Halaman

Indonesia Memasuki Era Angkasa Luar

Roket warna putih itu mengambil posisi sudut 60 derajat. Jam menunjukkan pukul 06.15 WIB. Hitungan mundur dimulai. Tiga… dua… satu. Ketika hitungan menyentuh angka nol, mesin roket pun menyala. Dan wuss... roket seberat setengah ton itu membelah angkasa, meninggalkan jejak putih.

Roket berspesifikasi panjang 4,736 meter, diameter 32 sentimeter, dan berat total 532 kilogram itu menjangkau jarak 42 kilometer. Capaian itu mengacu pada data global positioning system (GPS) yang dipasang di roket. Data terakhir menunjukkan angka 42,1 kilometer. Pada saat itu, posisi roket masih terbang di atas laut selatan.

Itulah uji terbang roket RX-320 di Stasiun Uji Terbang Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat, 19 Mei lalu. Roket yang diluncurkan itu merupakan roket buatan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang terbesar. Roket itu berhasil meluncur mulus. "RX-320 didesain mendekati Exocet. Itu bukan untuk uji ketinggian," kata Soewarto Hardhienata, Deputi Bidang Teknologi Wahana Dirgantara Lapan.

Uji terbang RX-320 untuk pertama kalinya itu disaksikan para pejabat Lapan. Selain Soewarto Hardhienata, hadir pula Yus Kadarusman Markis, Kepala Pusat Teknologi Wahana Dirgantara, dan Toto Marnanto Kadri, Kepala Pusat Teknologi Elektronika Dirgantara. Peluncuran roket itu merupakan satu tahap uji rancang bangun roket peluncur satelit pertama di Indonesia.

Roket ini membawa muatan payload engineering test untuk mendiagnosis perilaku aerodinamika, olah gerak, trayektori, dan kondisi lingkungan. Data itu dapat diterima Stasiun Bumi Telemetri, Tracking and Command. Soewarto Hardhienata mengatakan, keberhasilan itu merupakan tahap awal untuk mendukung program pembuatan roket peluncur satelit secara mandiri.


Tahap berikutnya, Lapan akan menguji statis roket RX-420. Pengujian yang direncanakan Juni itu dilakukan di darat terlebih dulu. “Kalau semuanya lancar, awal tahun depan akan menjalani uji terbang," katanya. Bila RX-420 sukses terbang, uji selanjutnya adalah menerbangkan sambungan RX-420 dan RX-320.

"Karena roket pengorbit satelit itu susunannya terdiri dari empat tingkat," ujarnya. Tingkat pertama hingga ketiga adalah roket RX-420, sedangkan tingkat keempat roket RX-320. Total roket yang dibutuhkan enam biji. Susunan itu diapit dua roket RX-420. "Pada tingkat pertama masih ditambah booster. Ada dua booster RX-420 juga. Jadi, yang paling bawah itu ada tiga roket RX420," katanya.

Jika semuanya lancar, pembuatan roket peluncur satelit pun bisa dimulai. Karena roket peluncur satelit harus sanggup menjangkau ketinggian 314 kilometer. Roket peluncur satelit rencananya terdiri dari empat tingat dari dua jenis roket, yaitu RX-420 dan RX-320. "Kami sudah membuat grand design-nya untuk pengorbit satelit. Dalam jangka waktu ke depan akan kita uji satu-satu," tuturnya.

Untuk menanam satelit dibutuhkan kecepatan minimum 7,8 kilometer per detik. "Untuk mengimbangi gravitasi, sehingga satelit yang dilempar di orbit tidak turun," katanya. Menurut Soewarto, membutuhkan waktu empat hingga enam tahun untuk membangun roket peluncur satelit itu. "Itu kalau situasinya tenang-tenang saja seperti saat ini," ia menambahkan.

Dengan teknologi semacam itu, berat satelit yang dibawa adalah 5 kilogram (nanosatelit). Padahal, Lapan semula memprogramkan dapat mengorbitkan mikrosatelit seberat 50 kilogram, dengan roket pendorong RX-520. Namun, karena terbentur biaya, akhirnya dipilih satelit nano. “Kami mencoba memanfaatkan yang kami punya," ujarnya. Sebab, secara teknologi, Lapan menguasainya. "Problemnya bukan di teknologi, melainkan pada anggarannya," ungkapnya.

Untuk membangun roket peluncur satelit empat tingkat, dibutuhkan biaya sekitar Rp 400 milyar. Sedangkan anggaran untuk Pusat Peroketan Lapan hanya Rp 40 milyar per tahun. Untuk Lapan, anggarannya Rp 230 milyar per tahun. Situasi pendanaan yang demikian menyebabkan Lapan menurunkan kelas roket pendorong bermuatan 50 kilogram (mikrosatelit) menjadi 5 kilogram (nanosatelit).

Dengan menurunkan daya angkut tersebut, biaya yang dibutuhkan menjadi lebih irit. Bandingkan dengan pendorong RX-520 yang mampu mengangkut 50 kilogram, yang butuh biaya Rp 1,2 trilyun. Biaya ini termasuk untuk pengadaan peluncur roket RX-520 yang harus diimpor. "Sebenarnya kami sudah mampu mengembangkan RX-520. Tapi, ya itu tadi, biayanya mahal, " katanya.

Lain halnya dengan RX-420. Menurut Soewarto, pihaknya sudah memiliki roket sekaligus peluncurnya. Karena itu, Lapan memprioritaskan program roket jenis ini. “Keberhasilan uji terbang kemarin merupakan tanda bahwa kami memulai program itu," ia menegaskan.

Sejauh ini, Lapan mendapat mandat pengembangan roket jarak menengah untuk kepentingan sipil. Antara lain pengembangan roket pengangkut satelit. Sedangkan roket untuk persenjataan berada di luar kewenangan Lapan. Namun Lapan membuka diri bagi pihak militer untuk memanfaatkan teknologi yang dikembangkannya.

Semua roket yang digunakan untuk membangun roket peluncur satelit menggunakan bahan bakar (propelan) padat produksi Lapan. Yakni amonium perklorat. Terdapat dua jenis propelan padat: komposit dan double base. Yang pertama ada beragam jenis, tapi yang populer adalah amonium perklorat karena kandungan energinya tinggi. Lapan sanggup memproduksi propelan padat 10 kilogram per bulan.

Pembuatan AP (NH4-ClO4) di lab Lapan, menurut Heri Budi Wibowo, Kepala Bidang Material Dirgantara Lapan, dilakukan dengan proses elektrolisis secara bertahap. Garam dapur (NaCl) dimasukkan ke larutan asam buffer bernitrogen, kemudian dielektrolisis --dengan setrum bertegangan listrik tertentu. Terbentuknya AP itu melalui beberapa tahap elektrolisis. Untuk memisahkannya dari bahan yang lain, dilakukan pendinginan. Pada suhu minus 20 derajat, kristal AP terbentuk, tinggal dipisahkan.



(Rohmat Haryadi, Gatra)

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...