang maksimal,” Hudi menegaskan.

(Gatra)

Read more...

Para Pengawal Teknologi Nasional

Tiga... dua... satu... nol! Pantai Pameungpeuk bergetar. Asap mengepul. Lalu, wuss... roket RX-420 melesat menembus angkasa, meninggalkan ekor garis asap dengan elevasi 70 derajat. Menteri Negara Riset dan Teknologi, Kusmayanto Kadiman, tersenyum puas.

Tepuk tangan pun bergemuruh menyambut keberhasilan uji terbang roket di Instalasi Uji Terbang Lembaga Penerbangan dan Antariksa (Lapan), Garut, Jawa Barat, Kamis 2 Juli lalu, itu. Roket balistik terbesar hasil pengembangan putra-putri Indonesia itu merupakan bakal roket peluncur satelit.

Rencananya, roket keenam produksi Lapan ini akan menjadi komponen utama proyek roket peluncur satelit, yang bakal rampung pada 2014. Program pengembangan roket nasional pengorbit satelit merupakan salah satu dari dua program unggulan dan strategis Lapan. Kepala Deputi Bidang Teknologi Dirgantara Lapan, Soewarto, menyatakan bahwa perlu waktu seperempat abad untuk melakukan lompatan penguasaan teknologi roket, mulai RX-150 hingga RX-420.

Soalnya, teknologi roket tidak mudah ditransfer oleh negara maju. Walau begitu, peneliti Lapan terpacu untuk mengembangkannya secara trial and error. Mereka melakukan alih teknologi secara otodidak. Dua tahun lalu, Lapan berhasil meluncurkan satelit Lapan-Tubsat, hasil kerja sama dengan ahli antariksa dari Technical University of Berlin, Jerman.

Satelit dengan perlengkapan kamera video itu rutin menyajikan data pengindraan jarak jauh dan telekomunikasi pemantauan potensi perikanan dan kelautan di Indonesia. Hasil alih teknologi dari Berlin itu mempercepat penguasaan teknologi Lapan. Hingga saat ini, lembaga itu tengah merampungkan dua satelit mikro dengan pola orbit ekuatorial hasil karya sendiri. Yakni Lapan A2 dan Lapan ORARI yang dilengkapi dengan pemancar komunikasi radio.

Rencananya, pada 2011, dua satelit itu diluncurkan menumpang roket peluncur milik India. Terobosan penguasan satelit dan roket ini, bagi Soewarto, secara politis merupakan prestise Indonesia. Selanjutnya dapat digunakan untuk menunjang perekonomian dan pertahanan negara. Sayang, peran strategis itu tidak didukung dengan anggaran yang memadai.

Problem ini juga diakui Menteri Kusmayanto Kadiman. "Memang berat," ujarnya. Meski begitu, Kusmayanto tidak mengharamkan kerja sama dengan swasta maupun asing, yang timbal baliknya berupa pemilikan atas hak kekayaan intelektual bersama. "Itu selalu ada dalam dokumen perjanjian kami," kata Kusmayanto.

Hal serupa berlaku bagi para pengawal teknologi nasional. Beberapa di antaranya adalah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Badan Tenaga Atom Nasional (Batan).

BPPT
Sebagai lembaga yang bertugas melakukan pengkajian dan penerapan teknologi, BPPT membuat desain prototipe, pilot plant, mengkaji kelayakan penggunaan teknologi, dan uji coba teknologi. "BPPT tidak melakukan penelitian," kata Marzan A. Iskandar, Kepala BPPT. Dalam penerapan teknologi, BPPT selalu bermitra dengan institusi dan dunia industri.

BPPT dibentuk pada 28 Januari 1974, ketika Presiden Soeharto mengangkat Prof Dr. Ing. B.J. Habibie sebagai penasihat pemerintah di bidang teknologi maju dan teknologi penerbangan. Habibie kemudian membentuk Divisi Teknologi dan Teknologi Penerbangan (ATTP) Pertamina. Lalu ATTP diubah menjadi Divisi Advance Teknologi Pertamina, yang lantas bersalin rupa menjadi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi pada 21 Agustus 1978.

Kebijakan prioritas BPPT meliputi enam bidang pengembangan teknologi. Yakni bidang teknologi informasi, energi baru dan terbarukan, ketahanan pangan, pertahanan keamanan, makanan dan obat-obatan, manajemen transportasi, serta informasi dan telekomunikasi. Tambahannya adalah teknologi manufaktur, teknologi lingkungan, dan teknologi material.

BPPT, kata Marzan, bekerja pada pemanfaatan teknologi tepat guna. Beberapa inovasi yang dilakukan, antara lain, membangun sistem informasi manajemen di daerah. Untuk energi terbarukan, BPPT sedang mendesain fuelcell berbasis bahan baku lokal, yaitu hirogen, sebagai sumber energi masa depan. Bahan bakarnya adalah hidrogen dengan limbah berupa air. Dalam teknologi pertahanan keamanan, BBPT berhasil membuat pesawat tanpa awak: Pesawat Udara Nir-Awak (PUNA).

Batan
Lembaga ini lahir dengan nama Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom (LTA), yang dibentuk melalui Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 1958. Enam tahun kemudian, ia disempurnakan menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) dengan landasan hukum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1964.

Salah satu masterpiece Batan yang patut dibanggakan adalah reaktor serba guna 30 megawatt di Serpong, Tangerang, Banten. Reaktor yang berdiri sejak tahun 1987 itu dioperatori sendiri oleh Batan. "Reaktor Serpong adalah reaktor pertama di dunia yang berbahan bakar uranium perkayaan rendah," ujar Kepala Batan, Hudi Hastowo.

Batan bertugas memberi usulan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan terkait pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir di Indonesia. Namun, sesuai dengan kebutuhan negara, kini Batan lebih memfokuskan diri pada ketersediaan pangan, energi, kelangkaan sumber daya air, kesehatan, dan obat-obatan.

Sejauh ini, Batan telah mengembangkan varietas unggul padi hasil pengembangan dengan teknologi mutasi radiasi. Sebut saja Atomita 1-4, Kahayan, Mira, Padi Bestari, dan Pandan Putri. Selain padi, Batan juga berupaya meningkatkan produksi daging ternak. Caranya, dengan memperbaiki nutrisi pangan, meningkatkan populasi ternak, dan pembuatan vaksin.

"Dengan iptek nuklir, kita tingkatkan nutrisi dan juga tingkatkan reproduksi ternak," kata Hudi. Hal ini dilakukan dengan menambah frekuensi bunting sapi lewat teknik radio immuno assay (RIA) untuk mengetahui datangnya masa berahi ternak. Batan juga bekerja sama dengan industri. Misalnya dengan PT Sang Hyang Sri, produsen bibit bersertifikat.

Meski banyak capaian yang telah diraih, Batan menghadapi masalah serius. Pada saat ini, banyak penelitinya yang hampir pensiun. Padahal, butuh waktu agar para peneliti baru siap menggantikan mereka. Tetapi, di tengah pesatnya inovasi di dunia, para peneliti baru itu tidak mendapat kesempatan pendidikan cukup tinggi. Belum lagi masalah penuaan alat-alat yang terus-menerus dipakai.

LIPI
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI merupakan lembaga yang melakukan penelitian di berbagai cabang ilmu, mulai ilmu pengetahuan alam, engineering science, hingga ilmu sosisal. "Fokus penelitian LIPI lebih ke hulu, bukan di hilir," kata Umar Anggara Jenie, Kepala LIPI. Sekalipun demikian, ada pula penelitian yang ditawarkan kepada industri untuk dikembangkan.

Selama ini, LIPI mendapat anggaran Rp 400 milyar hingga Rp 500 milyar dari pemerintah. Separuhnya digunakan untuk penelitian, sisanya dipakai untuk ongkos administrasi dan gaji sekitar 4.000 pegawai. Dana penelitian itu difokuskan untuk penelitian pada aspek hulu dengan keluaran berupa jurnal atau prototipe yang terpatenkan.

Sejumlah penelitian LIPI diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat. Contohnya, alat yang dibuat Pusat Kalibrasi Meteorologi LIPI, Bird Strike, yakni pengusir burung di landasan terbang pacu bandar udara. Alat ini mengeluarkan suara tertentu yang bisa mengusir burung ketika ada pesawat yang akan mendarat atau terbang.

LIPI juga memiliki pusat inovasi yang tugasnya mengarahkan penelilitan agar menghasilkan penemuan yang bermanfaat. Penelitian diusahakan menghasilkan nilai ekonomi lewat kerja sama dengan industri. Contohnya, mengembangkan kedelai plus ramah lingkungan, yang tidak menggunakan pupuk kimiawi dan dapat hidup pada cuaca seekstrem apa pun.

Hasil penelitian LIPI yang telah dikerjasamakan dengan pebisnis adalah molekul yang bisa menghambat pembentukan kolesterol dalam tubuh. Temuan ini menarik perhatian Dexa Medica, perusahaan farmasi besar di Indonesia. Temuan yang telah dipatenkan itu kelak dipasarkan dengan nama Lipistatin.

Keberadaan LIPI berawal ketika pada 1958, Presiden Soekarno membentuk Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia. Satu dekade kemudian, namanya diganti menjadi LIPI. Sebagai lokomotif teknologi, kedudukan LIPI diibaratkan Umar seperti Academy of Scientific di Cina. Selain memberikan nasihat ilmu pengetahuan dan teknologi kepada pemerintah, mereka juga melakukan penelitian.

(Rita, Syamsul, Mukhlison, Sukmono, Cavin R, @Gatra)

Read more...

Indonesia Memasuki Era Angkasa Luar

Roket warna putih itu mengambil posisi sudut 60 derajat. Jam menunjukkan pukul 06.15 WIB. Hitungan mundur dimulai. Tiga… dua… satu. Ketika hitungan menyentuh angka nol, mesin roket pun menyala. Dan wuss... roket seberat setengah ton itu membelah angkasa, meninggalkan jejak putih.

Roket berspesifikasi panjang 4,736 meter, diameter 32 sentimeter, dan berat total 532 kilogram itu menjangkau jarak 42 kilometer. Capaian itu mengacu pada data global positioning system (GPS) yang dipasang di roket. Data terakhir menunjukkan angka 42,1 kilometer. Pada saat itu, posisi roket masih terbang di atas laut selatan.

Itulah uji terbang roket RX-320 di Stasiun Uji Terbang Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat, 19 Mei lalu. Roket yang diluncurkan itu merupakan roket buatan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang terbesar. Roket itu berhasil meluncur mulus. "RX-320 didesain mendekati Exocet. Itu bukan untuk uji ketinggian," kata Soewarto Hardhienata, Deputi Bidang Teknologi Wahana Dirgantara Lapan.

Uji terbang RX-320 untuk pertama kalinya itu disaksikan para pejabat Lapan. Selain Soewarto Hardhienata, hadir pula Yus Kadarusman Markis, Kepala Pusat Teknologi Wahana Dirgantara, dan Toto Marnanto Kadri, Kepala Pusat Teknologi Elektronika Dirgantara. Peluncuran roket itu merupakan satu tahap uji rancang bangun roket peluncur satelit pertama di Indonesia.

Roket ini membawa muatan payload engineering test untuk mendiagnosis perilaku aerodinamika, olah gerak, trayektori, dan kondisi lingkungan. Data itu dapat diterima Stasiun Bumi Telemetri, Tracking and Command. Soewarto Hardhienata mengatakan, keberhasilan itu merupakan tahap awal untuk mendukung program pembuatan roket peluncur satelit secara mandiri.


Tahap berikutnya, Lapan akan menguji statis roket RX-420. Pengujian yang direncanakan Juni itu dilakukan di darat terlebih dulu. “Kalau semuanya lancar, awal tahun depan akan menjalani uji terbang," katanya. Bila RX-420 sukses terbang, uji selanjutnya adalah menerbangkan sambungan RX-420 dan RX-320.

"Karena roket pengorbit satelit itu susunannya terdiri dari empat tingkat," ujarnya. Tingkat pertama hingga ketiga adalah roket RX-420, sedangkan tingkat keempat roket RX-320. Total roket yang dibutuhkan enam biji. Susunan itu diapit dua roket RX-420. "Pada tingkat pertama masih ditambah booster. Ada dua booster RX-420 juga. Jadi, yang paling bawah itu ada tiga roket RX420," katanya.

Jika semuanya lancar, pembuatan roket peluncur satelit pun bisa dimulai. Karena roket peluncur satelit harus sanggup menjangkau ketinggian 314 kilometer. Roket peluncur satelit rencananya terdiri dari empat tingat dari dua jenis roket, yaitu RX-420 dan RX-320. "Kami sudah membuat grand design-nya untuk pengorbit satelit. Dalam jangka waktu ke depan akan kita uji satu-satu," tuturnya.

Untuk menanam satelit dibutuhkan kecepatan minimum 7,8 kilometer per detik. "Untuk mengimbangi gravitasi, sehingga satelit yang dilempar di orbit tidak turun," katanya. Menurut Soewarto, membutuhkan waktu empat hingga enam tahun untuk membangun roket peluncur satelit itu. "Itu kalau situasinya tenang-tenang saja seperti saat ini," ia menambahkan.

Dengan teknologi semacam itu, berat satelit yang dibawa adalah 5 kilogram (nanosatelit). Padahal, Lapan semula memprogramkan dapat mengorbitkan mikrosatelit seberat 50 kilogram, dengan roket pendorong RX-520. Namun, karena terbentur biaya, akhirnya dipilih satelit nano. “Kami mencoba memanfaatkan yang kami punya," ujarnya. Sebab, secara teknologi, Lapan menguasainya. "Problemnya bukan di teknologi, melainkan pada anggarannya," ungkapnya.

Untuk membangun roket peluncur satelit empat tingkat, dibutuhkan biaya sekitar Rp 400 milyar. Sedangkan anggaran untuk Pusat Peroketan Lapan hanya Rp 40 milyar per tahun. Untuk Lapan, anggarannya Rp 230 milyar per tahun. Situasi pendanaan yang demikian menyebabkan Lapan menurunkan kelas roket pendorong bermuatan 50 kilogram (mikrosatelit) menjadi 5 kilogram (nanosatelit).

Dengan menurunkan daya angkut tersebut, biaya yang dibutuhkan menjadi lebih irit. Bandingkan dengan pendorong RX-520 yang mampu mengangkut 50 kilogram, yang butuh biaya Rp 1,2 trilyun. Biaya ini termasuk untuk pengadaan peluncur roket RX-520 yang harus diimpor. "Sebenarnya kami sudah mampu mengembangkan RX-520. Tapi, ya itu tadi, biayanya mahal, " katanya.

Lain halnya dengan RX-420. Menurut Soewarto, pihaknya sudah memiliki roket sekaligus peluncurnya. Karena itu, Lapan memprioritaskan program roket jenis ini. “Keberhasilan uji terbang kemarin merupakan tanda bahwa kami memulai program itu," ia menegaskan.

Sejauh ini, Lapan mendapat mandat pengembangan roket jarak menengah untuk kepentingan sipil. Antara lain pengembangan roket pengangkut satelit. Sedangkan roket untuk persenjataan berada di luar kewenangan Lapan. Namun Lapan membuka diri bagi pihak militer untuk memanfaatkan teknologi yang dikembangkannya.

Semua roket yang digunakan untuk membangun roket peluncur satelit menggunakan bahan bakar (propelan) padat produksi Lapan. Yakni amonium perklorat. Terdapat dua jenis propelan padat: komposit dan double base. Yang pertama ada beragam jenis, tapi yang populer adalah amonium perklorat karena kandungan energinya tinggi. Lapan sanggup memproduksi propelan padat 10 kilogram per bulan.

Pembuatan AP (NH4-ClO4) di lab Lapan, menurut Heri Budi Wibowo, Kepala Bidang Material Dirgantara Lapan, dilakukan dengan proses elektrolisis secara bertahap. Garam dapur (NaCl) dimasukkan ke larutan asam buffer bernitrogen, kemudian dielektrolisis --dengan setrum bertegangan listrik tertentu. Terbentuknya AP itu melalui beberapa tahap elektrolisis. Untuk memisahkannya dari bahan yang lain, dilakukan pendinginan. Pada suhu minus 20 derajat, kristal AP terbentuk, tinggal dipisahkan.



(Rohmat Haryadi, Gatra)

Read more...

Napaktilas Teknologi Antariksa Indonesia

Indonesia belum pernah terlibat secara langsung dalam eksplorasi ruang angkasa, tetapi Indonesia sebenarnya termasuk negara yang cukup disegani karena pengalamannya dalam mengeksploitasi teknologi keantariksaan. Saat penggunaan satelit bagi sebagian besar negara masih sangat jarang, Indonesia telah meluncurkan satelitnya yang pertama, Palapa A1 pada 9 Juli 1976.

Ini mencatatkan Indonesia sebagai negara ketiga di dunia setelah AS dan Canada yang menggunakan satelit komunikasi domestiknya sendiri.
Indonesia juga sudah memanfaatkan jasanya untuk meluncurkan satelit Palapa generasi kedua, Palapa B1, pada 19 Juni 1983. Operasi penyelamatan satelit Palapa B2, menyusul kegagalan pada peluncurannya yang juga dilakukan oleh misi ulang-alik merupakan operasi bersejarah yang kerumitannya boleh ditandingkan dengan operasi perbaikan teleskop antariksa Hubble pada dasawarsa 90-an.
Pada pertengahan era 1980-an, Indonesia bahkan sempat menyiapkan astronautnya untuk mengikuti misi ulang-alik tetapi karena terjadi bencana Challenger misi ini dibatalkan.

Dalam teknologi peroketan, Indonesia tercatat sebagai negara kedua di Asia, setelah Jepang, yang berhasil meluncurkan roketnya sendiri. Prestasi ini dihasilkan melalui keberhasilan LAPAN meluncurkan roket Kartika 1 pada 14 Agustus 1964. Keberhasilan ini juga tidak lepas dari bantuan teknis dari Rusia. Akan tetapi Indonesia gagal melakukan alih-teknologi. Akibatnya, selama lebih dari seperempat abad sejak meluncurkan satelit pertamanya, Indonesia hanya bisa bertindak sebagai konsumen. Sementara itu, negara-negara lain justru mulai menyiapkan diri untuk mulai belajar mengembangkan teknologi satelit melalui pembuatan satelit mikro (mikrosat).

Malaysia misalnya, yang semula tertinggal puluhan tahun dari Indonesia dalam pemanfaatan teknologi satelit, sejak tahun 2000 telah berhasil meluncurkan satelit mikronya yang pertama, Tiungsat-1, yang merupakan hasil kerja sama dengan Universitas Surrey, Inggris.
Sementara itu, Indonesia baru mulai berancang-ancang membuat satelit mikronya pada tahun 2003 ini melalui kerja sama dengan Universitas Berlin, Jerman. Program yang dilaksanakan dalam dua tahap selama lima tahun hingga 2007 itu, sekarang masih memasuki tahap pertama yang direncanakan selama tahun 2003-2004.

Dalam bidang teknologi roket pun juga kurang berhasil. Akibatnya, pengembangan teknologi roket di Indonesia terhenti, sementara negara-negara Asia lain, seperti India dan Cina, yang lebih belakangan menekuni teknologi ini akhirnya melampaui Indonesia dengan keberhasilannya meluncurkan roket pengangkut satelit ke antariksa.
Indonesia sebenarnya memiliki potensi yang jarang dimiliki negara lain untuk mengembangkan teknologi antariksanya sendiri. Potensi itu berupa garis katulistiwa yang membentang di atasnya. Sekitar 13% dari garis katulistiwa berada di atas wilayah Indonesia. Dengan demikian, Indonesia tercatat sebagai negara pemilik garis katulistiwa yang terpanjang di dunia. Hal ini menjadikan wilayah Indonesia sebagai tempat yang sangat ideal untuk menjadi lokasi peluncuran roket pengangkut satelit. Peluncuran roket dari dekat garis katulistiwa akan lebih menghemat bahan bakar roket, dan karenanya lebih murah dari segi biaya. Potensi inilah yang juga diminati oleh pihak asing. Rusia misalnya, sudah lama mengincar Pulau Biak di Irian Jaya (Papua) untuk menjadi lokasi bandar antariksanya. Tapi karena kita kurang cepat menanggapi tawaran itu, Akibatnya, Rusia akhirnya memilih Pulau Christmast di Australia sebagai lokasi bandar antariksanya.


Selain Rusia, sebuah perusahaan swasta AS juga pernah amat tertarik dan bersedia menanam investasi untuk menjadikan Biak sebagai lokasi peluncuran roket. Rencananya, roket yang akan dioperasikan dari jenis berbahan bakar padat, diangkut melalui laut dari pantai timur AS ke dermaga bandar antariksa Biak. Alternatif lain, bagian-bagian roket diterbangkan dan mendarat di bandar udara Frans Kasiepo Biak, kemudian diangkut melalui darat ke tempat peluncuran.
Rencana inipun gagal dengan sebab-sebab yang tidak jelas. Satu-satunya pihak asing yang telah memanfaatkan potensi Biak adalah Badan Ruang Angkasa India (Indian Space Research Organization, ISRO) yang telah bekerja sama dengan LAPAN untuk membangun stasiun TT&C (Tracking, Telemetry, and Command) di sana. Stasiun ini menjadi penting karena saat India meluncurkan roket pengangkut satelitnya, proses pelepasan muatan roket dilakukan di atas angkasa Irian, dan satu-satunya stasiun bumi yang bisa memonitor dan mengendalikan proses ini hanyalah stasiun di Biak.


Pengembangan teknologi keantariksaan memang bukan prioritas di Indonesia. Tapi paling tidak, kita masih memiliki harapan untuk menuju ke arah sana. Indonesia sebenarnya tidak kekurangan orang-orang pintar. Tetapi yang kurang sebenarnya adalah kemauan politis (political will) dari pemerintah. Hal ini tentu tidak boleh menyurutkan semangat kita untuk terus belajar dan mengejar ketertinggalan dalam bidang teknologi dari negara-negara yang lebih maju.


Read more...

CN-235 ANTI RUDAL

Buatan IPTN untuk Korea

PT Dirgantara Indonesia mengirim CN-235 dengan avionik canggih untuk AU Korea Selatan. Dengan Radar Warning Receiver dan Chaff Flare Dispenser Systems, diantaranya, pesawat ini mampu mempersiapkan diri dan mengelak dari serangan rudal.
Dua unit CN-235 versi transpor militer pesanan AU Korea Selatan (ROKAF, Republic of Korean Air Force) yang digelindingkan keluar dari hanggar PT Dirgantara Indonesia di Bandung, Rabu,18 Desember 2001 itu, sepintas memang tak berbeda dengan pesawat serupa yang dilepas ke Brunei Darussalam, Uni Emirat Arab, dan Malaysia. Ibarat tentara, pesawat-pesawat ini masih 'mengenakan baju' loreng kamuflase. Namun, lewat pernyataan sejumlah pejabat PT Dirgantara Indonesia, isu tentang adanya asesoris canggih yang dipesan AU Korea ini toh akhirnya terkuak juga.

Selain menyandang Chaff Flare Dispenser Systems piranti pelepas serpihan metal pengelabu panas pesawat untuk mengecoh serangan rudal penjejak termal , CN-235 pesanan ROKAF ini dipastikan juga dilengkapi Radar Warning Receiver sebagai alat peringatan dini dari jejakan sinyal radar lawan, dan TCAS sebagai alat bantu navigasi. Direktur Teknologi PT DI, Agung Nugroho, sebenarnya mengaku keberatan jika 'defense equipments' ini dipublikasikan, namun sejumlah pejabat PT DI lainnya cenderung membeberkannya karena seakan tak kuat memendam kebanggaan dan keberhasilan para teknisi maupun insinyur dari pabrik pesawat yang citranya sedang melorot. Mereka ternyata mampu mencangkokkan peralatan militer yang biasanya hanya pas untuk pesawat tempur itu.

Seperti diutarakan Commander Aerospace Project Group ROKAF, Mayjen Lee Jin Hak usai acara Penyerahan Perdana 2 Unit CN-235-220M kepada ROKAF, 18 Desember 2001 lalu di Bandung, dengan segala kecanggihannya itu, pihaknya kini sepakat untuk mengakui kemampuan Indonesia dalam hal teknologi kedirgantaraan. Ia selanjutnya berharap kedua negara bisa menyusun jalinan kerjasama di bidang aerospace yang lebih erat di masa mendatang.

"Setiap angkatan udara pasti menghendaki kriteria khusus untuk pesawat-pesawat militernya. Dalam kaitan dengan CN-235 yang baru saja kami terima, harus diakui Indonesian Aerospace (nama internasional untuk PT DI) telah berhasil memenuhi permintaan ROKAF sesuai standar misi yang kami inginkan," ujarnya kepada wartawan.

Selain dihadiri Mayjen Lee Jin Hak selaku wakil pembeli, juga hadir Dubes Korea untuk Indonesia Kim Dae Suk, KSAU Marsekal TNI Hanafie Asnan selaku Komisaris Utama PT DI, Dirut PT DI Jusman SD, serta jajaran perwira dan staf dari kedua pihak. Serah terima tak ayal menjadi meriah karena diselingi pula dengan pentas tarian khas dari kedua negara dengan pakaian yang warna-warni.

Nyaris kena pinalti

Apapun itu, diterapkannya tiga piranti penting tersebut sesungguhnya adalah bagian dari permintaan ROKAF yang terlanjur disanggupi PT DI tatkala AU Korea Selatan ini tengah mengalami kekecewaan menyusul bungkamnya150 items hubungan aplikasi elektronik pada 12 CN-235 yang baru dibeli dari CASA-Spanyol. Hubungan aplikasi elektronik ini khususnya berkaitan dengan asesoris dan sistem kendali pengoperasian pesawat yang begitu diidam-idamkan ROKAF.

Kedatangan PT DI dalam tender tahap kedua yang dengan berani menjamin bahwa masalah teknis tersebut tak akan muncul dalam CN-235 buatannya, nampaknya adalah janji yang begitu diperhatikan Pemerintah Korea Selatan. Mereka selanjutnya sepakat membeli delapan unit pesawat lewat sistem counter-trade dengan paket peralatan dan kendaraan hankam yang kemudian ditandatangani pada Oktober 1997. Dari delapan unit tersebut, enam unit diantaranya berasal dari versi transpor militer, sementara dua lainnya dari versi VVIP.

"IPTN (kini PT DI) sendiri semula diminta memecahkan seluruh complain itu, namun kami hanya menyanggupi 114 items di antaranya yang akan diterapkan pada CN-235 buatan IPTN, dan mereka setuju," begitu ujar sumber Angkasa. Seperti diakui KSAU Hanafie Asnan, kedelapan unit CN-235 senilai 143 juta dollar AS tersebut diantaranya juga akan 'ditukar' dengan tujuh unit pesawat latih turboprop KT-1 buatan Korean Aerospace.

Dari segi struktur dan sistem kendali penerbangan, CN-235-220 sebenarnya sudah memiliki berbagai keunggulan dibanding CN-235-100. Sebagai versi advanced, CN-235-220, misalnya, lebih enak untuk diterbangkan, sementara dari segi ergonomis panel, avioniknya lebih aplikatif untuk dipasangi berbagai piranti tambahan. Selain itu, untuk keperluan angkut militer, kemampuannya untuk lepas-landas serta mendarat pada landasan yang pendek (STOL) dan daya angkutnya yang 1.000 kilogram lebih tinggi praktis akan menjadi bahan pertimbangan yang amat krusial. Itu sebabnya, wajar jika banyak penerbang AU Korea Selatan kemudian lebih menyenangi terbang dengan versi yang lebih canggih ini.

Perihal permintaan dipasangnya RWR, CFDS, dan TCAS sendiri, Dirut Jusman SD tak bisa menjelaskan secara rinci kecuali bahwa semua itu adalah bagian dari syarat dan pertimbangan kemiliteran yang diminta ROKAF. "Kita tahu Korea Selatan amat unggul dalam teknologi avionik. Kondisi ini mestinya amat mempengaruhi sehingga peralatan elektronik itu sampai dipesan," ujar Jusman SD.

Celakanya, dari aspek yang lain, PT DI sendiri nyaris terkena pinalti denda puluhan ribu dollar. Itu karena penyelesaian pesawat yang telah mundur dari jadwal. Dari semestinya dikirim Juni 2001 mundur jadi Desember 2001. Namun, pihak Korea akhirnya mau mengerti dan membatalkan pinalti itu karena masalah ini tak lain adalah akibat langkah embargo yang ditempuh pihak ketiga, yakni dari negara-negara pemasok peralatan militer berkaitan dengan kasus Hak Azasi Manusia di Timtim. Untuk itu kedua pihak sepakat mengatur ulang pengiriman kedelapan pesawat. Dua unit pertama persisnya jatuh pada 18 Desember 2001 lalu, dua unit lagi menyusul Februari 2002, lalu kembali 2 unit pada April 2002, dan sisa 2 unit terakhir rencananya akan diserahkan pada September/Oktober 2002.

Seperti diungkap Costumer Relation PT DI, Pidana Bangun, yang ikut dalam penerbangan kedua pesawat dari Bandung ke Korea Selatan, kedelapan pesawat buatan PT DI ini akan menjadi skadron CN-235 kedua yang selanjutnya akan ditempatkan di Pangkalan Udara Militer Kim Hai, Pusan. Baginya, posisi PT DI yang sudah di atas angin sesungguhnya telah menjadi peluang yang baik untuk meraih tender pengadaan CN-235 tahap ketiga yang telah diumumkan ROKAF beberapa waktu lalu. Itu sebabnya, pihaknya akan berusaha sekuat tenaga memberikan layanan purna jual dengan semaksimal mungkin.

"Sudah positif bahwa mereka tengah mempersiapkan sejumlah dana untuk membentuk skadron CN-235 ketiga, dan mudah-mudahan saja kita yang memenangkan tendernya," ujarnya. Menurut catatan Angkasa, sejauh ini PT DI telah berhasil menjual total 28 CN-235 versi militer ke mancanegara. Dalam hal ini ke Brunei - 1 unit, Uni Emirat Arab - 7 unit, Malaysia * 6 unit, Pakistan * (telah sepakat membeli) 4 unit, dan Korea * 8 unit.



(AngkasaOnline)
Read more...

Ketiak Kritis dari Bandung

Komponen Pesawat Terbang

Istilah flying machine, mesin terbang, sering dipakai sebagai kata ganti plane. Pada diri plane itu sendiri, komponen yang memberikan kemampuan terbang adalah sayap. ''Flying machine yang sesungguhnya adalah sayap,'' kata Prof. Said Djauharsyah Jenie, pakar astodinamik dari PT Dirgantara Indonesia, Bandung, Jawa Barat. Karena sayap itulah, burung besi yang berbobot ratusan ton sekalipun bisa mengangkasa secara aman.

''Sayap pula yang memberi fungsi utama sistem transportasi udara selama ini,'' Said menambahkan, sambil mengingatkan, pada sayap pula mesin pesawat secara fisik bergantung. Maka, doktor lulusan Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat, itu bangga Airbus mempercayakan pembuatan sayapnya di Bandung.

Di hanggar fabrikasi PT Dirgantara, Senin 28 April lalu, Direktur Utama Edwin Sudarmo memasok order pertamanya. Bagian ketiak sayap (inboard outer fixed leading edge) yang dibuat di Bandung itu akan dirakit di Toulouse, Prancis, dan menjadi bagian Jumbo Jet terbesar di dunia A 380. Pesawat berpenumpang 555 orang itu dijadwalkan terbang Maret 2006.

Menurut Edwin, kontrak bisnisnya sendiri diteken British Aerospace System (BAe) selaku pemasok Airbus pada 18 April 2002. ''Nilainya US$ 90 juta untuk 10 tahun. Tahap awalnya dipesan 50 set sayap,'' katanya. Bisa saja, seperti dikatakan Duta Besar Inggris Richard Gozney, kelak pesanannya lebih besar. Sampai 2020, pasar pesawat berpenumpang di atas 400 mencapai 1.235 unit. ''Pesanan itu akan terus dilanjutkan selama BAe masih percaya sama kita,'' kata Edwin.

Tapi, apa hebatnya PT Dirgantara memproduksi sayap A 380? ''Biasa saja, karena mulai desain hingga bahan bakunya sudah ditentukan BAe,'' kata Dr. Joko Sarjadi, dosen teknik penerbangan Institut Teknologi Bandung (ITB). ''Yang luar biasa kalau mulai bahan baku, desain, hingga produksi kita buat sendiri,'' ujar Prof. Dr. Filino Harahap, Kepala Laboratorium Mesin ITB, kepada Mappajarungi dari GATRA.

Namun, Said Jenie, yang juga dosen teknik penerbangan di ITB, tak sepakat. ''Itu kepercayaan besar,'' tuturnya kepada Nuke Susanti dari GATRA. Menurut Said, sayap pesawat itu ada yang bagian luar (outer wing) dan bagian tengah (center wing). Yang dibuat Bandung adalah bagian tengah yang kritis, karena sebagai penyambung sayap dengan bodi. Kalau bagian ini rontok, pesawat berentang sayap 80 meter, panjang 73 meter, serta tinggi 24,1 meter itu bakal hancur lebur.

Teknologi sayap itu sendiri tergantung kecepatan pesawat. Untuk pesawat subsonic (di bawah kecepatan suara), bentuknya lurus seperti pada CN-235 dan N-212, yang juga dibuat Dirgantara. Dan pesawat transonic (kecepatan di atas 0,7 kecepatan suara) sayapnya lebar.

A 380 sendiri tergolong transonic (0,88 kecepatan suara), yang bobotnya saat lepas landas 500 ton. Konsekuensinya, kata Said Jenie, sayap yang lebar itu harus ringan dan lambai (lentur). Kalau sayapnya berat, strukturnya menjadi kaku. Maka, A-380 dibuat dengan bahan spesial.

Menurut situs Airbus, sekitar 40% badan A 380 dibikin dari serat karbon komposit baru. Dan bagian luarnya dilapisi dengan bahan bernama GLARE. Ini membuat bobot kosong A 380 menjadi 240 ton, atau lebih ringan 10 hingga 15 ton dari pesawat seukuran yang dibuat Boeing 747.

''Komposit karbon ini membuat produksinya tak bisa memakai mesin biasa,'' kata Said. Karena itu, Dirgantara telah pula membeli sembilan mesin Cincinnati Aluminium Milacron, yang mampu membelah baja dengan akurasi tinggi.

Kepala Program A 380 Dirgantara, Budiman Saleh, mengungkapkan kerumitan lain dalam produksinya. Dirgantara membuat tak kurang dari 460 komponen. Komponen-komponen itu ada yang dirakit menjadi 18 rakitan besar, dan sisanya dikirim langsung ke Inggris.

Menurut Budiman, sebelum menang tender, dilakukan audit kemampuan teknis dan kapasitas produksi oleh tim BAe. Lantas, Dirgantara diminta membuat tiga bagian tengah sayap sebagai contoh. Hinge rib itu lalu diuji di Inggris.

Hasilnya, terjadi lentingan atau bengkok 4 mm. ''Tapi, pesaing kita di Inggris lentingannya 12 mm,'' kata Budiman. BAe cuma memberi toleransi 1 mm. Tim Budiman melakukan perbaikan dengan menembakkan bijih besi atau teknik corrective shot peening. ''Hasilnya, lentingannya hanya 0,5 mm. Mereka puas,'' ujar Budiman. Ketiak Airbus memang bukan urusan sepele.


(Dani Hamdani, dan Ida Farida, Gatra)
Read more...

Merajut Kembali Iptek Indonesia

Luasnya laut, daratan dan sumberdaya Indonesia telah menjadi berkah khusus bagi Indonesia untuk menikmatinya. Dengan cara apa kita menikmatinya? Bagaimana cara mengangkatnya dari perut bumi, bagaimana mengonversinya menjadi sesuatu yang layak guna, layak pakai dan layak konsumsi? Semua tentu memakai cara, memakai metode, memakai ilmu, memakai teknologi, memakai inovasi, yang dikenal dengan Iptek. Negeri ini berisi orang-orang hebat. Terbukti dari prestasi mereka dalam kancah internasional melalui olimpiade matematik, kimia, fisika dan biologi selalu mendapat tempat terhormat. Lalu apa tindak lanjut dari semua itu untuk mendayagunakan putra-putri terbaik bangsa? Di tangan mereka bakal lahir inovasi-inovasi baru yang menjadi simbol eksisnya suatu bangsa.

Acara Kick Andy Metro TV banyak mengekspose orang-orang hebat yang lahir di negeri ini. Bagaimana seorang Nelson Tansu, menjadi profesor termuda di Amerika dengan kemampuan personel yang luar biasa, diakui keahliannya secara internasional. Bagaimana salah seorang putra terbaik bangsa juga kini tengah menduduki pucuk pimpinan HRD di PLN nya Swedia. Iklim penelitian di sana sungguh kondusif, dana sangat layak (defenisi layak mengacu pada internasional), dana mengucur tepat waktu, prosedur administrasi mudah, dan budaya aparatur negaranya bersih. Sehingga proses pencairan dana riset tepat waktu dan tidak ada yang dicuri. Budaya yang entah kapan bisa ada di bumi ini.

Di era tahun 1970-an dunia takjub akan dunia iptek lewat misi Apolo 13 ke bulan. Tepatnya 11 April 1970 ketika Apolo 13 meluncur tiba-tiba mengalami kendala teknis. Semua ini menyebabkan kondisi kritis bagi semua astronotnya, dan pilihannya adalah hidup atau mati. Namun kemudian para insinyur di stasiun pengendali Houston tanpa lelah menghitung secara konvensional, mengalkulasi secara presisi agar modul dari Apolo bisa kembali ke bumi dengan selamat. Kalkulasi di atas kertas ternyata mampu membimbing para astronot untuk kembali dengan selamat ke bumi. Sejarah iptek pun telah ditorehkan dalam penyelamatan 33 pekerja tambang di Chile. Dengan teknologi kapsul yang mampu menembus bawah Bumi, akhirnya 33 pekerja yang terjebak di areal penambangan selama berbulan-bulan bisa terselamatkan.

Dua peristiwa besar yang berbeda era tersebut menunjukkan bahwa dari masa ke masa capaian iptek yang ada di dunia begitu dinamis dan meningkat pesat. Ada konsistensi dalam menempatkan iptek sebagai soko guru perekonomian. Sebagai senjata dan sebagai wahana kemakmuran bagi bangsa yang melakukannya. Melihat hal di atas muncul suatu pertanyaan dalam benak kita bagaimana dengan bangsa kita?

Bila melirik ke fasilitas-fasilitas yang sudah diinisiasi di masa BJ Habibie sebagai menristek, kondisi saat ini sungguh mengenaskan. Tempat yang diisi putra-putra hebat bangsa ini dalam kondisi memprihatinkan. Apabila pemerintah konsisten dan berkomitmen untuk membawa bangsa Indonesia maju, tentu tidak akan ada laboratorium yang menganggur dan menjadi besi tua. Apalah susahnya mengalokasikan anggaran yang layak untuk perawatan fasilitas. Sangat tidak rugi bila pemerintah mengalokasikan anggaran yang sangat rasional untuk kemajuan iptek bangsa. Hal itu sangat wajar karena di lumbung inovasi akan melahirkan 'senjata' untuk kemajuan bangsa. Pemerintah harus sadar negara ini wajib mengalokasikan dana iptek besar, kontinu dan progresif untuk investasi bangsa ini.

Anggaran iptek saat ini masih di bawah 1 persen dari APBN, dari sudut pandang apapun tidak bisa bermakna banyak. Tidak perlu jauh-jauh di lingkungan ASEAN saja, anggaran iptek Indonesia paling kecil. Padahal potensi anak bangsanya luar biasa. Lalu apa peran pusat penentu kebijakan nasional melihat hal ini? Banyak sistem yang salah. Kementerian yang berposisi sebagai pembuat kebijakan malah sebagai pelaksana teknis juga. Bila melihat di negara-negarra maju, kementerian tidak ada yang menjadi penerima dana dari aspek apapun. Mereka hanya membuat kebijakan, dan eksekusinya diserahkan kepada pihak-pihak yang kompeten. Apakah melalui kontrak kepada laboratorium universitas dan pusat penelitian terbaik di negaranya, atau kepada konsultan yang memang andal ataupun kepada perusahaan-perusahan yang berkelas.

Sangat perlu pemerintah mengajak dewan meninjau ulang regulasi tentang iptek yang ada. Dengarkan, simak, pertimbangkan masukan-masukan dari putra-putra hebat kita dan kemudian dilaksanakan. Kita tidak bisa hanya sekadar marah, melayangkan protes diplomatik kepada negara lain yang menyerobot batas wilayah. Kondisi saat ini alutsista kita tidak berfungsi optimal dan mumpuni, sehingga terbatas untuk mengawal sumberdaya alam kita yang begitu luas. Putra-putri bangsa sesungguhnya sangat potensial dalam membuat alutsista terbaik juga. Hanya saja kesempatan itu belum sampai secara signifikan. Jangan sampai negara lain yang memberi kesempatan dengan godaan dana iptek yang besar.
Peta iptek Indonesia sampai 2025, 2050 dan 2100 bagaimana? Kita tidak ingin mewariskan kebangkrutan kepada anak cucu kita. Seharusnya semua proyek nasional harus dikerjakan oleh putra-putri bangsa, bukan orang asing. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus bisa merajut iptek Indoensia kembali dengan perencanaan yang baik, tata kelola yang baik melalui beberapa tahapan.

Pemerintah harus bisa menghilangkan simpul-simpul penghambat iptek seperti pajak untuk dana riset. Melancarkan simpul aturan dan birokrasi yang menghambat. Pemerintah juga harus bisa menciptakan kultur sehat di dunia penelitian dengan cara menambah dana riset yang sesuai, layak serta rasional. Dalam menyelesaikan persoalan iptek nasional ini, pemerintah dan wakil rakyat harus duduk bersama untuk menyamakan pemikiran dan visi, termasuk merevisi aturan yang berkontribusi menghambat gerak maju iptek Indonesia. Tentu saja hal ini akan semakin sempurna bila media massa cetak dan elektronik ikut mengibarkan betapa pentingnya memajukan iptek berkarakter Indonesia. 

(M Evri, Perekayasa BPPT, Media Indonesia)

Read more...

PT Pindad, Dinamika Inovasi Teknologi

Industri pertahanan dan keamanan (hankam) bagi negara manapun merupakan hal yang niscaya dan merupakan kemestian. Ia menjadi penting karena industri hankam menyediakan sumber daya yang dibutuhkan bagi pertahanan dan keamanan. Hal inilah yang menyebabkan dimanapun industri hankam menjadi strategis dan memberikan ruang yang besar bagi negara untuk melakukan intervensi. Sehingga setiap negara berusaha untuk mengembangkan industri hankamnya sendiri agar mandiri.


Ketergantungan yang tinggi pada pihak asing terhadap peralatan dan produk hankam, selain menguras devisa juga akan mengandung kerawanan bagi kedaulatan dan pertahanan negara yang bersangkutan. Dalam perang teluk kemarin, ternyata sebagian peralatan militer Amerika tergantung pada komponen industri sipil buatan Jepang. Untuk Indonesia, embargo terhadap peralatan dan jasa di bidang pertahanan dari Pemerintah Amerika Serikat cukup mengganggu kinerja sistem hankam kita. Jadi mau tidak mau Indonesia harus terus-menerus berusaha mengembangkan industri dan teknologi hankamnya sendiri secara mandiri.


Dalam kaitan inilah studi ini menjadi penting dan menemukan maknanya secara signifikan. Studi ini akan melihat proses akumulasi dan pembelajaran yang terjadi di salah satu industri hankam Indonesia yaitu PT PINDAD. Dari sini diharapkan akan terlihat usaha dan kebijakan apa saja yang perlu dilakukan agar industri hankam kita mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan pertahanan dan keamanan secara efisien dan memadai.

Studi tentang pembelajaran dan inovasi teknologi dengan perusahaan sebagai unit analisis sungguhlah penting, karena untuk banyak negara berkembang perusahaanlah yang sesungguhnya berperan besar dan merupakan aktor kunci dalam pengembangan kemampuan teknologi nasional. Terlalu memfokuskan diri, menaruh harapan besar dan bertumpu pada lembaga-lembaga riset pemerintah sebagai aktor kunci pengembangan teknologi nasional sebagaimana yang telah dan masih terjadi di negara kita tidak saja merupakan sesuatu yang salah kaprah tapi juga fatal buat pengembangan teknologi nasional ke depan dan kemandirian ekonorni dalam jangka panjang.

Pembelajaran teknologi bukanlah proses yang terjadi begitu saja tetapi merupakan bagian dari usaha sadar untuk mengakumulasi pengetahuan dan kemampuan teknologi. Proses-proses yang terjadi dapat meliputi pencarian teknologi, pemilihan, akuisisi, asimilasi, adaptasi, peningkatan kualitas dan diversifikasi teknologi. Karenanya proses pembelajaran tersebut jauh dari sifat statis, bahkan seringkali sangat dinamis.

Tulisan ini akan menguraikan dan menggambarkan proses pembelajaran yang terjadi di PT PINDAD. Proses tersebut akan dibagi menjadi beberapa tahap yang menggambarkan peningkatan teknologi yang dialami dalam proses produksinya. Tahapan ini dibagi berdasarkan peningkatan kemampuan produksi dan teknologi. Tahapan ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam melihat proses akumulasi kemampuan teknologi yang terjadi selama ini di PT PINDAD.

Di bagian berikutnya akan dilakukan pembahasan diskusi dengan menggunakan model analitis yang akan mengidentifikasi beberapa hal yaitu produk PT PINDAD, kemampuan produksi, kemampuan teknologi, faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran, sumber pembelajaran serta mekanisme pembelajarannya. Namun sebelum itu akan diringkaskan sedikit tentang kerangka teori yang digunakan serta latar belakang dan sejarah PT PINDAD agar pembahasan nanti dapat diletakkan dalam konteks yang tepat dan memadai.



Latar Belakang dan Sejarah

PT PINDAD mempunyai tradisi yang panjang dalam kegiatan produksi dan desain produk seperti senjata dan amunisi. Sejarah pengembangan pabrik senjata dan amunisi dimulai pada tahun 1808 dengan didirikannya Artillerie Constructie Winkel di Surabaya. Keberadaan pabrik ini mengalami perjalanan waktu yang lama dan panjang serta telah mengalami perubahan nama beberapa kali sejak jaman penjajahan. Pada tahun 1924 pabrik ini digabung menjadi dengan pabrik amunisi ringan dan berat dan juga material eksplosif yang diberi nama Artillery Plant.

Pabrik tersebut kemudian diserahkan dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Indonesia yang dikemudian diberi nama resmi Pabrik Senjata Munisi (PSM), di bawah manajemen Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada tahun 1979 namanya diubah menjadi Perindustrian Angkatan Darat (PINDAD). Pada tanggal 29 April 1983, statusnya berubah menjadi perusahaan milik negara yang diberi nama PT PINDAD (Persero) dan dalam Keppres No. 44 tanggal 29 April 1989 dimasukkan ke dalam industri strategis yang dikelola oleh Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) yang sekarang telah dibubarkan.

Sejak tahun 1983 PT PINDAD telah menambah kemampuannya untuk memproduksi produk-produk nonmiliter seperti generator, mesin perkakas dan berbagai macam peralatan mekanis dan listrik lainnya.

Aktivitas utama PT PINDAD adalah melakukan bisnis di bidang alat dan peralatan yang akan membantu pada kebijakan yang independen dalam pertahanan dan keamanan dan juga alat dan peralatan. Dilihat dari produknya PT PINDAD terdiri dari dua direktorat yaitu Direktorat Produk Militer dan Produk Komersial. Direktorat Produk Militer terdiri dari Divisi Amunisi, Divisi Senjata dan Unit Bisnis Workshop dan Prototipe. Sedangkan Direktorat Produk Komersial terdiri dari Divisi Mekanik, Listrik, Forging dan Pengecoran, Unit Bisnis Tool Shop, Stamping dan Laboratorium.

Divisi Amunisi memiliki fasilitas produksi yang berlokasi di Turen, Malang, Jawa Timur. Untuk memenuhi kebutuhan permintaan pemerintah dan juga pengembangan produk, fasilitas produksi dilengkapi dengan pendirian Filling Plant untuk mendukung produksi mortar shells, bom, TNT blocks, shaped charges dan lain-lain. Saat ini Divisi Amunisi telah menjadi divisi yang dapat diandalkan dan tetap mampu memproduksi berbagai jenis amunisi dan logistik militer, pyrotechnics and peralatan untuk mendukung kebutuhan pemerintah maupun swasta.

Hampir semua produk Divisi Amunisi telah melalui berbagai pengujian sesuai dengan standar NATO dan juga militer Amerika Serikat. Penelitian dan pengembangan telah dilakukan untuk mendapatkan analisis yang akurat terhadap desain dan kinerja produk. Fasilitas laboratorium kimia dan pengujian tembakan juga tersedia untuk mencapai standar yang diinginkan. Fasilitas produksi saat ini sudah dapat memproduksi peluru kaliber 9 mm, 5,56 mm (SS109 and M193), 7,62 mm, 12,7 mm, 0.38", dan mempunyai filling plant, pyrotechnic, tool shop, stamping, dan perlakuan panas.

Divisi Amunisi juga telah membangun gudang khusus untuk penyimpanan sementara agar material dan produk terjaga kondisinya. Manajemen penyimpanan diterapkan agar amunisi tetap dalam kondisi yang prima dan terjaga. Untuk mendapatkan produk yang berkualitas tinggi, kontinuitas produksi dan pasokan, pemeliharaan fasilitas produksi dilakukan secara teratur dan berkala. Tenaga kerja berkeahlian dilatih secara profesional baik di dalam maupun luar negeri di bidang produksi. Bantuan teknis disediakan untuk memandu proses produksi agar menghasilkan pasokan produk yang optimal.

Divisi ini juga telah mendapat sertifikat ISO 9001 dari SGS Yearsly-International Certification Services Ltd, Inggris pada tahun 1994. Semua proses produksi harus memenuhi standar ini. Salah satu unsur penting dalam menerapkan standar ini adalah menvediakan penggunaan sistem Statistical Process Control (SPC).

Divisi Senjata memiliki fasilitas produksi yang berlokasi di Bandung, Jawa Barat. Fasilitas yang ada tersebut membuat mereka dapat melakukan semua aktivitas desain, manufaktur, pengembangan, pengujian dan bantuan teknis kepada pernakai semua produknya. Kegiatan desain dilakukan dengan bantuan alat-alat modern. Perangkat lunak CAD (Computer Aided Design) dan simulasi dilakukan oleh komputer tersendiri dalam sebuah laboratorium sebagai bagian dari kegiatan desain itu sendiri. Kekuatan dan kinerja produk diteliti secara terus-menerus untuk mendapatkan peningkatan kualitas dan keandalan produk. Proses manufaktur dengan standar yang tinggi sesuai dengan tuntutan yang ada dimungkinkan dengan adanya tenaga kerja yang berkeahlian tinggi yang didapat melalui perjalanan dan pengalaman yang panjang. Tenaga kerja di Divisi Produk Militer memiliki keahlian khusus seperti desain produk, balistik, sistem inventarisasi, pemeliharaan senjata dan lain-lain. Divisi ini juga melakukan investasi yang besar dalam pengadaan mesin perkakas yang modern. Sistem penjadwalan dan pengendalian produksi yang dibantu komputer memungkinkan dilakukan penyerahan produk sesuai dengan waktu yang ditentukan.

Untuk memenuhi kebutuhan nasional dan juga ekspor Divisi Senjata melengkapi fasilitas produksi dengan beberapa produk dan juga fasilitas pendukung lainnya seperti rifles, senapan serbu (SSI-V1, SS2-V2, SS1-V3, SS1-V5), senapan sniper (SPR-1), pistol (P-1, P-2), revolver (R1-V1, R1-V2, RG-1 (type A), RG-1 (type C)), senapan sabhara/polisi (Sabhara V1 and Sabhara V2), senjata penjaga hutan, pistol profesional magnum, peluncur granat, dan pelindung tubuh (personal body protection).

Divisi Mekanik terbentuk sebagai unit bisnis pada tanggal 1 Januari 1996. Keputusan untuk mendirikannya sebenarnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas bisnis utama PT PINDAD secara integral dan sinergis. Aktivitas utamanya adalah melakukan bisnis di bidang alat dan peralatan industri secara fleksibel dan independen untuk mendapat laba yang pantas dan pertumbuhan industri melalui keunggulan teknologi dan efisiensi. Produk yang dihasilkan dari divisi ini diantaranya adalah mesin perkakas, mesin pengolah kayu, sistem rem udara kereta api dan permesinan dek kapal laut.

Divisi Listrik (Divtrik) yang didirikan pada tanggal 1 Januari 1996 sekarang dikenal sebagai salah satu penghasil peralatan energi dan transportasi terbaik di Indonesia. Mereka juga menyediakan pelayanan pemeliharaan dan perbaikan alat-alat tersebut. Divtrik ini juga memproduksi konstruksi baja dan berbagai jenis produk fabrikasi. Produk yang dibuat saat ini adalah synchronous generators, motor traksi, panel kontrol, gear cases, jib cranes, peralatan mesin dek kapal laut dan komponen mesin perkakas. Divtrik terdiri dari dua departemen produksi yaitu fabrikasi dan perakitan yang menempati areal seluas 48,000 meter persegi.

Departemen Fabrikasi menempati areal seluas 5,200 meter persegi (indoor) dan 2,000 meter persegi (outdoor). Konstruksi logam dari generator, motor, pressure vessels, gear cases, jib cranes, deck machineries dan mesin perkakas dibuat di sini. Sementara Departemen Perakitan yang menempati areal seluas 8,025 meter persegi melakukan kegiatan perakitan, pemeliharaan dan perbaikan mesin dan alat listrik (generator, motor, trafo) and VCB. Fasilitas produksi Divtrik sekarang ini adalah yang terlengkap peralatannya di Indonesia.

Unit Bisnis Tool Shop memiliki kemampuan untuk memproduksi berbagai produk dengan akurasi yang tinggi mencapai 1 mikrometer. Kemampuan ini didukung oleh fasilitas mesin dan tenaga kerja yang terlatih dan berkeahlian tinggi. Produk yang dikeluarkan antara lain alat pemotong, jigs & fixtures, komponen berpresisi tinggi dan gauges.

Unit Bisnis Stamping sudah memiliki kemampuan yang unggul seperti untuk proses cutting seperti blanking, piercing, nothcing, cropping, parting, lanzing, semi nothcing, shaving dan trimming. Sementara untuk forming plat logam mereka dapat melakukan bending, flanging, coining, semi pierching, deep drawing, crimping, curling, forming dan collar drawing. Produk yang telah dihasilkan antara lain internal/external gear, komponen otomotif, kotak meter listrik, rat duster, komponen senjata, tool box, food plate, komponen salon, komponen mesin tekstil dan blade knife.

Unit Bisnis Laboratorium dapat melakukan berbagai macam pengujian dan pelayanan kalibrasi baik untuk produk militer maupun komersial. Tenaga ahlinya sudah memiliki kualifikasi dan sertifikasi dan untuk menjaga keabsahan hasil pengujian dan kalibrasi PT PINDAD senantiasa mengikuti prosedur yang ditetapkan organisasi APLAC (Asia Pasific Accreditation Committee). Laboratorium kalibrasi PT PINDAD adalah anggota Calibration National Network dan memiliki akreditasi dari ISO.IEC Guide 25 (DSN 01-1991). PT PINDAD juga mengikuti persyaratan industri yaitu dengan memiliki sertifikat standar ISO 9001, ISO 9002, and ISO 9003.

Saat ini PT PINDAD telah melakukan kerjasama membentuk perusahaan joint venture antara lain dengan :
� PT Fanuc GE Automation Indonesia, yang produk dan layanannya adalah mesin CNC, rekayasa otomatisasi pabrik dan PLC
� PT Siemens Indonesia, yang produk dan layanannya adalah MV/LV Switchgear dan Machinery
� PT GHH Borsig South Fast Asia, yang produk dan layanannya adalah konstruksi dan pemeliharaan turbin uap dan gas
� PT Lucas-PINDAD Aerospace Indonesia, yang produk dan layanannya adalah pembuatan dan perakitan komponen pesawat terbang



Tahapan Pengembangan Kemampuan Teknologi di PT PINDAD

Pembelajaran dan inovasi teknologi adalah proses besar yang dinamis, butuh waktu, biaya dan tidak terjadi secara otomatis. Pengalaman PT PINDAD sebagaimana akan diuraikan berikut ini setidaknya memberikan gambaran tentang dinamika itu.

A. Pembentukan Kemampuan Dasar (1808 - 1950)

PT PINDAD adalah perusahaan warisan Pemerintah Kolonial Belanda. Awalnya adalah bengkel persenjataan tentara Belanda yang berlokasi di Surabaya. Pada masa itu kegiatan yang dominan adalah pemeliharaan senjata artileri mereka. Aktivitas ini terus berlangsung sampai selesai Perang Dunia I. Dari aktivitas ini, sedikit demi sedikit pengetahuan yang bersifat tacit dan teknologi senjata dan artileri dapat diakuisisi. Pada perkembangan selanjutnya lokasi pabrik kemudian berpindah ke Bandung. Pada tahun 1924 dimulailah kegiatan produksi amunisi untuk pertama kali. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas setelah Perang Dunia Pertama pabrik ini digabung menjadi dengan pabrik amunisi ringan dan berat dan juga bahan eksplosif. Pada saat itu pula dimulailah tahap pembuatan senjata dengan tingkat teknologi yang ada pada waktu itu.

Untuk menunjang kemampuan manufaktur senjata diadakanlah investasi alat-alat produksi. Pengecoran merupakan kemampuan yang utama pada saat itu karena pembuatan senjata banyak melibatkan proses ini. Sebut saja misalnya senjata laras panjang maupun pendek, meriam dan pelurunya yang berbentuk bulat. Ini semua membutuhkan keahlian pengecoran yang akurat. Dengan pembelajaran terus� menerus melalui proses maka sedikit demi sedikit kemampuan pengecoran yang baik dimiliki oleh PT PINDAD.

Setelah itu fasilitas produksi tersebut diambil alih oleh Pemerintah Indonesia. Sebagian pekerjanya terutama warga pribumi tetap bekerja di sana. Hal ini menyebabkan akumulasi teknologi baik yang eksplisit maupun tacit yang terjadi selama ini sebagian tetap terjaga.

B. Akuisisi dan Asimilasi Kegiatan Produksi Senjata Militer Berkaliber Kecil (1950 - 1983)

Pada tahun 50-an dimulailah kegiatan produksi senjata militer berkaliber kecil dengan fasilitas produksinya diimpor dari Italia. Pembuatan amunisi dimulai juga tahap ini. Sejarahnya dimulai dengan pengambilalihan Cassava Factory (Pabrik Tepung Ubi Kayu) di Turen, Malang, dari Pemerintah Kolonial Belanda oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Pabrik ini tidak didirikan di Bandung karena faktor keamanan yang mengharuskan pembuatan mesiu jauh dari pemukiman penduduk. Aktivitasnya dimulai dengan memproduksi peluru kaliber 12.7 mm pada tahun 1968, diikuti dengan kaliber 7.62 mm dan kaliber 9 mm pada tahun 1970 serta kaliber 3.56 mm pada tahun 1973.

Pertumbuhan dan perkembangan fasilitas produksi ini tidak tetap dan terhambat oleh banyaknva perubahan status legalitas dan juga oleh kondisi keuangan yang tidak stabil selama berada di bawah pengelolaan Angkatan Darat. Hal ini karena lembaga ini bukan berstatus bisnis tetapi di bawah badan pemerintah yang pendanaannya tergantung pada anggaran APBN.

Pada tahap ini mereka mulai membuat Pistol P1 yang di-reverse engineering dari model yang telah ada seperti Colt. Dengan kemampuan yang dimiliki, terwujudlah prototipenya. Dengan serangkaian uji coba, PT PINDAD melakukan learning by trying dan by failing. Akhirnya Pistol PI ini memenuhi persyaratan dan menjadi senjata standar (organik) TNI. Senjata jenis Sniper juga mereka buat dengan cara yang sama.

Pindad juga mengembangkan produk nonmiliter. Jadi sejak awal (sebelum bergabung dengan industri strategis) juga telah memproduksi produk komersial. Di antara produknya adalah mobil Jeep (yang dikenal dengan nama VW Banteng), pintu air bendungan dan juga pompa air yang dipakai di pertambangan timah di Pulau Bangka. Untuk pintu dan pompa air proses pembuatannya lebih banyak melibatkan pengecoran. Dengan kemampuan yang ada, mereka membuat cetakan dari semen biasa. Hasilnya kemudian di-machining agar sesuai dengan bentuk desainnya. Mobil Jeep ini dipakai oleh TNI dan juga sebagian dijual untuk umum.

C. Akuisisi Kegiatan Produksi Senjata dan Produk Komersial dengan Lisensi (1983 - 1988)

Pada tanggal 29 April 1983 industri militer ini dimasukkan ke dalam industri strategis dengan nama PT PINDAD (Persero) yang berada di bawah kendali BJ Habibie. Pada masa inilah proses alih dan akumulasi teknologi dilakukan secara sistematis, dinamis dan terprogram. Dengan empat tahap transformasi teknologi, Habibie memulai dengan tahap pertama yaitu produksi senjata dengan lisensi. PT PINDAD kemudian melakukan program manufaktur senjata baru yaitu senapan serbu FNC dengan lisensi dari Fabrique Nationale Herstal (FNH), Belgia. Senapan serbu ini lebih maju dari yang pemah dibuat Pindad karena memenuhi standar NATO. Di dalamnya diaplikasikan teknologi balistik yang baru yaitu bentuk ulir dalam larasnya. Bentuk ulir ini memungkinkan senapan tersebut memiliki akurasi ketepatan yang lebih baik serta memungkinkan untuk dibuat semi atau fully automatic. Untuk mencapai kesempurnaan dalam tahap pertama transformasi teknologi yaitu produksi di bawah lisensi maka diterapkanlah apa yang disebut Progressive Manufacturing Plan (PMP) dengan empat fase yaitu introduction, assembling, partial manufacturing dan terakhir full manufacturing. Personal PT PINDAD dengan dibantu oleh tenaga ahli dari Belgia melakukan program retrofit FNC dimulai dari produksi masal. Pengalaman produksi ini menambah pengetahuan mereka tentang teknologi senjata baik eksplisit maupun tacit. Dengan proses di bawah lisensi pula mortar kemudian diproduksi.

Dengan perjanjian lisensi dengan perusahaan Inggris, Pindad melakukan perakitan 10 unit tank Scorpion. Hal ini menambah pengetahuan baik tacit maupun eksplisit di bidang kendaraan tempur yang kelak kemampuan ini digunakan untuk mendesain dan membuat water canon dan tactical combat vehicle. Perbaikan dan pemeliharaan tank Scorpion juga dilakukan di Pindad. Dalam proses retrofitnya diperlukan waktu 6 bulan untuk tank Scorpion yang pertama. Hal ini karena mereka perlu mempelajari desain dan prinsip-prinsipnya dari tank tersebut. Dengan bantuan pihak Inggris akhirnya proses retrofit dapat diselesaikan. Setelah itu proses retrofit berlangsung cepat. Pengalaman ini menambah tacit knowledge Pindad dalam pembuatan dan desain kendaraan tempur. Kemampuan ini pulalah yang menyebabkan mereka mampu mereparasi 3 unit tank buatan Rusia.

Untuk menekan biaya produksi, Habibie sebagai dirut menetapkan bahwa hanya 20% kekuatan produksi ditujukan untuk produk-produk militer sementara sisanya untuk produk-produk komersial sipil. Namun dalam kondisi darurat, fasilitas produksi militer harus mampu meningkat sampai 80%, bahkan kalau diperlukan sampai 100%.

Investasi fasilitas produksi juga dilakukan besar-besaran. Pindad melakukan melakukan pengkajian selama setahun dari tahun 1983 untuk menentukan barang modal apa yang dibutuhkan. Untuk tungku cor, mereka mendapat jasa konsultan dari IPTN yang telah berpengalaman. Dari tahun 1984 sampai tahun 1993 nilai investasi diperkirakan sekitar 350 juta dolar Amerika. Puncak kegiatan investasi terjadi pada tahun 1987 sampai 1989, dimana dilakukan aktivitas yang sifatnya pengembangan kemampuan teknologi seperti pembelian barang modal yang dilengkapi dengan kegiatan pelatihan bagaimana cara mengoperasikannya di supplier-nya. Untuk mesin bubut vertikal yang dimiliki PT PINDAD mencapai dimensi 3.5 meter, sedangkan mesin bubut horizontal mencapai dimensi 6 meter. Semua kegiatan ini meningkatkan dasar kemampuan produksi dan teknologi karyawan Pindad. Dengan semua investasi ini Pindad menempatkan dirinya pada bisnis yang menghasilkan produk yang berpresisi tinggi.

Produk komersial yang dibuat antara lain adalah generator. Ini merupakan lisensi dari Siemens yang berlaku selama 10 tahun dari tahun 1984 sampai 1994. Pada tahun 1994 karena alasan pasar perjanjian lisensi ini kemudian diperpanjang lagi sampai tahun 2004. Selama masa lisensi, karyawan Pindad mendapatkan pelatihan baik di Jerman maupun di Pindad sendiri, bantuan teknis yang menyangkut proses manufaktur maupun Quality Assurance (QA). Generator dengan tegangan 6 kVolt dan daya 1 sampai 12 MWatt ini berhasil dibuat dengan tingkat pembuatan komponen in-house mencapai 90%. Dengan lisensi Siemens pula, Pindad memproduksi sekring VCB dengan tegangan tinggi (Vacuum Circuit Breaker) untuk tegangan 20 kVolt yang dipakai pada instalasi pembangkit listrik dan substation-nya.

Pada awalnya, bagian produksi baik militer maupun komersial digabung menjadi satu dalam direktorat produksi. Namun dalam perjalanannya akhirnya diubah menjadi dua direktorat terpisah yang berada di bawah pembinaan dirut. Hal ini dilakukan karena nature dari dua produk ini berbeda. Produk militer sementara ini hanya berorientasi kepada satu konsumen yaitu TNI dan Polri dan ini bersifat order� based. Perlu diketahui bahwa setiap produk militer harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh penggunanya yaitu TNI dan Polri. Sementara untuk produk komersial, pasarnya lebih luas dan banyak di mana PT PINDAD lebih punya banyak kebebasan dalam mengembangkan produknya sehingga bisa membuat dan mempengaruhi pasar (genuine creation).

Sumber daya manusia (SDM) adalah modal yang tidak ternilai dan rekan kerja yang strategis bagi perusahaan. Hal lama juga berlaku di PT PINDAD. Pengembangan SDM dilakukan melalui pendidikan formal dan pelatihan yang dilakukan sendiri dan juga lembaga pendidikan baik di dalam maupun luar negeri dengan tujuan mendapatkan kualifikasi profesional untuk mendukung proses pengembangan perusahaan. Pada waktu bergabung kedalam kelompok industri strategis, karyawan PT PINDAD terdiri dari 3 kelompok status yaitu pegawai negeri sipil Dephankam, pegawai negeri yang diperbantukan (seperti pegawai BPl 1) serta pegawai PT PINDAD sendiri. Pada awalnya ini membuat pengelolaan PT PINDAD sebagai institusi bisnis berjalan lambat. Dengan berjalannya waktu akhirnya, suasana bisnis seperti layaknya perusahaan swasta lainnya dapat dirasakan.

D. Adaptasi Desain Senjata dan Produk Komersial (1988 - 1992)

Dengan produksi di bawah lisensi dengan FN Herstal, PT PINDAD melakukan pembelajaran. Dari sini mereka memperoleh kesempatan untuk mempelajari karakteristik senjata tersebut. Mereka juga dapat melakukan perbandingan dari segi desain khususnya dengan senapan buatan Amerika Serikat yang terkenal, M-16. Sehingga pada tahap ini PT PINDAD sudah mampu melakukan adaptasi desain senjata FNC menjadi senapan serbu SS1 berkaliber 5.56 mm yang sekarang menjadi salah satu senjata organik TNI. Senapan SS1 tentu saja bukan senapan biasa karena kemampuan operasinya bisa sekali dan dua kali tembakan. Berdasarkan basil pengujian SSI masih optimal beroperasi pada jarak 600 meter. Beratnya sekitar 4,71 kg dalam keadaan kosong, sementara kalau peluru terisi penuh sekitar 5,07 kg. SS1 juga terbukti memiliki sedikit dampak dan kebisingan. Meskipun tim penguji terdiri dari orang sipil SS1 terbukti dapat diandalkan apalagi dioperasikan oleh tentara yang terlatih. Pembuatan SS1 mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi karena spesifikasi senjata ini mengharuskan ia dapat dioperasikan dalam segala posisi dengan tingkat akurasi tembakan yang tinggi. Bandingkan misalnya dengan sniper atau senjata yang lain.

Program produksi dengan sistem lisensi seperti itu juga memberikan pengetahuan bagaimana meningkatkan kualitas dan kinerja senjata. Dari sini mereka melakukan adaptasi desain disesuaikan dengan kondisi pemakainya yaitu TNI dengan karakteristik ke-Indonesiaan-nya. Sehingga diproduksilah senapan serbu SSI dengan versi 1, 2, 3 dan 5. Program ini akhirnya terbukti memberikan pelajaran yang berharga bagi PT PINDAD dalam memproduksi senjata dan granat, demikian pengakuan Ir. Bambang Anggoro MM salah satu direktur waktu itu.

Dari pengalaman di atas PT PINDAD kemudian memproduksi versinya sendiri atau modifikasinya baik itu pistol P1 maupun Revolver (RI) dengan menggunakan teknologi balistik berupa laras berulir. Pistol P1 dan P2 kaliber 9 mm dibuat lebih sesuai dengan ergonomik orang Indonesia dan juga dengan memperhatikan dan remodifikasi balistik dalam dan luar pistol tersebut. Pistol ini dirancang beroperasi dari Jerman. Sedangkan untuk produksi mesin perkakas bekerjasama dengan DIAG Group, juga dari Jerman.

Atas permintaan pemerintah, pada tahun 1994, PT PINDAD diminta untuk memproduksi revolver (R1). Dengan melakukan reverse engineering dari produk yang telah ada (Thomson dan Smith & Wetson), mereka mulai mendesain sendiri tanpa bantuan teknis sama sekali. Kemampuan desain mereka sudah memadai terbukti mereka telah menggunakan perangkat lunak CAD/CAM. Setahun kemudian 10 buah prototipe yang sama berhasil dibuat. Setelah melalui serangkaian uji coba yang dilakukan oleh Polri, 8 dari 10 dinyatakan memenuhi syarat. Sementara yang dua lagi dinyatakan tidak memenuhi syarat. Ini menjadi sarana bagi Pindad untuk melakukan pembelajaran. Mereka mencoba mencari kesalahan dan mencoba mengoreksi proses produksinya. Dengan kemampuan di bidang balistik baik dalam maupun luar, akhirnya setahun kemudian mereka berhasil membuat revolver yang memenuhi syarat Polri dan kemudian sekarang menjadi salah satu senjata organik Polri. Revolver tersebut diproduksi dalam dua jenis, laras pendek dan panjang. Revolver ini melakukan tembakan satu kali dan mempunyai sistem pengunci otomatis.

Pindad juga pada tahap ini berhasil melakukan desain bersama dengan CSI (Perusahaan milik Singapura yang juga memiliki kemampuan reverse engineering) dalam membuat automatic grenade launcher (AGL) kaliber 40. Mereka melakukan perjanjian untuk berbagi hasil dalam penjualan. Dengan pertemuan yang singkat (kurang lebih seminggu), Pindad berhasil memproduksi AGL sesuai dengan spesifikasi yang diminta TNI.

Pada awal tahun 1992, PT PINDAD yang telah memiliki kemampuan produksi dan teknologi yang memadai kemudian melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Pada tahap ini, berbagai pengkajian dilakukan bagaimana agar PT PINDAD dapat meningkatkan efisiensinya baik dari aspek produksi maupun organisasi. Dengan menyewa beberapa konsultan, akhirnya disimpulkan bahwa PT PINDAD harus mengubah paradigma dan organisasinya. Diperlukan waktu yang cukup lama untuk merealisasikan rekomendasi konsultan tadi. Di antaranya adalah pembentukan unit bisnis yang mandiri dari segi manajemen dan produksi dan direktorat yang bersifat sentralistik seperti unit litbang dilikuidasi (pada tahun 1998) dan statusnya hanyalah unit kecil yang tugasnya membantu. Divisi-divisi yang ada di PT PINDAD dianggap sebagai unit bisnis yang memiliki produk yang khas. Dan merekalah yang bertanggung jawab terhadap pemasaran, penjualan dan peningkatan kualitas dari produk tersebut Di satu sisi hal ini sangat menguntungkan karena adanya desentralisasi pengambilan keputusan bisnis dan setiap divisi dapat menghitung biaya produksinya secara cermat sehingga dapat dilakukan efisiensi.

Di produk komersial, mereka mencoba membuat connecting rod pada sistem piston Mazda Vantrend. Dengan berbagai modifikasi dan juga bantuan teknis dari Pabrik Mazda di Hiroshima akhirnva mereka mendapat pengakuan untuk memproduksinya. Sayang proyek Mazda Vantrend akhirnya berhenti sebelum Pindad memasok produk conrod-nya. Kepada Federal Motor, Pindad juga sudah menyuplai foot step pada mobil yang diproduksinya.

E. Pengembangan Produk Baru dengan Kegiatan Riset, Desain dan Rekayasa (1996-Sekarang)

Dari kemampuan membuat mesin yang cukup memadai dan didorong akibat krisis ekonomi yang kemudian menyebabkan perubahan politik nasional, PT PINDAD kemudian mencoba melirik pasar baru. Mereka mengembangkan dan membuat mesin kayu Equator yang dapat melakukan 5 jenis pekerjaan seperti memotong, membubut, menyerut, membor dan lain-lain. Mesin sebanyak 35 buah ini dijual ke industri rumah tangga. Krisis ekonomi ternyata merupakan berkah bagi Pindad dan juga BUMMIS pada umumnya karena mereka menjadi lebih rasional dalam perhitungan ekonomisnya.

Dilihat dari teknologi yang ter-embodied di dalam barang modal, Pindad termasuk memiliki tingkat teknologi yang tinggi. Apalagi hal ini ditunjang oleh SDM yang berpengalaman mengoperasikannya. Sebenarnya fasilitas produksi hanya memberikan kontribusi sebesar 40% terhadap nilai produksi. Sedangkan sisanya terletak pada kemampuan SDM di mana yang diperlukan adalah kecerdasan untuk melihat peluang yang ditawarkan oleh pasar. Dalam rangka menangkap peluang inilah, Divisi Rekayasa Industri (Rekin) yang baru berumur satu tahun, namun sudah memiliki kemampuan engineering, procurement dan construction ini (EPC), mencoba mengembangkan pabrik kelapa sawit (CPO Plant) yang berkapasitas 30 ton. Sedangkan prototipe yang sedang dibangun sekarang yang berkapasitas 2 ton.

Apabila berhasil, CPO Plant ini akan mengandung komponen lokal sebanyak 80%, harga jualnya hanya sepertiga dari yang ada sekarang dan pasar yang akan diambil adalah koperasi yang para anggotanya memiliki lahan kelapa sawit seluas puluhan sampai ratusan hektar. Dalam pembuatan CPO Plant ini, Pindad banyak melakukan inovasi dengan membuat sendiri komponen-komponen pentingnya. Mereka membuat screw press ukuran besar sendiri (kapasitas 10 ton dengan panjang 6 meter). Sebelumnya mereka mencoba membelinya dari Malaysia, India dan Belgia. Tetapi harganya mahal dan pasokannya lama, sekitar 6 bulan. Mereka memutuskan untuk membuat sendiri dengan mempelajari desain yang telah ada. Dengan modifikasi sedikit desainnya, mereka berhasil membuatnya dan dipasang di plant tersebut. Selain itu mereka juga mendesain sendiri komponen yang dipakai untuk memotong dan menghancurkan kelapa sawit yang kemudian oleh screw press yang berbentuk ulir kelapa sawit didorong masuk ke dalam proses penggilingan dan pemerasan yang hasil akhirnya adalah CPO. Komponen lain yang juga dikembangkan dan dibuat sendiri adalah purifier. Komponen ini yang biasanya dibuat oleh Westfalia dan Alva Laval ini, dengan reverse engineering dan sedikit modifikasi, Pindad bekerja sama dengan Departemen Teknik Mesin ITB berhasil membuat desain sendiri dan memproduksinya.

Untuk proses selanjutnya mereka kemudian mengembangkan pabrik pengolahan CPO menjadi minyak curah (Refined Bleaching Deodorizing Palm Oil - RBDPO) berkapasitas 25000 liter per hari, yang kalau disaring dan diproses lebih lanjut menghasilkan Olein. Untuk pabrik gula, Pindad juga mendesain dan membuat sisir untuk mengambil ampas tebu yang telah diperas (scrapper). Semua ini didesain sendiri tanpa bantuan teknis dari orang lain.

Setelah mendapat informasi dari salah satu eksportir, PT PINDAD juga mencoba membuat prototipe peti mati modern (yang ada reclining seat-nya) untuk konsumen di Amerika. Ternyata spesifikasi produknya sangat tinggi, PT PINDAD gagal meraih order. Spesifikasinya menghendaki jenis kayu yang khusus dengan tingkat kelembaban tertentu, sambungan antarkayu tidak boleh terlihat dan diekspor dalam bentuk utuh (CBU).

Pengalaman dan kemampuan dalam pembuatan generator dengan Siemens yang terakumulasi membuat pada tahun 1998, Pindad untuk merancang dan membuat sendiri generator dengan tegangan yang lebih rendah yaitu 400 Volt dengan daya 500 kwatt yang drancang untuk pabrik-pabrik industri. Rencananya generator tersebut akan diluncurkan tahun 2002. Perlu waktu sekitar 3 tahun untuk mengembangkannya. Hal ini karena dibutuhkan modifikasi yang cukup besar dalam hal desain dari generator tegangan tinggi ke tegangan rendah. Pindad dengan kemampuan yang telah dimilikinya tersebut juga dalam waktu dekat akan membuat trafo tegangan tinggi. Hal ini karena prinsip dan proses produksi yang dilakukan hampir sama dengan generator. Pindad juga memberikan jasa reparasi generator merek lain. Hal ini memberikan sarana pembelajaran bagi mereka dalam meningkatkan kualitas produk dan teknologi dari generator yang mereka produksi.

Karena secara proses produksi banyak produk militer yang berhimpitan dengan produk sipil seperti misalnya produk otomotif, maka divisi otomotif di PT PINDAD yang tadinya diarahkan pada program mobil nasional Maleo, telah diarahkan kepada pengembangan kendaraan taktis dan tempur (Tactical Combat Vehicle). Kendaraan ini masih pada tahap desain. Jenis kendaraan lain yang sudah melalui tahap pengembangan serta sudah layak dijual adalah water canon yang terutama digunakan untuk pencegahan huru-hara dan penegakan hukum. Badan kendaraan ini didesain sendiri sedangkan diasisnya dibeli dari Isuzu. Diharapkan kebutuhan Polri mampu menyerap produk Pindad ini.

Kreativitas mereka di bidang otomotif juga terlihat. Mereka sudah membuat prototipe baggage towing tractor yaitu mobil yang menarik koper dan barang-barang kargo pesawat terbang. Kemampuan mereka juga sudah memungkinkan untuk membuat kendaraan lapis baja dan anti peluru. Untuk memenuhi pesanan PT Exxon di Aceh, mereka memodifikasi kendaraan Range Rover menjadi kendaraan anti peluru. Mereka juga sudah mulai untuk membuat desain mobil pengangkut uang.

Produk militer berupa senjata hasil modifikasi juga dikembangkan pada tahap ini. Di antaranya adalah senapan mesin sedang (SMS) kaliber 7.62 dan senapan mesin ringan (SMR) kaliber 5.56. Kedua senjata mesin ini dimodifikasi dari senapan serbu SSl. Sekarang ini sedang dilakukan pengujian apakah senjata tersebut dapat memenuhi persyaratan TNI atau tidak.

Penutup

Dari kasus pembelajaran teknologi yang terjadi di PT PINDAD nampak sekali bahwa proses pembelajaran tersebut bukanlah sebagai sebuah proses yang statis, costless dan automatic. Pembelajaran teknologi ternyata adalah proses besar yang dinamis, butuh waktu, biaya dan tidak terjadi secara otomatis. Nampak sekali dari waktu ke waktu terjadi peningkatan kemampuan produksi dan kemampuan teknologi teknologi yang semakin beragam dan semakin canggih dan disertai oleh tahap pembelajaran, mekanisme dan sumber pembelajaran yang semakin lama semakin bervariasi.

Ada usaha serius dan kesengajaan kebijakan untuk mentransformasi PT PINDAD menjadi agen pembelajaran teknologi. Dan dari kasus nampak sekali bahwa pembelajaran teknologi sederhana kadang butuh waktu puluhan tahun jika tidak dilingkupi oleh sistem inovasi nasional yang baik. Yang jelas kemampuan teknologi yang terakumulasi akan mendorong lahirnya kemampuan produksi dan kemampuan teknologi baru yang terus menggelinding membesar menciptakan sumber daya baru yang memungkinkan perusahaan tumbuh dan berkembang.

DR. Zulkieflimansyah, Ph.D
Read more...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...