Tahapan Perkembangan Kemampuan Teknologi di PT DI
Pengenalan dan Penguasaan Teknologi (1976-1982)
Bagi bangsa Indonesia, pengenalan teknologi pesawat terbang sebenarnya telah tersemai sejak sebelum perang kemerdekaan. Pada waktu itu terjadi proses modifikasi pesawat-pesawat kecil di bengkel-bengkel pesawat dan club aeromodeling yang banyak bermunculan di Bandung. Pada masa perang kemerdekaan kegiatan ini terus dilakukan dengan modifikasi pesawat Cureng/Nishikoren peninggalan Jepang menjadi versi serang darat. Pada tahun 1948 berhasil dibuat pesawat terbang bermotor dengan menggunakan mesin motor Harley Davidson hasil rancangan Wiweko Soepono.
Kegairahan kegiatan modifikasi pesawat terbang terus bersemi, sehingga tidak mengherankan beberapa tahun kemudian bangsa Indonesia mampu menerbangkan sebuah pesawat serba logam bertempat duduk tunggal, prototipe �Si Kumbang�. Pada waktu itu, pesawat jenis tersebut diproduksi tiga buah. Kesuksesan yang sama terus berlanjut dengan keberhasilan memproduksi �Belalang 90�, �Si Kunang�, dan �Super Kunang�. Kegiatan-kegiatan yang berdampak pada pengenalan dan penguasaan teknologi industri pesawat modern di Indonesia terus berkembang seiring dengan pembentukan PT IPTN, yang merupakan perusahaan hasil penggabungan LIPNUR TNI-AU dengan ATTP Pertamina.
Sepanjang pertengahan tahun 70-an hingga awal tahun 80-an, kegiatan produksi PT Dirgantara Indonesia lebih berorientasi pada usaha mencari tahu atau mengenali komponen-komponen pesawat terbang dan kemudian mencoba merakitnya.
Selain untuk mengenali komponen pesawat, fase ini juga diharapkan agar perusahaan ini mampu memproduksi jenis pesawat terbang yang sudah ada di pasaran, yang memiliki potensi pasar yang cukup baik, desain yang sederhana sehingga mudah diproduksi. Untuk mencapai sasaran tersebut dilakukan pembelian lisensi pesawat terbang ringan Aviocar CN-212 buatan CASA dari Spanyol dan pesawat helikopter BO-105 berkapasitas 5 orang buatan pabrik MBB Jerman.
Pada bulan November 1977 IPTN melakukan kerjasama dengan Aerospatiale Perancis memproduksi secara lisensi helikopter NSA-330 dan NAS-332 Super Puma. Model kerjasama serupa terus dilakukan dengan negara-negara yang sudah maju dalam penguasaan teknologi pesawat terbang. Pada 12 November 1982, dilakukan kerjasama dengan Bell Helicopter Textron, Amerika Serikat untuk memproduksi helikopter NBELL-412.
Seiring dengan peningkatan produksi pesawat, maka pada tahun 1981 didirikan Divisi Sistem Senjata dengan fasilitas produksi di Tasikmalaya dari asset TNI-AU. Selain itu juga dibangun fasilitas produksi lain seperti peralatan-peralatan standar dalam melakukan kegiatan perakitan pesawat. Melalui fasilitas-fasilitas tersebut, para pekerja IPTN belajar merakit pesawat dari komponen-komponen besar (general assembly), kemudian diikuti dengan perakitan komponen-komponen kecil (semi knockdown assembly) sampai pada komponen-komponen tunggal (complete knockdown assembly). Peningkatan kemampuan merakit komponen pesawat diperoleh melalui kegiatan produksi yang bersifat rutin yang disertai dengan kemampuan menyerap informasi pasar. Dari kegiatan kerja secara rutin, para pekerja memperoleh pengetahuan melalui informasi tercetak tentang komponen-komponen pesawat terbang, sehingga dalam taraf tertentu mereka mampu melakukan kegiatan pemeliharaan mesin.
Bahkan para pekerja mampu mengkuisisi keterampilan sehingga mampu membuat komponen-komponen sendiri yang dimulai dengan komponen-komponen sederhana kemudian secara bertahap ditingkatkan, hingga akhirnya seluruh komponen-komponen airframe dapat dibuat sendiri, terkecuali tentunya bagian-bagian pesawat yang berupa vendor items dan standard parts.
Integrasi Teknologi (1980-1984)
Setelah teknologi produksi dikuasai, maka dimulai suatu usaha untuk mengintegrasikan teknologi-teknologi yang telah ada ke dalam desain pesawat terbang yang baru sama sekali. Ini artinya setelah fase pengenalan dan penguasaan kemudian dilanjutkan ke tahap integrasi teknologi. Yang paling krusial dalam proses integrasi teknologi adalah bagaimana mengoptimalkan pengintregrasian komponen-komponen ke dalam sistem yang baru sehingga diperoleh suatu desain yang optimal.
Kerjasama dengan pihak luar perlu dilakukan, karena pada tahap ini semua pihak yang terkait masih dalam proses belajar sehingga akan meminimalkan kemungkinan kegagalan untuk mencapai hasil yang optimal. Dua tahun setelah membeli lisensi dari Aerospatiale Perancis, tepatnya 17 Oktober 1979 IPTN bekerjasama dengan CASA Spanyol melalui perusahaan patungan atau joint venture company Aircraft Technology Industries (Airtech). Kesepakatan kerjasama tersebut terdiri atas pembuatan disain dan produksi pesawat rancangan baru CN-235. Pembagian kerjasama yang ditentukan antara IPTN dan CASA diantaranya, IPTN akan membangun interior, rear center fuselage, unit ekor, dan bagian luar sayap, sedangkan CASA bertanggung jawab akan bagian-bagian nose fuselage, sayap tengah, dan center fuselage.
Tahap pertama dari program CN-235 yaitu, pembuatan disain awal dan studi pasar, sedang tahap selanjutnya yaitu desain, tools manufacturing, bagian detail manufacturing, final assembly dan first flight dimulai sejak tahun 1980 dan selesai pada tahun 1983. Roll out dari dua prototipe pertama dilakukan secara bersamaan di dua tempat berbeda yaitu di Getafe dan di Bandung pada tanggal 10 September, 1983. Sedang maiden flight dari kedua prototipe dilakukan pada 11 November 1983 (CASA) dan 30 Desember 1983 (IPTN). Tahap berikutnya yaitu sertifikasi dan penjualan. Pada bulan Juni 1986 mendapatkan sertifikasi layak terbang dari Spanish Indonesian Joint Certification Board, dan yang lebih berarti lagi yaitu sertifikasi dari FAA pada tanggal 3 Desember 1986.
Meskipun pekerjaan-pekerjaan utama idenya masih dilakukan oleh para technical adviser (TA) asing, program CN-235 telah banyak memberikan pelajaran kepada para insinyur dan teknisi-teknisi IPTN tentang bagaimana menguasai teknologi yang dimulai dari desain, manufaktur, pengetesan, sertifikasi, sampai ke pemasarannya. Hal tersebut dapat digambarkan kemudian dengan berhasilnya mereka memodifikasi CN-235 menjadi versi lain yaitu CN-235 MPA (maritim patrol aircraft) yang diperlengkapi dengan perlengkapan elektronik canggih untuk kepentingan pertahanan. Pesawat bermesin turboprop tersebut mempunyai kapasitas penumpang sampai 44 orang dan merupakan jenis pesawat terbang serba guna yang banyak digunakan untuk militer maupun komersial, ataupun misi khusus yang banyak dioperasikan di berbagai negara.
Kegiatan produksi IPTN tidak hanya berorientasi konsumen yang lama saja, tapi perusahaan ini mencoba mencari konsumen baru. Oleh karena itu dilakukan kerjasama serupa seperti yang dilakukan dengan CASA. Kali ini pada Juli 1982 ditandatangani kerjasama dengan Boeing Company dalam aspek manajemen dan mempersiapkan IPTN sebagai salah satu sub-kontraktor Boeing. Selanjutnya dilakukan kerjasama dengan General Dynamic memproduksi offset 35% komponen F-16, sehubungan dengan pembelian pesawat tempur F-16 oleh pemerintah.
Untuk mendukung kegiatan produksi yang sudah pada level integrasi, IPTN terus membangun fasiltas kerja. Pada tahun 1983 didirikan Divisi Universal Maintenance Center�pusat perawatan engine pesawat, marine serta industrial. (Divisi ini sekarang menjadi anak perusahaan, PT Nusantara Turbine Propulsi). Selanjutnya pada tahun 1985 didirikan workshop untuk memproduksi SUT torpedo di Kawasan Produksi V di Madura. Selanjutnya juga dibangun kawasan produksi II & IV (Divisi Universal Maintenance Center).
Selain membangun fasilitas produksi, perusahaan juga meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki. Oleh karena itu, sejak tahun 1984 dimulailah program pengiriman karyawan ke luar negeri secara besar-besaran baik untuk meneruskan program S1, S2, S3, maupun untuk mengikuti training-training. Dengan program ini diharapkan, PT. DI dapat terus mengembangkan diri diperkuat oleh SDM yang mempunyai kompetensi tinggi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam tahap integrasi, perusahaan ini melakukan mekanisme pembelajaran melalui alih teknologi secara terpaket, belajar melalui kegiatan evaluasi, kegiatan produksi, merubah spesifikasi, mencari informasi bahan baku dan pengetahuan baru, melakukan pelatihan dan menyewa tenaga dari luar negeri.
Pengembangan Teknologi (1986-1998)
Sebagai proses logis selanjutnya setelah semakin dikuasainya teknologi pembuatan pesawat terbang adalah mengembangkan teknologi itu sendiri. Pada tahapan pengembangan teknologi ini, teknologi-teknologi yang telah ada dikembangkan dalam rangka merancang bangun pesawat terbang baru yang sudah berorientasikan ke masa depan.
Pada tahun 1989 di mulai program perencanaan pesawat N250, sebuah pesawat bermesin turboprop yang sangat cocok sebagai pesawat commuter yang akan sangat efisien pada pesawat sekelasnya. Pesawat N250 prototip 1 (PA1) diluncurkan pada November 1994 dan melakukan penerbangan pertama pada 10 Agustus 1995.
Pesawat N250 menerapkan teknologi mutakhir ini secara utuh adalah hasil karya para insinyur Indonesia di IPTN. Walaupun dalam proses rancang bangunnya sebagian besar masih harus diimpor dari luar negeri, penguasaan dan pengembangan teknologi, terutama pada bidang desain, manufacturing, quality assurance, product support, maintenance & overhaul telah dapat dilakukan sendiri.
Teknik desain dan produksi CN-250 banyak menggunakan komputer grafis seperti CAD/CAM yang saling terintegrasi. Pesawat N-250 memiliki spesifikasi teknis yang lebih maju dibanding dengan pesawat-pesawat sekelas lainnya. Hal ini diakui banyak kalangan, tidak hanya oleh dunia penerbangan dalam negeri tapi juga dunia penerbangan luar negeri. Pengakuan itu dibuktikan dengan disetujuinya pendirian anak perusahaan IPTN di Amerika Serikat. Pesawat prototipe pertama (Gatotkaca), telah berhasil melakukan �maiden flight�-nya pada tanggal 10 Agustus 1995.
Tidak sabar dengan kemampuan yang dimiliki, juga untuk membuktikan ke dunia luar bahwa bangsa Indonesia dapat disejajarkan dengan negara-negara maju dunia, pada bulan September 1994, IPTN merencanakan program teknologi pesawat N-2130, sebuah pesawat turbojet regional berkapasitas 100-130 orang. Proyrek ini mengalami kegagalan, pada semula direncanakan memasuki preliminary design tahun 1997 serta memasuki detail design pada tahun 1998. Tetapi baru disadari di kemudian hari, seperti yang terekam dari hasil wawancara dengan beberapa responden yang dapat dipercaya bahwa pembuatan pesawat N-2130 ternyata merupakan salah satu bentuk kegagalan manajemen yang dilakukan oleh IPTN. Selain membutuhkan dana yang amat besar, pembuatan pesawat ini membutuhkan fasilitas dan kemampuan teknologi yang memadai. Padahal IPTN belum memiliki laboratorium aerodinamika untuk jenis pesawat jet.
Walaupun demikian, harus dicatat bahwa pada tahap pengembangan, hingga pertengahan 1990-an IPTN sudah mampu memproduksi suku cadang pesawat terbang sehingga mereka mampu mengganti suku cadang asli dengan buatan sendiri. Selanjutnya perusahaan ini sudah mampu mengadaptasi dan kemudian mendisain peralatan serta mesin dengan desain sendiri.
Hingga tahun 2000, PT DI relatif berhasil melakukan transformasi teknologi, sekaligus menguasai teknologi kedirgantaraan dalam hal mendesain pesawat, pengembangan, dan memproduksi pesawat komuter regional kecil-sedang. PT DI telah menjadi salah satu industri pesawat terbang terkemuka di kawasan di Asia dengan kompetensi intinya di bidang desain pesawat, pengembangan dan memproduksi pesawat pengangkut ukuran kecil sampai menengah baik untuk sipil maupun militer.
Namun demikian, kemampuan teknologi yang telah dikuasai melalui proses pembelajaran tidak dibarengi dengan kemampuan manajemen, termasuk kemampuan mengantisipasi pasar dunia yang berkembang sangat cepat. Kelemahan dalam sisi manajerial ini diperparah oleh hantaman krisis ekonomi pertengahan 1997 yang kemudian krisis politik telah mengguncangkan kemampuan ekonomi Indonesia.
Semua kondisi tersebut berdampak bagi perkembangan IPTN seperti terlihat diantaranya dihentikannya pendanaan pemerintah untuk program-program pembuatan pesawat. Pada Oktober 1998 keluar Keputusan Menneg BUMN Nomor KEP-074/M-PBUMN/1998 sehingga di bentuk tim restrukturisasi IPTN yang mencakup reorientasi bisnis, penataan ulang SDM dan restrukturisasi keuangan/permodalan.
Status perusahaan yang semula adalah milik pemerintah sepenuhnya, pada tahun 2000 berubah menjadi �full limited liability company� dimana PT Bahana Pengelola Industri Strategis (BPIS) sebagai shareholdernya.
Peralihan jabatan Presiden dari Soeharto kepada Habibie pada 1998 membawa angin segar bagi ekspresi kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat semua warga negara. Para karyawan-melalui serangkaian demontrasi yang dimotori oleh serikat pekerja-semakin berani mengekspresikan aspirasi mereka seperti penuntutan masalah upah.
Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan kondisi PT DI terpuruk. Oleh karena itu PT DI mengubah paradigma organisasi dari industri berorientasi penguasaan teknologi dengan dukungan total pemerintah menuju industri yang lebih berorientasi bisnis. Walaupun dari sisi ekonomi (cash flow ekonomi) belum memberikan kontribusi, tetapi diyakini bahwa industri ini telah menjadi aset nasional dan telah memberikan kontribusi dalam penguasaan teknologi (cash flow teknologi).
Selanjutnya dilakukan reorientasi bisnis, restrukturisasi SDM & Organisasi, restrukturisasi keuangan dan permodalan serta program peningkatan kinerja perusahaan: kinerja pemasaran, restrukturisasi usaha, dan efisiensi operasi. Reorientasi bisnis dilakukan dengan melakukan pengelompokkan bisnis Core & Non Core serta pendirian unit bisnis. Restrukturisasi keuangan dilakukan dengan menyelesaikan status dana SLA dan RDI menyelesaikan utang komersial dengan Bank Mandiri/BPPN. Penataan ulang SDM antara lain dengan melaksanakan program pensiun dini kepada karyawan, serta penataan SDM berdasarkan kompetensi.
Struktur terbaru PT. Dirgantara Indonesia meliputi; 6 Profits Centers, 9 unit bisnis strategis (SBU), 3 Revenue Centers, 5 Subsidiary and Corporate Function.
Profit Center
1. CN-235 (Aircraft & Component)
2. N-250
3. NC-212
4. Aircraft Industrial Part and Component Manufacturing ,(AIPCM)
5. Aircraft Industrial Tool Equipment Manufacturing (AITEM)
6. Special Mission Aircraft (SMA)
Strategic Business Units (SBU)
1. Aircraft Services
2. Manufacturing Services
3. Technology & Engineering Services
4. Interior
5. Helicopter
6. Defence & Security System
7. Aerospace System
8. Information Technology
9. ATEC
Revenue Center
1. Flight Test Center
2. Engineering R&D Center
3. Laboratory Measurement Test
Self Reliant Business Unit � Satuan Usaha Mandiri
1. Medical Clinics
2. Printing Services
3. Transportations
4. Facilities
5. Hotel Mitra
Bagaimanapun PT Dirgantara Indonesia masih menyimpan potensi besar yakni SDM, yang bila dikelola dengan baik memungkin perusahaan ini mampu mengepakkan sayapnya yang sedang terluka itu. Prospek yang lebih baik bisa diraih dengan menjalankan (a) kegiatan produksi dengan bertumpu pada bisnis pesawat terbang dan helikopter (b) bisnis perawatan pesawat terbang yang mencakup aircraft maintenance, overhaul & repairs, spare part dan minor aircraft refurbisment (c) bisnis aerostructure yang meliputi pembuatan part dan komponen pesawat dan industrial serta jasa pembuatan tool & equipment (d) bisnis engineering service meliputi global design center, modification service, mission system integration, interior, information technology, outdoor unit, simulation system, aircraft air/refurbisment/upgrade dan mission control system.
Penutup
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa proses belajar learning by doing, learning by training, learning by changing, learning by evaluating sudah berlangsung dalam tubuh PT Dirgantara Indonesia. Learning by doing terjadi melalui proses kerja rutin yang dilakukan sehari-hari oleh para pekerja. Learning by training ada yang terjadi formal melalui pengiriman para pekerja untuk belajar ke luar negeri. Selain itu ada juga yang terjadi secara non formal melalui proses alih pengetahuan dari para ahli asing kepada para pekerja PT DI.
Learning by changing terjadi melalui kegiatan perubahan desain produk. Proses belajar ini mulai terjadi setelah perusahaan ini mulai beranjak dari tahap pengenalan menuju tahap integrasi dan semakin baik pada tahapan pengembangan. Pada tahap pengenalan, para pekerja PT DI lebih banyak mengalami proses learning by doingdengan mengenali komponen pesawat dan kemudian secara perlahan mulai merakit komponen tersebut. Sedangkan pada tahapan integrasi para pekerja sudah mulai menciptakan suku cadang sendiri untuk menggantikan suku cadang asli. Bahkan pada tahap pengembangan PT DI mampu menciptakan disain sendiri dan produk yang relatif baru. Kemampuan menciptakan produk baru tersebut terjadi melalui serangkaian pengalaman yang panjang dan akumulasi pengetahuan.
Learning by evaluating dan learning by searching sudah berlangsung dalam aspek yang berhubungan dengan teknologi. Sayangnya hal ini tidak diikuti dengan hal-hal diluar kemampuan teknologi yang bersifat teknik. Kemampuan teknologi bersifat pemeliharaan pasar dan menciptakan pasar baru jarang dilakukan. Akibat proses belajar ini kurang dilakukan menyebabkan perusahaan ini kurang mampu menangkap sinyal pasar sehingga mampu mengantisipasinya. Kasus yang menonjol yang bisa dikemukakan untuk memperkuat analisa ini adalah kegagagalan proyek pesawat N-230 dan N-2130 yang menelan dana yang cukup besar sehingga menguras modal perusahaan.
Kondisi eksternal yang berubah cepat pada pertengahan tahun 90-an dan dilanjutkan krisis ekonomi Indonesia 1997 menjadi perusahaan ini semakin terpuruk. Pasalnya, pemerintah yang selama ini memberi sokongan dana tidak lagi mau berperan seperti pada masa sebelumnya. Konflik antara manajemen dengan manajemen menambah parah kondisi PT DI. Tidaklah berlebihan bila ada yang menggambarkan bahwa pada saat itu PT Dirgantara Indonesia mirip seekor rajawali besar yang di sekujur sayap-sayapnya dipenuhi luka, yang bila tidak segera diobati akan menjadi sayap-sayap patah yang tidak hanya menyebabkan sang rajawali tidak bisa terbang ke angkasa, tapi mungkin akan menemui ajalnya.
Kasus PT DI menunjukkan bahwa kemilikan kemampuan teknologi yang bersifat teknikal, tapi dibarengi dengan keterampilan manajerial yang memadai, terutama dalam hal pengelolaan SDM dan pemeliharaan pasar yang sudah ada serta mencari pasar baru yang menjanjikan akan menyebabkan perusahaan memiliki kinerja yang buruk.
Namun demikian masih ada sejumput harapan, asalkan PT DI melakukan transformasi organisasi secara optimal. Transformasi yang dimaksud adalah kemampuan meninggalkan masa lalu yang kurang baik (proses learning how to relearn dan learning how to unlearn) dan kemudian menemukan masa depan PT DI (proses learning how to learn). Dalam konteks transformasi tersebut seorang pemimpin yang berkarakter dan visioner sangat diperlukan agar perusahaan ini mampu meninggalkan masa lalu dan terbang, mengepakkan sayap menjemput impian masa depan.
@DR. Zulkieflimansyah, Ph.D
1 komentar:
Dear, Bapak/Ibu.
Bagian Import.
Perkenalkanlah kami Dari PT. SUN LOGISTICS INDONESIA. Yang begerak dibidang Jasa Export – Import Door To Door International Air & Sea Freight Forwader yang telah berpengalaman dibidang Door To Door, Undername. Kami sebagai mitra bisnis yang dapat dipercaya. Sebagai sebuah perusahaan pengiriman (melalui laut, udara maupun darat) tarif hemat dan kompetitif, Pt.Sun Logistics memastikan bahwa barang kiriman anda akan sampai ketempat yang dituju secara lebih cepat.
Kami melayani jasa import borongan door to door service dari :
(Air Freight & Sea Freight)
Layanan ini adalah pengiriman door to door melalui udara dan Laut dari berbagai negara yaitu USA, Eropa, Singapore, Hongkong, Taiwan, Bangkok, Shanghai, Quangzhao, Korea.
TO JAKARTA (INDONESIA)
PT. SUN LOGISTICS INDONESIA. yang merupakan sebuah perusahaan bergerak di bidang Jasa Pengurusan Barang-Barang Import di area Kepabeanan, baik melalui Laut ataupun Udara di seluruh Indonesia dengan fasilitas Aplikasi PIB (Pemberitahuan Import Barang) dan EDI (Elektronik Data Interchange), dan Penyediaan transportasi sampai ketempat tujuan.
Operasional perusahaan kami service customs clearance Air freigit dan sea freight import:
- Di Bandara S.Hatta (Jakarta)
- Di Pelabuhan Tg Priok (Jakarta)
Service International :
-Sewa UNDERNAME
-FOB/CNF
-Emkl / Emku
-Customs Clearance
-Ex Works
-Door to Door Service
-Purchase of foreign goods
-DlL
Note : Perusahaan kami juga bisa mengeluarkan Mobil, Motor dan Cairan cukup dengan syarat yang diperlukan untuk data baranghanya MSDS, Midical ,Invoice dan Packing List.
Perusahaan kami dapat mengeluarkan barang tersebut diatas dari Pickup barang sampai Door ke tempat (Free for Jakarta Area). Jika ada biaya lain yang muncul kami tidak membebankan biaya kepada Customer.
Pihak Customer bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kebenaran barang sesuai Invoice, Packing list. Perhitungan di atas berdasarkan mana yang lebih Besar : berat/Kg Atau Volume / M3 Perhitungan : Udara P X L X T : 6.000 Laut P X L X T : 1.000.000
Kehilangan barang yang terbungkus rapi ( Original Packing ) akan kami ganti sesuai INVOICE asli yang kami terima pertama.
Pembayaran dilakukan secara COD (Cash On Delivery)
Best regads
RAHMAN: 081394344940 / 0822 0823 0860 ( WA )
Head office
PT. SUN LOGISTICS INDONESIA
Jln. Cipinang Muara raya no. 19 Jakarta Timur (13420) – Indonesia.
Tlp : 021 - 860-3191 (Hunting)
Fax : 021-860-3196
Email : rahman.sunlogistics@gmail.com
Posting Komentar