Halaman

Visi Habibie, Visi Teknologi Indonesia. (2)

Kebijakan Pemerintah

LPD 592 - PT PAL
Sejak awal 1980-an, Pemerintah telah mengeluarkan investasi yang cukup besar untuk pengembangan industri kapal terbang lewat IPTN dan pengembangan industri kapal lewat PT PAL di Surabaya. Keduanya memang terlibat dalam kegiatan teknologi yang canggih yang memerlukan kemampuan inovasi yang cukup besar. Keduanya terlibat dalam penciptaan desain dan manufaktur alat transpor generasi terakhir, yang harus mampu bersaing dengan produk yang sama dari negara industri yang teknologinya sudah lebih maju. Industri pesawat terbang dan perkapalan di Indonesia sulit berkembang tanpa lingkungan yang mendukung.


Pemerintah Indonesia telah mengucurkan subsidi dan bantuan yang tidak kecil, dan mempunyai cukup komitmen terhadap pengembangan industri ini. Angkatan Bersenjata, instansi pemerintah lain, perusahaan penerbangan dan perkapalan domestik cukup menjamin pemasaran produknya. Mereka mempunyai pasar yang dijamin (captive market). Beberapa kebijaksanaan pemerintah sengaja dikeluarkan untuk membantu industri strategis ini. Misalnya,larangan impor untuk pesawat terbang dan kapal sejenis yang sudah bisa dibikin IPTN dan PAL.


Pemerintah juga masih melarang impor kapal-kapal bekas, sekalipun harganya lebih murah dari harga kapal dalam negeri, dan sekalipun kebutuhan dalam negeri belum bisa dipenuhi produksi dalam negeri--misalnya kapal penangkap ikan. Larangan ini bahkan tanpa surat keputusan seorang menteri, tapi hanya berdasarkan satu surat edaran BPPT.


Pemerintah juga membebaskan industri-industri ini dari keharusan membeli barangdalam negeri. Fasilitas dan kemudahan ini dimungkinkan karena adanya kekuasaan khusus yang diberikan kepada Habibie, sebagai Menristek dan sebagai presiden direktur beberapa industri stretegis untuk mempengaruhi keputusan tentang pembelian peralatan instansi dan perusahaan-perusahaan pemerintah.


Suasana internasional juga memberi angin baik buat pengembangan industri strategis di sini. Industri pesawat ter-bang terkemuka di dunia seperti Boeing, McDonnell Douglas, dan Airbus, misalnya menghadapi turunnya permintaan pesawat terbang dari perusahaan penerbangan di seluruh dunia. Pesanan pembelian pesawat terbang di seluruh dunia tahun lalu hanya US$ 32 miliar, jatuh dari US$ 90 miliar, yang dipesan jumlah pada 1989.


Sekarang ini diperkirakan lebih dari 1.000 pesawat ter-bang menganggur, diparkir di gurun gurun pasir di California. Hal ini disebabkan resesi yang berkepanjangan di negara in-dustri telah mengurangi jumlah perjalanan udara. Menyempitnya pasaran dan makin sengitnya persaingan memberi negara seperti Indonesia peluang untuk mengadu domba raksasa industri pesawat terbang ini. Senjatanya adalah pesanan pesawat terbang yang dilakukan oleh Garuda dan TNI-AU. Perusahaan pesawat terbang yang berpeluang besar mendapatkan order Garuda atau TNI-AU adalah mereka yang mau melakukan kerja sama dalam bentuk sub-kontrak dengan industri pesawat terbang dalam negeri.


Badan Pengelelola Industri Strategis


Sejarah IPTN dimulai pada 1975, ketika mereka menerima kontrak merakit helikopter jenis BO-105, dengan lisensi dari MBB dari Jerman Barat. Pada saat itu IPTN hanya merupakan pabrik biasa, seperti pabrik industri lain ada di sekitar Kota Bandung. Letaknya di atas tanah 4,5 ha, dan aset pokoknya adalah dua hangar seluas 1,1 ha, dengan jumlah karyawan 500 orang termasuk 17 insinyur. Tak lama kemudian, Construcciones Aeronauticas SA (CASA) dari Spanyol memberikan kepercayaan kepada IPTN untuk merakit pesawat transpor jenis C-212. Dengan dua lisensi di tangan ini, kegiatan IPTN terus menggelinding, sementara lisensi dari perusahaan kapal terbang luar negeri bertambah. Pada 1977, Aerospatiale, dari Perancis, memberikan lisensi ke IPTN untuk merakit helikopter Puma SA-330, dan kemudian jenis Super Puma AS-332. Pada 1979, hubungan IPTN dengan CASA mengalami peningkatan. Kedua perusahaan ini memutuskan untuk membentuk perusahaan patungan 50/50 untuk melakukan kerja sama dalam desain, pengembangan, dan pembikinan pesawat angkut turboprop bermesin dua. Dengan dibentuknya perusahaan patungan yang diberi nama Aircraft Technology Industries (Airtech) ini, hubungan antara IPTN dan CASA sekarang tidak merupakan hubungan sebagai penerima lisensi, tapi sebagai mitra yang sederajat untuk mengembangkan satu jenis kapal terbang baru.


Pada 1982, Bell Helicopter Textron Inc. dari AS memberikan lisensi kepada IPTN untuk merakit pesawat helikopter jenis Bell-412. Perjan- jian lisensi kedua juga diterima dari MBB untuk merakit helikopter BK-117, jenis yang lebih canggih dari BO-105. Kegiatan IPTN diperluas, bukan sekadar merakit, tapi menjadi subkontraktor internasional untuk beberapa perusahaan kapal terbang terkemuka di dunia. Reputasi IPTN menanjak ketika pada 1982 menerima kepercayaan Boeing sebagai subkontraktor untuk membuat beberapa komponen Boeing 767.


Tak lama kemudian, General Dynamics, pemasok persenjataan terbesar depertemen pertahanan AS, memberikan kesempatan kepada IPTN untuk membuat beberapa komponen pesawat tempur F-16. Dan dengan wewenang yang ada di tangan, Habibie bisa membujuk Fokker, perusahaan kapal terbang Belanda, melakukan 35% imbalan pekerjaan (offset) sebagai syarat untuk setiap F 100 yang dibeli Garuda. Pada 1980, suatu perjanjian kerja sama dengan General Electric dari AS ditandatangani untuk mendirikan Universal Maintainance Center (UMC), yang kegiatannya adalah reparasi, overhaul, dan nantinya membikin peralatan dan komponen mesin kapal terbang. UMC ini dibuka dengan resmi pada 1986, dan IPTN mengharapkan bahwa UMC ini akan menjadi pusat reparasi pesawat terbang ter besar di Asia Tenggara.


Dengan menerima beberapa pekerjaan yang bersifat subkontrak ini, IPTN mendapat peluang yang besar untuk belajar dan mening- katkan kemampuan teknisnya. Pekerjaan subkontrak untuk Boeing 767 cukup berarti buat IPTN, karena untuk pertama kalinya IPTN menerima kepercayaan sebagai salah satu kontraktor yang bisa dipercaya, yang bisa menyaingi kontraktor Boeing yang lain. Yang lebih berarti dari segi teknologi adalah persetujuannya dengan General Dynamics sebagai bagian dari persetujuan pembelian dua belas pesawat tempur F-16 senilai US$ 340 juta. Persetujuan ini menyatakan secara eksplisit keharusan dilakukannya alih teknologi dalam bidang pembuatan dan aplikasi material komposit, elemen vital yang diperlukan untuk pengembangan pesawat penumpang jarak pendek. Kontrak dengan General Dynamics akan memberi kesempatan IPTN untuk belajar memenuhi persyaratan militer AS di bidang mutu yang sangat ketat.


Perjanjian imbalan kerja dengan Pratt & Whitney, perusahaan industri mesin terkemuka di AS, yang jenis mesinnya akan digunakan pesawat Fokker 100 dan F-16, akan memberi IPTN pelajaran yang cukup penting untuk memproduksi komponen-komponen mesin. Perjanjian kerja sama yang terakhir adalah dengan British Aerospace (BAe), perusahaan penerbangan Inggris. Pemerintah Indonesia memutuskan untuk membeli 24 pesawat jet Hawk, yang merupakan pesawat latih dan pesawat tempur untuk TNI-AU. Dengan sendirinya, kontrak senilai US$ 756 juta tak akan dilewatkan begitu saja, tanpa imbalan yang memadai bagi IPTN. Sebagai syarat kontrak pembelian, IPTN akan menerima kontrak pembikinan suku cadang senilai 30% dari nilai kontrak pembelian. Keuntungan lain bagi IPTN, pesawat CN-235 akan memperoleh sertifikat layak terbang dari CAA (Civil Aviation Authority), badan penerbangan pemerintah Inggris.


Perkembangan cepat yang dialami IPTN mengharuskan mereka memperluas pabrik. Sekarang IPTN menempati areal 70 ha, dan hangar-hangarnya menempati areal 60 ha. Jumlah karyawannya melonjak menjadi 15.500 orang, termasuk 1.600 insinyur. Invesatsi untuk perluasannya sekarang diperkirakan sudah mencapai US$ 1,2 miliar.


Peningkatan keterampilan teknologi juga dialami oleh PT PAL dalam pembuatan kapal. Galangan kapal peninggalan pemerintah kolonial Belanda di Surabaya ini bangkit lagi ketika pada 1981 manajemennya dialihkan di bawah BPIS. Sekarang, dengan tenaga kerja terampil 6.000 orang, galangan kapal yang meliputi areal 150 ha di Surabaya itu secara teknologis telah mencapai kemampuan yang cukup berarti. Kemampuan teknisnya ini diperoleh dari beberapa persetujuan alih teknologi dari beberapa negara seperti AS, Jerman, dan Belgia. Program pembuatan kapal, terutama yang berasal dari lisensi perusahaan perkapalan Jerman, telah meningkatkan kemampuan PAL untuk memproduksi berbagai jenis kapal, seperti kapal patroli militer ukuran 450 ton, fregat ukuran 2.500 ton, kapal pemburu ranjau 600 ton, dan kapal selam ukuran 1.200 ton, serta jetfoil ukuran 120 ton. Tapi produksi PAL terpenting saat ini adalah kapal pengankut kontainer jenis Caraka Jaya, yang didesain dan dikembangkan sendiri oleh PAL, dan yang efektif untuk digunakan melayani pelabuhan ukuran sedang dan kecil sebagai sambungan pelayanan dari pelabuhan besar.


PAL juga merencanakan membangun sepuluh kapal penumpang, dan yang pertama diharapkan selesai menjelang hari proklamasi kemerdekaan ke-50, pada tahun 1995. Impian Habibie tidak berhenti di sini saja. Dia ingin melihat bahwa satu saat nanti kapal tangki untuk mengangkut minyak akan dibikin oleh Indonesia sendiri, dan tidak lagi diimpor dari luar negeri. Investasi untuk pembikinan kapal ini yang diperkirakan bisa mencapai US$ 100 hingga 150 juta, jelas berada di luar kemampuan keuangan Pemerintah saat ini. Tapi apabila PT PAL satu saat nanti mampu membangun kapal tanker, bukan tidak mungkin PAL akan menjadi saingan utama galangan kapal Jepang dan Korea Selatan, yang sekarang ini mendominasi pembuatan kapal tanker. Tapi ini jelas hanya merupakan impian jangka panjang, dan tak ada yang tahu kapan hal itu bisa direalisasi. Soalnya, satu kapal tangker dengan bobot mati 260.000 ton berarti 10 kali berat kapal yang sekarang dihasilkan PAL. Satu perjanjian dengan pemerintah AS yang dibuat beberapa waktu berselang telah menjadikan PAL tempat untuk reparasi kapal- kapal perang AS yang beropersi di perairan Asia. Sejauh ini, baru sekali, galangan reparasi PAL digunakan untuk mereparasi kapal AS, yang menurut beberapa sumber mutu reparasinya cukup memuaskan.


Beberapa tahun lalu, BBI terpojok dengan saingan impor diesel dari RRC. Tapi renovasi pabriknya yang menghabiskan Rp 52 miliar akan mening- katkan kemampuan teknologi dan memperbaiki efisiensi. PT Inka, yang spesialisasinya adalah pembuatan gerbong kereta api, sudah berhasil memperoleh pasaran ekspor. Belum lama ini, PT Inka mengekspor 150 unit gerbong kereta api jenis BCF, gerbong khusus untuk angkutan peti kemas, senilai Rp 7 miliar. Apabila perusahaan-perusahaan industri tahu bahwa angkutan peti kemas kereta api lebih bersaing dengan angkutan peti kemas dengan truk, seperti yang sedang terjadi di beberapa negara maju, pasaran peti kemas buatan Inka akan makin banyak dilihat oleh industri-industri lain. Sepintas lalu, industri di bawah BPIS merupakan kesatuan in- dustri yang memiliki integrasi vertikal. Dimulai dari industri yang paling hilir, PT Krakatau Steel menghasilkan baja yang digunakan untuk pembangunan kapal oleh PAL, untuk pembuatan gerbong kereta api oleh Inka, dan digunakan untuk pembikinan mesin-mesin oleh Barata Indonesia dan Boma Bisma Indra. IPTN juga mulai memanfaatkan kemampuan PT Barata Indonesia untuk membikin beberapa komponen seperti wing static test assy dan fuselage static test assy untuk pembuatan pesawat jenis baru N- 250 yang mulai dirancang itu. Kalau BPIS bisa memanfaatkan peluang dari sinergi yang timbul dari beberapa perusahaannya, banyak keuntungan yang akan diperoleh. Dalam satu sinergi, yang diperoleh bukan saja penghematan biaya, tapi juga peluang untuk peningkatan dan pemerataan teknologi. Munculnya Sang Primadona Hubungan IPTN dengan CASA mengalami perubahan drastis ketika kedua perusahaan ini memutuskan untuk membentuk perusahaan patungan 50/50 untuk mengembangkan dan akhirnya memproduksi pesawat CN-235, pesawat penumpang jarak pendek (commuter) dengan kapasitas sekitar 40 penumpang.


Didirikan di Madrid pada 1979, perusahaan yang diberi nama PT Aircraft Technology In- dustries (Airtech) ini mencerminkan tahap kemajuan teknologi yang dicapai IPTN. Dalam waktu lima tahun, dia telah berkembang, dari sebuah pabrik yang hanya merakit dan bekerja atas dasar lisensi, menjadi satu perusahaan dengan mitra penuh dan sederajat dengan CASA dalam melakukan desain dan produksi kapal terbang yang lebih besar dan canggih. Hubungan kerja IPTN dan CASA dalam produksi CN-235 ini agak unit. Mereka membagi pekerjaan kurang lebih sama. Pabrik IPTN di Bandung dan di Spanyol masing-masing menyediakan hangar khusus untuk produksi pesawat ini. IPTN mendapat tugas mendesain dan membikin sayap bagian luar, fuselage belakang, bagian ekor, dan interior. Yang dikerjakan CASA adalah mendesain dan membikin bagian dalam sayap yang lebih kompleks, fuselage depan, pusat sayap, dan ruang duduk mesin. Komponen-komponen tersebut kemudian dikirim ke lokasi masing-masing yang dibikin di Bandung dikirim ke Spanyol, yang dibikin di Spanyol dikirim ke Bandung - untuk digunakan dalam pembuatan CN-235.


Kedua perusahaan ini juga membagi daerah pemasaran: keduanya boleh memasarkan produknya ke Amerika Utara, Afrika, dan Timur Tengah. Tapi IPTN mendapat bagian pemasaran daerah Asia dan Pasifik, sedangkan CASA mendapat jatah Eropa dan Amerika Latin. Komponen yang diproduksi di luar Indonesia dan Spanyol meliputi mesin, sistem komunikasi dan pengendalian, gigi pendarat, dan logam-logam dasar, yang seluruhnya dibuat di AS dan Eropa. Komponen yang dibikin IPTN sendiri baru bertambah setelah IPTN membeli 24 komputer pada 1985, untuk membantu membikin peralatan dengan presisi yang tinggi. Bagaimana hasil CN-235, sang primadona IPTN ini? Pada 1987, dengan selesainya produksi perdana, CN-235 dites terbang oleh pihak Aviation Week & Space Technology, dan setahun kemudian, majalah Flight International juga melakukan tes penerbangan. Kedua penerbitan itu cukup berwibawa, dan komentarnya cukup didengar oleh kalangan industri kapal terbang.
Keduanya ternyata cukup memuji CN-235, dengan mengatakan CN 235 sebagai pesawat yang fleksibel, cukup ekonomis untuk dioperasikan, kabin penumpang dan pilot cukup longgar dan menyenangkan, dan merupakan pesawat yang ''tenang dan nyaman sekalipun menghadapi gangguan cuaca''. Tapi testimoni yang cukup penting buat CN-235 ini adalah ketika Conquest Airlines, sebuah penerbangan domestik di Texas, AS, pada 1988 memutuskan membeli tujuh pesawat -- empat dari IPTN dan tiga dari CASA. Conquest memilih CN-235 karena menurut mereka, setelah dicoba, CN-235 mudah diservis, mempunyai biaya per seat-mile yang paling rendah, dan penggunaan bahan bakar yang efisien. Produksi pertama CN-235 terbang pada Agustus 1986. Di Indonesia, pembeli pertama adalah Merpati Nusantara Airlines, yang menerima penyerahan pertama pada Desember 1986. Produksi pertama yang dibikin di CASA Spanyol dibeli Angkatan Udara Arab Saudi. Pesanan pembelian pesawat ini ternyata kemudian cukup besar.


Menurut ensiklopedi Jane's All The World's Aircraft 1989-1990, sampai Mei 1989, jumlah pesanan CN- 235, baik yang dibikin di Bandung maupun di Spanyol, mencapai 133 unit, terdiri dari 74 unit untuk militer dan 59 untuk penerbangan sipil. Dari jumlah ini, 48 dibikin CASA Spanyol, yang pembelinya 22 perusahaan penerbangan domestik Spanyol, sedangkan yang lain termasuk 4 dibeli Binter Canarias, 4 dibeli Arab Saudi, 8 dibeli angkatan darat Perancis, 7 dibeli angkatan udara Maroko, 2 dibeli dewan keselamatan nasional AS. Angkatan udara Cili pada saat itu secara prinsip setuju untuk memesan enam pesawat. Sedangkan di Indonesia, 85 pesanan sudah diterima, di antaranya Deraya memesan 11, Merpati 14, Pelita 10, TNI-AU 32, dan TNI-AL 18.
Ambisi IPTN tidak berhenti di sini tentunya. Tak lama lagi IPTN akan menyelesaikan pembuatan primadonanya yang lain, pesawat N- 250, jenis yang lebih maju dari CN-235, dengan kapasitas penumpang 50-60. Daya jelajah pesawat ini akan lebih besar dari CN-235, dan bisa terbang Singapura-Bangkok nonstop. IPTN mengklaim bahwa semua komponen pesawat ini adalah buatan Indonesia. Pembuatan pesawat ini secara resmi dimulai pada 21 Agustus 1992. Pada ulang tahun proklamasi ke-50 RI pada 1995 nanti, produksi perdana pesawat ini akan selesai.
Dengan sendirinya rencana ini didasarkan atas asumsi bahwa dana investasi US$ 526 juta yang diperlukan itu akan tersedia sesuai dengan rencana. Biaya itu diperlukan untuk pembuatan empat pesawat prototipe dan dua pesawat latih. Kalau pesawat ini tidak seluruhnya bisa terjual di luar negeri, perusahaan pener bangan dalam negeri, dengan wewenang yang ada pada Habibie sebagai Menristek, akan menjamin terjualnya pesawat jenis baru ini.
Dan nyatanya, menurut IPTN, jumlah pesanan dan opsi pembelian untuk pesawat ini sampai saat ini sudah mencapai 167 unit, terdiri dari pesanan Merpati yang berjumlah 65, Bouraq 62, FFV/Bleinheim dari Swedia 24, dan Sempati 16. Mengukur Kemampuan Teknologi Pada mulanya IPTN adalah sebuah industri yang keahliannya terbatas pada merakit. Untuk kegiatan itu pun, IPTN mengandalkan bantuan teknisi dari perusahaan pemberi lisensi. Namun, jumlah tenaga ahli asing ini makin lama surut. Ini mungkin pertanda bahwa IPTN sudah merasa mampu bekerja sendiri, setelah cukup belajar dari tenaga ahli asing.


Ketika program pengembangan pembikinan pesawat NC-212 dimulai, CASA memberi bantuan dengan mengirim sekitar 40 tenaga ahlinya ke IPTN. Tapi pada 1988, semua tenaga ahli CASA untuk proyek ini kembali ke Spanyol, dan kelanjutan proyek ini selurunya dikerjakan oleh tenaga-tenaga IPTN sendiri. Dan ketika proyek CN-235 dimulai, sekitar 60 teknisi CASA didatangkan ke Bandung untuk membantu melakukan integrasi desain dan mengoordinasi program pengembangan.


Tapi, sejak 1990, jumlah mereka berkurang hingga tinggal tujuh orang. Tapi tugas yang masih tinggal ini hanya terbatas pada memberi persetujuan pada perubahan-perubahan untuk desain, memprogram dan memonitor pengiriman-pengiriman komponen antara Indonesia dan Spanyol dan sebaliknya. Peningkatan kemampuan teknis IPTN juga bisa dilihat pada sektor-sektor lain. Dalam proposal proyek, semua keputusan yang menyangkut investasi, jenis pesawat yang akan dibikin, besar dan skala proyek, kebutuhan dana dan personalia, semua dibuat sendiri oleh manajemen IPTN tanpa bantuan dari luar. Staf IPTN menangani sendiri pembangunan fisik pabrik, yang dikerjakan oleh kontraktor dalam negeri. IPTN tidak meniru atau mengulang kembali tata letak dan aliran proses pabrik pemberi lisensi. Karena ruang pabrik terbatas, IPTN harus menlakukan beberapa modifikasi. Ini, misalnya, terlihat pada produksi pesawat CASA dan MBB. Untuk pembikinan helikopter NBell-412, yang seluruh ruangnya harus dibangun sendiri oleh IPTN, IPTN tidak memperoleh bantuan dari Bell.


Semua aspek perakitan dan produksi NBell-412 dilakukan sendiri oleh IPTN. IPTN juga melakukan sendiri semua persiapan teknis untuk keperluan produksi CN-235. Pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya itu telah mendorong IPTN melangkah lebih lanjut dengan program pembikinan pesawat N-250. Bila usaha ini berhasil maka IPTN un- tuk mengklaim dirinya sebagai produsen kapal terbang penuh dan independen. Apabila jadi, N-250 ini nantinya akan bersaing dengan jenis pesawat yang sudah lama masuk pasar seperti Dash-8 dari De Havilland, Fokker 50, dan Saab 2000.


Harga yang Dibayar untuk Diversifikasi Untuk industri yang baru berada dalam taraf belajar seperti IPTN, memproduksi berbagai jenis pesawat terbang sekaligus tentunya memberi beban yang tidak kecil kepada manajemen. Kemampuan manajemen belum siap untuk diversifikasi yang terlalu cepat. Jenis pesawat yang harus diproduksi IPTN bertambah dengan cepat seperti CN-235, NBell-412, NAS-332, NSA-330, NB- 105 dan NC-212.


Betatapun majunya keterampilan teknologi yang dikuasasi IPTN, ketidaksiapan manajemen akhirnya mengakibatkan proses yang tidak efisien, pemborosan, dan keterlambatan. Kapasitas terpasang untuk NC-212, misalnya, 24 unit. Tapi karena IPTN makin banyak terlibat dalam proses asembling, yang bisa diproduksi rata-rata hanya enam pesawat tiap tahun selama enam tahun pertama. Bahkan pada 1987-1989 pesawat jenis ini tidak diproduksi sama sekali. Dengan konfigurasi yang digunakan sekarang ini, kapasitas terpasang untuk helikopter bisa men- capai 36 unit, terdiri dari 18 unit NBO-105, 6 unit Super Puma, dan 12 NBell-412. Selama ini, produksi helikopter belum pernah mencapai kapasitas penuh, kecuali sekali pada 1983 untuk NBO- 105. Sekalipun produksi CN-235 mendapat prioritas, produksi pesawat ini juga tak luput dari keterlambatan. Produksi tiga unit pertama terlambat dua tahun. Penyerahan pertama kepada Merpati Nusantara Airline semula dijadwalkan pada akhir 1984. Tapi MNA menerima pesanan pertama CN-235 pada akhir 1986, dan tes penerbangan baru bisa diselesaikan pada akhir 1987, hingga Merpati baru mengoperasikannya pada Juli 1988.


Kelemahan manajemen IPTN terasa dalam masalah penjadwalan logistik dan pengadaan komponen. Pengadaan komponen ini harus didatangkan dari berbagai negara, dan melakukan koordinasi antara berbagai divisi untuk pengadaan ini merupakan hal yang pelik bagi IPTN. Kesalahan-kesalahan kecil seperti penulisan inci yang ditulis sentimeter atau sebaliknya pada awalnya sering terjadi. Dua jenis ukuran ini memang digunakan, karena sebagian komponen diimpor dari AS (menggunakan inci), dan dari Eropa (menggunakan sistem metriks). Kesalahan kecil yang bisa berakibat fatal, karena bila koreksi harus dilakukan, akan menyebabkan keterlambatan. Pada saat pengadaan komponen dilakukan oleh divisi masing- masing, situasinya sederhana. Karena satu divisi hanya menangani satu pemberi lisensi, divisi ini, untuk keperluan pengadaan komponen, hanya berhubungan dengan CASA atau MBB.
Tapi setelah IPTN meningkatkan tahap kegiatan manufakturingnya, dia mulai meningkatkan pembelian bahan dan komponen dari pemasok lain. Tentu saja spesifikasi yang disebut harus dihubungkan dengan referensi standar si pember lisensi, untuk bisa memperoleh bahan yang sejenis. Proses ''penerjemahan'' standar referensi ribuan komponen ini berjalan lambat, dan akhirnya memperlambat seluruh proses produksi.


Ketegangan yang dialami manajemen terasa ketika waktu penyelesaian produksi perdana CN-235 makin dekat. Semua tenaga dikerahkan untuk mengatasi masalah logistik, kontrol persediaan bahan, monitor biaya, dokumentasi ribuan komponen. Dan ini tidak bisa ditangani seluruhnya karena terbatasnya kemampuan manajemen. Membandingkan Ongkos Dan Hasil Pada akhirnya suatu usaha bisnis yang komersial harus dinilai dengan membandingkan, apakah hasil dan manfaat yang diciptakan cukup memadai dibandingkan dengan biaya investasi yang dikeluarkan. Menerapkan ukuran komersial buat perusahaan seperti IPTN merupakan suatu hal yang kompleks, dan menimbulkan pertanyaan, apakah memang relevan untuk melakukan hal itu. Ada beberapa sebab mengapa mengukur evaluasi komersial buat IPTN sangat sulit.


Pertama, masih belum jelas sejauh mana IPTN mengemban misi komersial dan misi nasional. Keterkaitan misi IPTN dengan masalah strategis -- biasanya dikaitkan dengan masalah pertahanan nasional -- dengan misi investasi untuk pem- bangunan industri padat teknologi, dan juga untuk prestise nasional, tidak bisa dikuantifikasi.


Kedua, tidak adanya sistem pembukuan yang jelas dan transparan. Untuk mengetahui jumlah investasi yang sebenarnya diperuntukkan IPTN juga sulit, karena kemungkinan adanya biaya riset yang dikeluarkan instansi lain -- yang dikeluarkan Puspitek misalnya -- untuk kepentingan IPTN, tapi yang tidak muncul di pembukuan IPTN. David McKendrick dan Universitas Texas di Dallas pernah mencoba menghitung rasio biaya dan keuntungan IPTN secara kumulatif pada 1976-1985. Dia mencoba menghitung seluruh pengeluaran un- tuk investasi dan biaya operasional lainnya.


Dia juga meng- hitung seluruh penghasilan dan penjualan dan pendapatan lain. Seluruh angka dikonversikan menjadi nilai riil pada 1985, dan diperhitungkan dengan tingkat bunga tahunan 12%, yang dianggapnya merupakan tingkat kembalian yang wajar untuk investasi di Indonesia saat itu. Dari perhitungan tersebut, diperoleh rasio penghasilan 0,62. Ini menunjukkan bahwa selama sepuluh tahun sampai 1985, pendapatan IPTN baru cukup untuk menutup 62% dari biaya investasi yang sudah dikeluarkan. Sekalipun angka yang diperoleh McKendrick mungkin masih mengalami beberapa kekurangan, karena kurang transparannya sistem pembukuan IPTN, sebagai gambaran umum, hasil perhitungannya tidak akan menyimpang jauh dari seandainya hasil perhitungan dilakukan dengan data-data yang lengkap.


Data keuangan IPTN selama ini juga menunjukkan trend perkem- bangan dengan fluktuasi yang tidak menentu. Pada 1985, laporan keuangan menunjukkan ada laba Rp 10 miliar. Tapi setahun kemudian rugi Rp 15 miliar. Selama dua tahun berikutnya menun- jukkan laba Rp 2,2 miliar. Tapi setahun kemudian rugi lagi Rp 19 miliar. Data terakhir untuk tahun 1992 menunjukkan rugi lagi Rp 3 miliar, padahal omset mencapai Rp 401 miliar. Sementara itu, total aset sudah mencapai Rp 3 triliun. Dengan data keuangan seperti terpapar itu, Anda bisa mengira sendiri sampai kapan Pemerintah harus menunggu, supaya investasinya yang besar di IPTN akan memperoleh pengembalian yang wajar.


Setelah menghadapi kenyataan bahwa IPTN, setelah lebih dari 15 tahun masih belum memberi imbalan komersial, Pemerintah dengan sendirinya menghadapi pertanyaan yang cukup pahit: bagaimana kelanjutan kebijaksanaannya di bidang pembangunan industri strategis ini? Memang orang bisa bilang bahwa diperlukan waktu yang cukup lama bagi suatu industri kapal terbang untuk meng- hasilkan keuntungan yang memadai. Lihatlah, Airbus, perusahaan kapal terbang milik bersama Perancis, Jerman, dan Inggris. Airbus memerlukan waktu 20 tahun sebelum menghasilkan laba. Dan sejarah mencatat bahwa risiko kegagalan industri kapal terbang cukup besar. Lockheed, perusahaan pesawat terbang Amerika dan pembikin pesawat TriStars, bangkrut pada 1981 setelah rugi US$ 2,5 miliar. Pembuatan pesawat supersonik Concorde harus dihentikan pemerintah Inggris dan Perancis setelah pembayar pajak kedua negeri itu menghabiskan US$ 4 miliar untuk riset dan pengembangannya. Di Perancis, produksi pesawat jenis Caravelle harus dihentikan karena kesulitan pemasaran. Dan catatan industri kapal terbang di negara industri menunjukkan, kalau mereka memperoleh untung, keuntungan ini sebagian besar berasal dari penjualannya yang berasal dari keperluan militer. Sedikit sekali industri kapal terbang yang meng- gantungkan pemasarannya pada penerbangan sipil memperoleh un- tung. Keterbatasan dana akan membatasi kemampuan Pemerintah untuk menanggung beban investasi IPTN, sekalipun pengeluaran anggaran ini mengatasnamakan anggaran untuk riset teknologi. Indonesia memang menggunakan pendekatan yang berbeda dalam membangun in- dustri kapal terbang dengan negara lain, misalnya Malaysia.


Malaysia belajar industri kapal terbang dengan melakukan kegiatan pemeliharaan dan reparasi kapal terbang. Setelah memperoleh pengetahuan cukup di sini, baru mereka mendirikan industri kapal terbang. Itu pun lewat usaha patungan dengan perusahaan Australia. Perusahaan kapal terbang Eagle Aircraft Australia, yang berkedudukan di Perth, baru saja menjual sebagian sahamnya senilai US$ 7,8 juta ke pemerintah Malaysia. Perusahaan ini memproduksi Eagle XTS, pesawat kecil bermesin satu untuk penumpang dua orang. Menurut PM Mahathir, yang terkesan dengan IPTN waktu berkunjung ke Bandung, pembelian saham tersebut dianggap sebagai biaya riset untuk memperoleh keterampilan teknologi, terutama di bidang material komposit, yang diperlukan untuk industri kapal terbang. Cara yang dilakukan Indonesia juga berbeda dengan yang dilakukan Taiwan. Negeri ini baru memutuskan mendirikan industri kapal terbang.


Kesempatan ini datang ketika McDonnell Douglas, perusahaan kapal terbang terbesar kedua di AS yang mengalami kesulitan keuangan karena bersaing dengan Being, menawarkan penjualan 40% sahamnya ke Taiwan. Pemerintah Taiwan membentuk konsorsium dengan mengikutsertakan perusahaan- perusahaan swastanya. Apabila IPTN akan mengikutsertakan swasta, beberapa kondisi harus ditawarkan agar bisa menarik minat swasta. Dan sekarang ini tampaknya IPTN memiliki dengan komplet semua unsur yang bisa digunakan untuk memberikan iming-iming ke pihak swasta: bantuan riset dan pengembangan, subsidi, proteksi, monopoli, jaminan pasar (captive market). Apa yang lebih menggoda sektor swasta terjun di bidang suatu industri daripada adanya subsidi, proteksi, dan pasar yang dijamin? Pemerataan teknologi Setelah sekian tahun mengembangkan industri strategis, dan setelah triliunan rupiah habis untuk investasi, tentunya akan sia-sia apabila investasi tersebut tidak menghasilkan tambahan keterampilan dalam teknologi.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...