STAR50 - PT PAL |
Industri Perkapalan Indonesia sampai era 1970-an masih terbelakang. Galangan-galangan di sini baru menghasilkan kapal-kapal bertonase 1000 ton ke bawah. Mereka pun lebih berkonsentrasi pada pemeliharaan dan perbaikan kapal (Harkan). Sementara perusahaan-perusahaan pelayaran nasional skeptis terhadap kemampuan galangan lokal, sehingga lebih suka memanfaatkan jasa galangan pembangun dan Harkan di mancanegara.
Di tengah kondisi demikian, sejak 1977 Suleman Wiriadidjaja menjadi aktor di belakang B.J. Habibie dalam mengembangkan Penataran Angkatan Laut (PAL), Surabaya, menjadi pusat keunggulan dan ujung tombak industri perkapalan di Indonesia. Guna memacu dan mempromosikan kemampuan galangan dalam negeri.
Suleman tidak pernah menjadi pucuk pimpinan (Direktur Utama) di PAL, sejak galangan ini dikembangkan menjadi Perusahaan Umum (Perum) pada Desember 1978 dan Perseroan Terbatas (PT) pada April 1980. Jabatan tertingginya di PAL adalah Koordinator Kegiatan (Senior Executive Vice President).
Jabatan Direktur Utama sejak PAL berstatus Perum di pegang Habibie sampai ia lengser pada Maret 1998. Bersamaan dengan itu, Suleman lengser pula dari posisi Koordinator Kegiatan, untuk selanjutnya menjadi Komisaris Utama.
Namun selama di Direksi PAL, Suleman memperoleh kepercayaan penuh dari Habibie untuk mengendalikan operasional dan mengambil langkah-langkah guna mengembangkan PAL. Jadi, meski tak pernah secara formal menjadi pucuk pimpinan di sana. Suleman selama hampir dua dekade memotori upaya memajukan BUMN ini.
Ia merawat dan membesarkan PAL bukan saja dengan sense of maritime technology-nya yang menonjol, tapi juga dengan sentuhan kejujuran, konsistensi, ketegasan, kedisiplinan, serta ketulusannya. Semau itu amat berarti. Sebab sebuah perusahaan, apalagi yang di dalamnya terdapat ribuan pegawai seperti PT PAL, mesti didukung fasilitas dan strategi manajemen yang canggih, akan rapuh jika pimpinannya tidak secara sungguh-sungguh memberikan sentuhan-sentuhan tersebut.
Alhasil, PAL lambat laun menguat dari segi kemampuan organisasi maupun teknologinya, sehingga mampu memainkan perannya sebagai ujung tombak industri perkapalan nasional. Performanya paling menonjol di antara sejumlah BUMN binaan Habibie.
Awal 1988, ketika di PT PAL sudah beredar isu bahwa Suleman akan lengser, para manajer di BUMN itu mengadakan rapat yang menghasilkan kesepakatan menobatkan Suleman sebagai "Pendiri dan Sesepuh PT PAL". Pertimbangannya, Suleman telah berjasa besar membina galangan ini.
Penobatan dilakukan dalam sebuah acara perpisahan yang di adakan keluarga besar PT PAL, di Surabaya, segera setelah Suleman positif lengser. Dalam kata sambutannya setelah menerima penobatan itu, Suleman menyatakan "PT PAL adalah batu loncatan saya untuk mengembangkan industri kelautan Indonesia secara keseluruhan".
Pernyataan di atas bukanlah hanya slogan semata. Melalui PT PAL ia merintis dan menggerakkan proyek-proyek yang merupakan mata rantai dari upaya mengembangkan industri maritim nasional. Di satu sisi, membangun kemampuan Indonesia dalam rancang bangun kapal modern. Di sisi lain, membantu pengadaan armada industri pelayaran nasional. Juga membantu menyediakan kapal-kapal untuk keperluan riset kelautan (eksplorasi mineral di bawah laut, dsb.), kegiatan penangkapan ikan, dan keperluan lain yang terkait dengan kelautan.
Pada awal 1980-an ia menyiapkan proyek rancang bangun kapal tanker 3.500 Dwt untuk Pertamina. Maksudnya membuat gebrakan untuk menunjukkan bahwa Indonesia mampu merancang bangun kapal sekelas itu, ketika berbagai pihak di dalam negeri tidak percaya akan kemampuan tersebut.
Terbukti, tiga galangan nasional (termasuk PT PAL) mampu memproduksi lima kapal dalam proyek ini.
Sekitar tahun 1982, ia menyiapkan proyek rancang bangun kapal barang umum 3.000 Dwt di PT PAL. Ini lantas di kembangkan menjadi proyek nasional dengan nama Caraka Jaya (CJ) pada 1984, menyusul rencana Pemerintah membesituakan kapal-kapal berusia 25 tahun ke atas, sehingga di perlukan kapal-kapal baru sebagai penggantinya.
Suleman berperan sebagai Ketua Tim Pengarah Proyek CJ yang sekaligus dijadikan wahana untuk mengembangkan galangan-galangan di Indonesia. Rata-rata galangan-galangan yang di libatkan sebelumnya baru menghasilkan kapal-kapal bertonase maksimal 1.000 Dwt. Sehingga Proyek CJ merupakan batu pijakan mereka untuk memproduksi kapal yang lebih besar lagi.
Sementara itu, CJ membantu menghidupkan kembali dinamika industri pelayaran Indonesia, setelah kapal-kapal tua mereka di larang beroperasi. Sampai Tahap II, proyek ini sudah menghasilkan 32 kapal yang telah di operasikan dan menjadi tulang punggung sejumlah pelayaran nasional.
Ketika Proyek CJ masih bergulir, Suleman menyiapkan Proyek Palwo Buwono, yang merupakan lompatan dari CJ. Ia menjadi Ketua TIM Pengarah Proyek Pengadaan Kapal Kontainer 400 Teu dan 1.600 Teu untuk PT Djakarta Lloyd itu.
Suleman merintis kemampuan Indonesia membangun kapal penumpang modern. Dimulai dengan rancang bangun PAX-500 (berkapasitas 500 penumpang), yang basic design-nya di buat PT PAL bersama Galangan Jos L. Meyer, Papenburg, Jerman. Setelah PT PAL berhasil merancang bangun tiga unit PAX-500, tinggal menunggu kesempatan untuk menghasilkan kapal penumpang yang lebih besar lagi (PAX-1000 dan PAX-2000).
Ia pun merancang dan menjadi Ketua Tim Pengarah sejumlah proyek-proyek lain yang masih berkisar pada pembuatan kapal-kapal untuk memperkuat armada industri maritim nasional. Di antaranya Proyek Kapal Maruta Jaya, Kapal Riset Baruna Jaya, Kapal Ikan Mina Jaya, Kapal Tuna Long Line 60 Gt, dan lain-lain.
Kembali ke era 1970-an. Sampe dekade itu, kapal-kapal perang TNI-AL masih dibuat di luar negeri. Sejak dekade 1970-an pula Suleman merintis kerjasama dengan Friedrich Luerssen Werft (FLW), Jerman, untuk membangun FPB-57 di Indonesia. Hingga akhirnya Indonesia (PT PAL) berhasil merancang bangun sejumlah FPB-57 yang kini menjadi "kuda beban" TNI-AL untuk menjaga wilayah perairan Nusantara.
Ia merintis pula kemampuan Indonesia dalam merancang bangun FPB-28. Dimulai dengan membangun 12 unit FPB-28 di PT PAL (1983-1987). Ke-12 kapal pesanan Direktorat Jenderal Bea Dan Cukai itu berkualitas konstruksi lebih baik dibandingkan 12 kapal serupa yang dalam waktu bersamaan dipesan Bea Dan Cukai dari Belgia. Padahal Bea Dan Cukai semula meragukan kemampuan galangan Indonesia untuk membangun kapal tersebut, karena memerlukan teknologi canggih dan sebagainya.
Sekitar tahun 1979, Suleman menggagas pembangunan Laboratorium Hidrodinamika Indonesia (LHI), guna mendukung kemajuan industri perkapalan indonesia. Ini kemudian dijadikan proyek pemerintah melalui BPPT. Habibie selaku Pelaksana Proyek menunjuk Suleman sebagai Ketua Pelaksana Hariannya. Dan Suleman secara konsisten memotori Tim Pelaksana Harian, sampai berhasil merampungkan pembangunan LHI di Surabaya ini, dengan melewati berbagai kesulitan terutama dalam hal pendanaannya.
Di luar jalur birokrasi, Suleman memotori pembentukan organisasi profesi Himpunan Ahli Teknologi Maritim Indonesia (HATMI) pada 1992. Tujuannya antara lain menyatukan berbagai unsur industri maritim Indonesia untuk bersama-sama mengembangkan industri ini. Kalau sampai dua kali berturut-turut ia menjadi Ketua Umum HATMI (1992-1097 dan 1997-2000), menurut beberapa tokoh di HATMI, itu lantaran anggota HATMI belum menemukan figur selain Suleman yang bisa secara konsisten memotori dinamika organisasi ini.
0 komentar:
Posting Komentar