Halaman

Peralatan Tempur Buatan LIPI

Achmad Harimawan tak pernah melupakan tantangan untuk memperbaiki periskop kapal selam TNI Angkatan Laut KRI Nanggala pada 2003. Meski tak punya track record memperbaiki periskop, Kepala Bidang Instrumentasi di Pusat Penelitian Kalibrasi Instrumentasi dan Metrologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tersebut menyanggupi tawaran itu.

Bermodal pengalaman dan kompetensi para peneliti di bidang instrumentasi optik, Harimawan dan timnya memberanikan diri menangani masalah itu. Ketika itu, hanya satu syarat yang diajukan TNI Angkatan Laut: LIPI harus bisa memperbaikinya dalam waktu kurang dari satu tahun. Soalnya, TNI Angkatan Laut hanya memiliki dua kapal selam diesel elektrik modern, yaitu KRI Nanggala dan KRI Cakra, sehingga perbaikan harus dilakukan secepatnya.

"Untuk mengganti periskop, kapal selamnya harus dikirim ke negara lain yang ongkosnya tidak murah dan pada saat itu, pada 2003, kita masih kena embargo, sehingga tak mungkin diperbaiki," kata Harimawan. "Pada waktu itu kita ditanyai bisa memperbaiki nggak."

Ternyata tugas itu bisa diselesaikan Harimawan, yang menjadi pemimpin proyek perbaikan periskop kapal selam KRI Nanggala tersebut, dalam waktu delapan bulan.

Perbaikan yang harus dilakukan Harimawan dan timnya waktu itu cukup rumit. Periskop kapal selam KRI Nanggala rusak dan bengkok karena menabrak sesuatu sehingga tidak bisa dinaik-turunkan lagi. "Kesulitannya waktu itu mencari komponen tabung stainless steel untuk periskop," kata pakar optoelektronika dan aplikasi laser dari Universitas Indonesia itu

.
Harimawan harus mencari ke seluruh dunia untuk memperoleh tabung baja sepanjang 11 meter dan berdiameter 40 sentimeter itu. Namun, tak ada pabrik baja yang bisa menyediakannya. "Kami mencoba mencari ke black market di Cina," katanya. "Saya pesan satu dan, syukur alhamdulillah, waktu itu dilayani, padahal itu pabrik besar," kata Harimawan.

Sebetulnya tak cuma periskop kapal selam yang bisa dibuat Pusat Penelitian Kalibrasi Instrumentasi dan Metrologi LIPI di Bandung. Sejak 1980, para penelitinya telah mendukung kebutuhan teknologi pertahanan dan keamanan TNI. Misalnya, pada 1982, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Departemen Pertahanan dan Keamanan meminta LIPI mengembangkan alat optik, mulai prisma teleskop untuk tank, teropong senapan, sampai teropong bidik malam.

"Bahkan pada 1985 kami sudah berhasil membuat prototipe dan 120 teropong bidik malam untuk mendukung TNI mengatasi masalah di Timor Timur," kata pria kelahiran Yogyakarta, 13 Juni 1953, itu.
Keterlibatan LIPI dalam mendukung kebutuhan teknologi peralatan optik TNI itu dilatarbelakangi banyaknya tentara yang jadi korban dalam pemberontakan tersebut. Menurut Harimawan, yang sempat mengikuti pelatihan militer di Dili, pada waktu itu Fretilin menggunakan teropong canggih. "Teropong buatan kami mendapatkan apresiasi karena mendukung mental tentara. Mereka bisa melihat pada malam hari," dia menambahkan

.
Keistimewaan teropong bidik malam dan teropong medan malam buatan LIPI ini dilengkapi sinar inframerah, sehingga penggunanya bisa melihat di kegelapan seperti kelelawar. Pusat Penelitian Kalibrasi Instrumentasi dan Metrologi juga membuat alat penembak malam yang memungkinkan penggunanya menembak sasaran dengan tepat tanpa harus membidik lewat teropong. Si penembak cukup mencari target dengan kacamata malam (night vision goggles), mengarahkan senjata ke sasaran, dan peluru akan tepat mengenai titik terang yang dilihat kacamata malam itu.

LIPI, khususnya Pusat Penelitian Kalibrasi Instrumentasi dan Metrologi, sebenarnya mampu mendukung kebutuhan teknologi pertahanan keamanan, terutama alat strategis, di antaranya teleskop, teropong bidik, dan peluncur roket, seperti yang dipamerkan pada pameran pertahanan Indo Defence 2006 Expo and Forum di Kemayoran, 22-25 November 2006. Apalagi mereka punya kompetensi di bidang instrumentasi yang didukung sejumlah laboratorium mekanik, optik, elektronik, dan komputer. Sayangnya, sampai saat ini sebagian besar kebutuhan TNI, baik komponen maupun alat strategis, masih diimpor.

Harimawan berharap para peneliti dalam negeri diberi kesempatan untuk memanfaatkan kemampuan mereka semaksimal mungkin. "Kita sebetulnya harus mau dan mampu melakukan kemandirian teknologi. Kita sudah belajar banyak dari pendahulu kita. Dulu, pada saat tidak punya senjata, kita bikin senjata sendiri dari bambu runcing," katanya.
Menurut Harimawan, para peneliti dalam negeri sebetulnya juga membuat panser yang tak kalah mutunya dari buatan luar negeri. "Kenapa kita nggak bikin sendiri di Pindad? Kita juga sudah bisa, apalagi bila bersinergi dengan lembaga lain," tuturnya. "Kalau bisa bikin, kenapa harus beli?"

Himawan mengatakan banyak keuntungan yang bisa diperoleh jika alat pertahanan diproduksi di dalam negeri. Selain menghemat devisa, tumbuhnya industri alat utama sistem pertahanan akan mendorong tumbuhnya industri lain, seperti industri karet, pengecoran, atau elektronik.
"Kita juga tidak tergantung embargo luar negeri, dan punya tanggap kontrol yang lebih cepat daripada menunggu ahlinya datang dari luar negeri untuk mengutak-atik alat yang rusak," kata Himawan.

(TempoInteraktif)

1 komentar:

MasGuJeng mengatakan...

Sangat setuju sekali, bangsa ini mampu, kerjakan dan terus belajar......, sukses selalu

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...