Halaman

Metode Dini Deteksi Katarak di Adopsi Perusahaan Asing

Karya ilmuwan Indonesia terus menggoda investor luar negeri untuk membeli dan menjadikannya produk massal. Hal ini dipicu karena kualitas dan temuan ilmuwan Indonesia yang inovatif diberbagai bidang.

Kali ini, giliran hasil riset penelitian dari kampus Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Jawa Tengah, Retno Supriyanti. Temuan Retno membuat perusahaan papan atas Jepang berniat membeli hasil risetnya yaitu metode dini untuk deteksi katarak.

"Metode tersebut dengan menggunakan kamera digital. Metode ini sudah mendapatkan 2 hak paten yaitu dari Japan Patent dengan nomor 2008-035367 dan International Patent dengan nomor PCT/JP2009/52572," kata Kepala Humas Keluarga Alumni Unsoed, Alief Einstein kepada detikcom, Jumat, (11/11/2011).

Retno Supriyanti yang juga Dosen Teknik Elektro Fakultas Sains dan Teknik bergabung dengan tim peneliti dari Nara Institute of Science and Technology, Jepang. Retno satu tim dengan peneliti Jepang yaitu Hitoshi Habe, Masatsugu Kidode, dan Satoru Nagata.

"Yang berminat dengan metode temuan Retno Supriyanti tidak hanya konglomerat dari Indonesia saja, tapi dari beberapa perusahaan Jepang dan China yang berniat membuat aplikasi metode tersebut. Sampai saat ini pihak institut masih melakukan negosiasi dengan perusahaan-perusahaan tersebut," terang Alief.

Hasil riset tersebut yaitu memanfaatkan penggunaan specular reflection yang nampak di dalam pupil mata. Specular reflection adalah suatu pantulan cahaya yang terjadi pada suatu permukaan. Mengacu pada hukum snellius, cahaya yang menimpa permukaan specular akan tercermin pada sudut yang mencerminkan sudut datang cahaya, dalam hal ini sudut pandang menjadi sesuatu yang sangat penting.

"Metode kami mengacu pada proses terjadinya specular reflection itu sendiri, hanya saja permukaan yang digunakan disini adalah lensa mata," beber Retno dalam emailnya.

Cahaya menimpa permukaan depan lensa dan membuat suatu pantulan yang disebut dengan frontside reflection. Hanya saja, sesungguhnya cahaya juga menimpa permukaan dalam lensa. Untuk keadaan yang tidak serius, dimana tidak terdapat kekeruhan didalam lensa maka cahaya akan dipantulkan kembali yang disebut dengan backside reflection. Untuk keadaan yang serius, dimana terdapat banyak kekeruhan di dalam lensa mata, maka cahaya tidak dapat dipantulkan kembali.

"Selain dengan menggunakan metode specular reflection, kami juga menganalisa tekstur dari citra pupil tersebut. Dengan asumsi bahwa untuk kondisi serius, dimana terdapat banyak kekeruhan di lensa mata, maka akan membuat keseragaman tekstur (uniformity) menjadi lebih kecil dibandingkan dengan kondisi tidak serius," beber Retno yang bergelar Dr.Eng.ST, MT.

Sedangkan dari sisi intensitas cahaya (average intensity), menggunakan asumsi bahwa intensitas cahaya untuk kondisi serius lebih besar daripada kondisi tidak serius. Hal ini disebabkan oleh adanya warna keputihan didalam lensa mata yang menyebabkan intensitas cahaya menjadi lebih besar.

"Penelitian ini mendapatkan hasil yang cukup menggembirakan dengan keakuratan sekitar 90 persen," tuntas Retno yang menyabet gelar PhD dari kampus Nara Institute tersebut.

DetikNews

Read more...

Dr Nurul Taufiq Rochman, Peneliti Nano Bertaraf Internasional

Peneliti Pusat Penelitian Fisika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Nurul Taufiqu Rochman sedang "kebanjiran" pesanan dari kalangan industri untuk membuatkan kosmetik, pupuk, bahan polimer, suplemen makanan hingga ramuan herbal berteknologi nano. "Sekarang ini banyak permintaan nanoherbal dari kalangan industri, misalnya nanokopi dengan ramuan penambah stamina dari tanaman purwaceng dan pasak bumi," kata Dr Nurul Taufiqu Rochman di sela Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) ke-10 di Jakarta, yang digelar selama tiga hari mulai tanggal 8-10 November.

Bahan herbal yang diolah menjadi seukuran nano (10 pangkat minus sembilan) jauh lebih mudah terserap ke dalam tubuh sehingga efeknya lebih baik dibanding tanpa teknologi nano, ujar Nurul yang juga memamerkan produknya di salah satu gerai LIPI Expo yang digelar bersama KIPNAS. Peralatan pembuat bahan herbal seukuran nano ini, lanjut dia, merupakan pengembangan dari peralatan penghancur material yang ia temukan sebelumnya kemudian ditingkatkan kemampuannya dengan putaran mesin yang sangat tinggi serta tekanan dan suhu yang terkontrol.

Sebelumnya Nurul telah menciptakan sejumlah peralatan penghancur material menjadi seukuran nano dimana material yang dihancurkan antara lain mineral berupa Zinc Oksida (ZnO), Magnesium Oksida (MnO), Besi Oksida (Fe2O3), hingga Silikon Oksida (SiO2). "Mineral-mineral ini digunakan untuk sejumlah keperluan pasar, contohnya kosmetik (krim pelembab dan krim tabir surya -red) yang sudah diproduksi secara massal oleh suatu perusahaan kosmetik," ujarnya sambil menambahkan bahwa selama ini bahan nanoteknologi selalu diimpor.

Zinc Oksida nanonya, ujar Nurul, juga telah diuji di Fakultas Kedokteran Unair untuk membuat semen tambal gigi yang hasilnya memuaskan, demikian pula pupuk berbahan MgO nano sudah diuji penyerapannya di tanaman. Ada pula bahan polimer untuk peralatan dapur antibakteri yang masih diuji.



Lulusan S1, S2 maupun S3 dari Kagoshima University Jepang ini memang gigih mencoba-coba dan mencari-cari cara membuat peralatan penghancur materi ke bentuk nano yang mampu "menanokan" materi hanya dalam waktu singkat dan sesuai kebutuhan riset. "Kalau pakai alat penghancur dari luar negeri untuk membuat partikel nano seberat 500 gram butuh waktu hingga 500 jam, tapi dengan teknologi ini dalam waktu 18-20 jam sudah tercipta partikel nano, misalnya besi oksida 20 gram," katanya ketika diminta menjelaskan temuan sebelumnya.

Selain membuat alatnya, Nurul juga membuatkan materinya, antara lain material besi menjadi serbuk nano yang kemudian dibentuk menjadi nanowire (kawat nano), nanotube (pipa nano) dan nanorod (batang nano) yang berpotensi 300 kali kekuatan besi dan cukup banyak diperlukan di dunia industri. "Harga partikel yang sudah berbentuk nano ini berlipat-lipat dibanding material aslinya," tambah Ketua Masyarakat Nanoteknologi Indonesia (MNI) itu.

Ia menjelaskan, nanoteknologi saat ini merupakan teknologi yang menjadi perhatian dunia dan terus diriset. Bentuk pipa partikel nano dari bismut mangaan misalnya biasa dipakai untuk "memory chip" dengan kapasitas selevel terrabyte. Selama ini, lanjut dia, jika memerlukan partikel nano untuk penelitian, lembaga riset di Indonesia harus ke luar negeri karena ketiadaan alat pemroses partikel nano. "Untuk membuat bentuk partikel nano yang fungsional kita harus mencoba berkali-kali, saya sendiri ketika mencari bentuk pipa, sampai 200 kali bereksperimen dengan alat ini," kata pemilik banyak paten di bidang nanoteknologi ini.

Pembuatan alat yang telah dimulainya sejak 2005 ini juga ditemukannya secara tidak sengaja setelah berkali-kali mencoba dengan modal sekitar Rp30 juta, ujar peneliti yang beberapa kali mendapat hibah Indonesia Toray Science Foundation (ITSF) itu. "Saya punya alat yang besar hingga kecil. Saya sendiri kaget, alat saya yang sederhana ini saja sudah bisa membuat partikel nanowire, nanotube atau nanorod. Di negara maju alat pembuat partikel nano semacam ini berteknologi canggih dan harganya ratusan juta rupiah," katanya.

Alat penghancur materinya itu juga sudah dilirik lembaga riset negara-negara lain seperti Jepang, Malaysia, Singapura dan lainnya. Namun sayangnya ia belum berminat mematenkan lagi beberapa peralatan terbarunya itu. Nurul telah banyak memperoleh penghargaan antara lain sebagai Peneliti Muda Terbaik pada 2004 dari LIPI, Adhidarma Profesi Award (2005) dari Persatuan Insinyur Indonesia, The Best Idea and Innovation Award (2005) dari Majalah Swa dan penghargaan lainnya.

Antaranews

Read more...

Bio Farma dan Persaingan Vaksin Global

"Biar dahi berlumpur asal tanduk mengena". Pepatah ini cocok untuk menggambarkan apa dan bagaimana PT Bio Farma (Persero). Meskipun nama dan kiprahnya belum banyak diketahui masyarakat, manfaat dari produk-produknya telah menyelamatkan jutaan nyawa di seluruh dunia.

Bio Farma berdiri pada 6 Agustus 1890. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tergolong sehat karena berkinerja baik tersebut berlokasi di Jalan Pasteur 28 Bandung Jawa Barat. Perusahaan ini merupakan satu-satunya produsen vaksin dan sera untuk manusia di Indonesia.

BUMN ini mempunyai misi menjadi produsen vaksin dan sera yang berdaya saing global. Saat ini berbagai sertifikasi bergengsi telah diraih perusahaan tersebut seperti Sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) serta Sistem Manajemen Mutu ISO 9001, ISO 14001, dan OHSAS 18001.

Pada 1997 perusahaan tersebut bahkan berhasil mendapatkan Prekualifikasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi Indonesia bahwa pengakuan tersebut baru diberikan kepada 23 produsen vaksin di dunia, dan satu di antaranya adalah Bio Farma.

Dengan adanya berbagai sertifikasi dan pengakuan WHO itu produk Bio Farma kini relatif sukses dipasarkan di dalam dan di luar negeri. Saat ini lebih dari 100 negara telah menggunakan vaksin Bio Farma, meliputi beberapa negara di Afrika, Asia, Amerika Latin, dan bahkan Eropa.

Produk-produk yang dihasilkan Bio Farma di antaranya vaksin virus (Polio, Campak, Hepatitis B rekombinan, dan seasonal flu), vaksin bakteri (TT, DT, DTP, BCG, Td), vaksin kombinasi (DTP-HB), antisera (ATS, ADS, ABU), dan produk diagnostika lainnya.


Vaksin dan Imunisasi

Vaksin itu sendiri merupakan zat yang dimasukkan ke dalam tubuh untuk mencegah infeksi yang disebabkan oleh patogen, seperti virus, bakteri, atau parasit. Vaksin berperan "mengajarkan" tubuh mengenai bagaimana mempertahankan diri melawan patogen.

Tipe vaksin dapat dibedakan berdasarkan zat yang terkandung di dalamnya, yaitu berupa patogen yang dilemahkan (contoh: vaksin polio), patogen inaktif (vaksin flu), toksoid (vaksin tetanus), subunit/acellular (vaksin pertusis), konjugat (vaksin Haemophilus influenza tipe b), serta yang baru dikembangkan berupa vaksin DNA/RNA dan vaksin rekombinan.

Dengan pemberian vaksin (vaksinasi atau imunisasi), maka pada saat patogen menyerang, tubuh dapat mengingat dan membentuk respon imun yang lebih cepat dan lebih kuat dibanding tubuh dari individu yang tidak divaksinasi. Adanya efek "memori imun" ini diharapkan mampu mencegah penyakit infeksi akibat patogen berbahaya.

Pemberian vaksin sangat penting, bukan hanya untuk melindungi individu yang diimunisasi, melainkan juga untuk melindungi lingkungan sekitar, sebab jika sejumlah individu dalam suatu komunitas diimunisasi, maka kecil kemungkinan penyakit menyebar dari manusia ke manusia lain dalam komunitas tersebut.

Selain itu, kemungkinanan individu yang tidak diimunisasi terpapar oleh patogen juga rendah sehingga individu tersebut sukar untuk terinfeksi. Dengan kata lain, imunisasi dapat menjadi jalan untuk menghambat terjadinya penyebaran penyakit infeksi.

Dalam kaitan itu Menteri Kesehatan Republik Indonesia dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, M.P.H., DR. P.H. sangat mendukung program imunisasi sebagaimana tertuang dalam keputusannya nomor: 482/MENKES/SK/IV/2010 tentang Gerakan Akselarasi Imunisasi Nasional Universal Child Immunization 2010-2014 (GAIN UCI 2010-2014).

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan tersebut secara jelas dinyatakan bahwa imunisasi merupakan cara efektif untuk menurunkan angka kematian anak yang merupakan salah satu tujuan dari Millennium Development Goals (MDGs).

Sementara itu menurut sumber WHO/UNICEF dalam Coverage Estimates 1980-2007, 21 Agustus 2008, Indonesia merupakan negara keempat terbesar di dunia dalam jumlah anak yang tidak mendapatkan imunisasi, sehingga kemudian diprioritaskan untuk dilaksanakannya akselerasi dengan pencapaian target pemberian imunisasi dasar lengkap pada semua bayi (umur kurang dari satu tahun). Pemberian vaksin meliputi Hepatitis B, BCG, Polio, DPT, dan Campak.

Dalam upaya mendukung target tersebut pemerintah melaksanakan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) secara berkesinambungan. Luasnya cakupan wilayah Indonesia dan angka kelahiran yang relatif tinggi per tahun menyebabkan mahalnya biaya imunisasi. Namun masalah tersebut teratasi dengan adanya pasokan dari produsen vaksin dalam negeri, yakni Bio Farma, sehingga vaksin bisa didapat dengan harga yang relatif murah dan cepat tersedia.


Tantangan Menghadang

Di sisi lain, meski Bio Farma telah menjadi produsen dan penyuplai vaksin yang berhasil, tidak mudah bagi perusahaan tersebut untuk bertahan di tengah persaingan industri kesehatan yang terus berkembang seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan munculnya penyakit-penyakit baru.

Tuntutan akan adanya vaksin-vaksin baru yang lebih bermutu, efektif, murah, mudah digunakan, halal, dan mampu melawan lebih banyak lagi patogen yang selama ini belum tertangani merupakan tantangan tersendiri bagi Bio Farma.

Dalam Seminar “Perkembangan Vaksin Masa Depan” yang diselenggarakan Bio Farma tahun 2009, pakar kesehatan Prof. dr. Amin Soebandrio, Sp.MK, Ph.D. menyatakan bahwa tantangan lain dalam pengembangan vaksin adalah dalam hal identifikasi antigen dan cara pemberian yang cocok, selain kendala peraturan serta masalah teknis dan pabrikasi dalam menetralisir kandidat vaksin ke aplikasi klinis serta aspek keberhasilan komersialnya.

Sementara itu Direktur Utama Bio Farma Drs. Iskandar, Apt, M.M. menekankan arti pentingnya riset vaksin. Selain memberikan tantangan yang sangat besar, riset vaksin juga membutuhkan kesungguhan, dan konsentrasi yang tinggi untuk kepentingan kesehatan.

Oleh karena itu, menurut Iskandar sebagaimana diungkapkan dalam tulisannya "Road Map Riset Menuju Era Bioekonomi 2030" yang dimuat BioMagz edisi pertama belum lama berselang, saat ini diperlukan adanya kerja sama antarlembaga dan institusi dalam riset vaksin, baik secara nasional maupun internasional.


Mampu Bersaing

Dalam kaitan dengan riset vaksin, pada 26-27 Juli 2011 lalu Bio Farma menyelenggarakan Simposium Nasional “Harmonisasi Riset Vaksin di Indonesia dalam Menyongsong Dekade Vaksin 2011-2020” di Jakarta. Forum ini dihadiri oleh perwakilan dari akademisi, pemerintah dan kalangan industri. Tujuannya adalah terjalinnya sinergi antarpihak terkait dalam mewujudkan kemandirian riset vaksin nasional.

Dalam kesempatan itu juga ditandatangani Memorandum of Understanding (MoU) antara Bio Farma dengan Universitas Brawijaya, selain dengan Universitas Jenderal Achmad Yani, dan Universitas Indonesia, disaksikan oleh Wakil Menteri Pendidikan Prof. Dr. Fasli Jalal. Kerja sama itu diharapkan mampu memangkas secara signifikan waktu riset yang biasanya berlangsung antara 10 sampai 15 tahun.

Kualitas sumber daya manusia pun dibenahi oleh Bio Farma. Banyak karyawan diberi kesempatan untuk memaksimalkan potensi dengan mengikuti pendidikan formal setara S-2 dan S-3 serta berbagai kursus atau pelatihan, baik di dalam maupun di luar negeri, sehingga ke depan diharapkan muncul para peneliti muda yang mumpuni dalam melakukan riset vaksin.

Di sisi lain Bio Farma berusaha mengurangi penggunaan vaksin dengan bahan baku asal hewan. Selain terkait isu halal bagi umat Muslim, vaksin dengan bahan baku asal hewan juga dikhawatirkan memungkinkan terjadinya transmisi penyakit ke manusia. Untuk itu Divisi Litbang Bio Farma sedang berusaha mengembangkan berbagai riset pembuatan vaksin dengan menggunakan bahan rekombinan yang berasal dari tumbuhan.

Pada tahun 2011 ini Bio Farma sendiri berusia 121 tahun. Produsen vaksin itu telah mampu bertahan selama lebih dari satu abad serta terbukti sanggup mengatasi banyak tantangan pada masa lalu. Maka, dengan semua potensi yang dimilikinya serta dukungan kerja sama dari berbagai pihak, perusahaan ini akan sanggup menaklukkan semua tantangan pada masa depan serta diyakini bisa menjadi salah satu pemain utama dalam industri vaksin global.

*Penulis, Staf Divisi Produksi Vaksin Virus PT Bio Farma (Persero)

ANTARA News

Read more...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...