Halaman

PT Dirgantara Indonesia, Peluang dan Tantangan (1)

Industri pesawat terbang merupakan salah satu industri yang dianggap penting dan strategis bagi bangsa Indonesia. Industri ini menjadi penting artinya bagi pembangunan ekonomi Indonesia mengingat negeri yang terbentang dari Sabang sampai Marauke ini memiliki wilayah yang luas dan secara alamiah terdiri dari beribu-ribu pulau dengan kondisi geografis beserta kesulitan yang berbeda-beda sehingga membutuhkan sarana transportasi yang memadai.


Pesawat terbang memiliki keunggulan dalam hal kecepatan dan daya capai bila dibandingkan dengan sarana transportasi darat dan laut, sehingga mampu menunjang mobilitas aktivitas para pelaku usaha dalam menjalankan bisnis dan warga negara yang membutuhkan alat tranportasi yang cepat.


Industri pesawat terbang juga sangat strategis bagi bangsa Indonesia karena sebagai industri yang berbasis teknologi tinggi atau high technology, industri ini bisa mengantar bangsa Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang sudah maju, bila kita mampu mengusainya. Ini dimungkinkan karena prinsip teknologi yang digunakan pesawat terbang merupakan salah satu tingkatan tertinggi capaian manusia dalam teknologi. Dengan kata lain, bila kita mampu memproduksi pesawat terbang, kita berpotensi untuk mampu memproduksi teknologi-teknologi yang lain.


Didasari pandangan tersebut, pemerintah Indonesia mengembangkan industri ini sebagai wahana proses alih teknologi. PT Dirgantara Indonesia (PT DI) adalah satu-satunya industri pesawat terbang di Indonesia yang mengemban semua misi yang telah disebutkan di atas. PT DI atau Indonesian Aerospace (IAe) adalah nama yang diresmikan oleh Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid di Bandung, pada tanggal 24 Agustus 2000 bagi sebuah industri pesawat terbang di Indonesia yang menggantikan nama PT IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) yang sudah dirintis sejak kurang lebih 25 tahun yang lalu.


Visi PT DI adalah sebagai berikut :
�Menjadi perusahaan berbasis teknologi dirgantara yang unggul terutama dalam rekayasa, rancang bangun, manufaktur, dan produksi pesawat terbang untuk angkutan penumpang dan kargo, baik untuk kepentingan komersial maupun militer yang mampu meraih keuntungan berdasarkan keunggulan kompetisi pada pasar domestik dan regional�


Sedangkan misi yang diemban adalah :
�Sebagai wahana transformasi industri untuk menjadi pusat keunggulan di bidang industri dirgantara yang berorientasi bisnis dan mampu mendukung kepentingan nasional, yang dapat memproduksi infrastruktur ekonomi berupa �jembatan udara� yang menghubungkan wilayah antar kota, antar provinsi, dan antar pulau�


PT DI menempati areal sekitar 125,4 Ha, terdiri dari 79,3 Ha berupa lahan dan 46,1 Ha untuk luas bangunannya. Kapasitas permesinan yang tersedia sebesar 1.214.985 Machineour, dengan fasilitas permesinan meliputi 88 mesin Computer Numerical Control (CNC), 47 mesin-mesin Touched Numerical Control (TNC), dan sekitar 445 mesin-mesin konvensional.


Sejak berdiri, keberadaan perusahaan ini mendapat tanggapan yang beragam dari masyarakat. Ada yang sepakat dan kemudian menyokong, dan ada juga yang skeptis serta cenderung menolak keberadaan industri ini. Bacharudin Jusuf Habibie dan para teknolog berpendapat bahwa kehadiran industri pesawat terbang yang modern akan memicu tumbuhnya industri-industri penunjang (supporting industries) dan industri-industri hulu.


Dalam menempuh strategi ini kemudian dikenal empat tahapan �penguasaan teknologi� yang secara populer digambarkan sebagai suatu proses perkembangan yang dimulai dari akhir dan berakhir dari awal. Strategi yang lebih terkenal sebagai strategi loncat katak atau leap frog yang diterapkan PT DI dapat dibagi dalam 4 (empat) tahap, yaitu; (1) tahap pengenalan dan penguasaan teknologi, (2) tahap pengintegrasian teknologi, (3) tahap pengembangan teknologi, dan (4) tahap kegiatan penelitian dan pengembangan.


Dilain pihak, para ekonom, yang diwakili Prof. Wijoyo Nitisastro beranggapan bahwa industri ini hanya akan banyak menghabiskan devisa negara saja. Keterkaitan antar industri depan dan belakang dengan industri lainnya tidak akan pernah optimal karena industri pesawat terbang selain perlu ditangani dengan manajemen yang profesional perlu pula didukung oleh industri pendukung yang memadai.


Hingga pertengahan tahun 90-an pandangan pertama memperoleh pengaruh yang lebih besar dalam pemerintahan Indonesia. Ini bisa dimaklumi karena sosok Habibie sebagai anak emas presiden Soeharto dan posisi sebagai Menristek/Kepala BPPT dan Industri Strategis lainnya pada Kabinet Pembangunan pimpinan Soeharto. Apalagi pada pertengahan 90-an, dirinya menjadi Wakil Presiden RI dan kemudian pada tahun 1998 menjadi Presiden RI ke-3 menyebabkan Habibie memiliki kekuasaan dan pengaruh yang sangat besar dalam mengatur perusahaan ini.


Dibawah Habibie, perusahaan ini menjelma menjadi institusi yang prestesius dan disegani karena mampu memproduksi barang yang membutuhkan kecerdasan dan keterampilan tinggi. Anak-anak Indonesia banyak yang mengidolakan Habibie dan tidak sedikit dari mereka itu kemudian bercita-cita menjadi ahli pesawat terbang seperti sang idola. Walaupun masyarakat tidak mengetahui banyak tentang kondisi yang sebenarnya dari perusahaan ini pada saat itu, tapi harus diakui bahwa citra yang mengemuka di tingkat publik menimbulkan kesan bahwa perusahaan ini adalah kebanggaan nasional.


Uraian ini menjelaskan proses pembelajaran yang terjadi pada PT DI. Proses tersebut dibagi dalam beberapa tahap yang menggambarkan peningkatan teknologi yang dialami dalam proses produksi, sesuai dengan empat tahapan penguasaan teknologi yang telah disebutkan. Selanjutnya juga dibahas tentang kondisi yang dihadapi perusahaan tersebut pada akhir 90-an hingga 2000-an. Namun, sebelumnya akan dijelaskan tentang sejarah PT DI.

Latar Belakang dan Sejarah

Sejarah pembuatan pesawat terbang di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua periode yakni masa prakemerdekaan dan pascakemerdekaan. Pada masa prakemerdekaan, pemerintah kolonial Belanda belum melakukan program perancangan pesawat udara, namun demikian pada saat itu telah dilakukan serangkaian aktivitas yang berkaitan dengan pembuatan lisensi, serta evaluasi teknis dan keselamatan pesawat yang dioperasikan di Indonesia. Untuk hal tersebut, didirikanlah beberapa lembaga seperti Bagian Uji Terbang di Surabaya pada tahun 1914, Bagian Pembuatan Pesawat Udara di Sukamiskin pada tahun 1930 yang memproduksi pesawat-pesawat buatan Canada AVRO-AL.


Pada masa pascakemerdekaan terutama pada masa perang kemerdekaan, kegiatan modifikasi pesawat yang ada untuk misi-misi tempur merupakan kegiatan utama dalam rangka memenangkan perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Atas pemikiran dan kerja keras tokoh-tokoh seperti Agustinus Adisucipto, Wiweko Soepono, Nurtanio, dan J. Sumarsono, bangsa Indonesia berhasil memproduksi modifikasi pesawat-pesawat ukuran kecil seperti �Si Kumbang� pada tahun 1954. Kemudian pada tahun 1958 diproduksi sebanyak 5 unit �Belalang 90� pesawat yang dipergunakan untuk mendidik calon penerbang di Akademi Angkatan Udara dan Pusat Penerbangan Angkatan Darat. Pada tahun yang sama juga berhasil diterbangkan sebuah pesawat olahraga �Kunang 25�.


Untuk mengantisipasi perkembangan yang lebih pesat, maka pemerintah pada 16 Desember 1961 meresmikan LAPIP (Lembaga Persiapan Industri Penerbangan) yang bertugas menyiapkan pembangunan industri penerbangan. Pada tahun yang sama LAPIP yang mewakili Indonesia dan CEKOP mewakili pemerintah Polandia menandatangani kontrak kerja sama pembangunan pabrik pesawat terbang di Indonesia, yang meliputi pembangunan pabrik, pelatihan karyawan serta produksi di bawah lisensi pesawat PZL-104 Wilga�yang kemudian lebih dikenal Gelatik. Pesawat yang diproduksi sebanyak 44 unit ini digunakan untuk dukungan pertanian, angkutan ringan dan aero club.


Dalam perjalanan sejarah, nama LAPIP berganti menjadi LIPNUR (Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio) untuk menghormati jasa Nurtanio Pringgoadisuryo yang gugur pada bulan Maret 1966 ketika menjalankan pengujian terbang. Dalam perkembangan berikutnya LIPNUR memproduksi pesawat terbang latih dasar LT-200, serta membangun bengkel purnajual, perawatan, perbaikan dan overhaul. Sementara itu, pembentukan institusi pendukung dan proyek yang berhubungan dengan pesawat terbang terus dilakukan pemerintah. DEPANRI (Dewan Penerbangan dan Antariksa Republik Indonesia) diresmikan pada tahun 1963 dan proyek KOPELAPIP (Komando Pelaksana Persiapan Industri Pesawat Terbang) dimulai pada Maret 1965.


Pada waktu yang hampir bersamaan yakni pada 1974 PERTAMINA membentuk Divisi ATTP (The Advance Technology and Aeronautical Technology) untuk membangun kepercayaan diri dalam bidang kemampuan teknologi di PERTAMINA pada khususnya dan untuk Indonesia pada umumnya. Setahun setelah berdiri, divisi ini berhasil menandatangani sebuah perjanjian kerjasama dengan dua industri pesawat terbang dari luar negeri yaitu MBB Jerman dan CASA Spanyol dalam memproduksi dua tipe pesawat di Indonesia yaitu, jenis Helikopter NBO-105 dan pesawat NC-212.


Proyek ini tidak berjalan mulus karena pada tahun 1974 PERTAMINA mengalami krisis. Kondisi itu memberi dampak negatif terhadap penanganan proyek produksi kedua jenis pesawat tersebut, sehingga pada akhirnya mengancam keberadaan program Divisi ATTP. Akan tetapi karena keberadaan Divisi ATTP beserta proyeknya merupakan bagian dari persiapan tinggal landas bagi bangsa Indonesia pada Pelita VI, maka presiden Soeharto menetapkan pembangunan industri pesawat terbang tetap dilanjutkan dengan segala konsekuensinya.


Pada tahun 1975, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 12 tanggal 15 April 1975, dimulailah babak baru industri pesawat terbang Indonesia. Melalui peraturan ini, dihimpun segala aset, fasilitas dan potensi negara yang ada seperti aset Pertamina, Divisi ATTP dan aset lembaga Industri Pesawat Nurtanio (LIPNUR), AURI di Bandung yang digunakan untuk mendukung kegiatan pengembangan industri pesawat. Hal tersebut kemudian menandai penggabungan LIPNUR dan ATTP menjadi PT IPTN.


PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio didirikan oleh DR. BJ. Habibie -yang juga adalah sebagai Direktur Utama- pada tanggal 28 April 1976 dengan Akta Notaris No. 15 di Jakarta. IPTN diresmikan oleh Soeharto pada 23 Agustus 1976. Bisa dikatakan bahwa sejak tahun 1976 telah tumbuh industri pesawat terbang modern dan lengkap di Indonesia. Dalam perjalanan sejarah, pada 11 Oktober 1985, PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio berubah menjadi PT Industri Pesawat Terbang Nusantara atau IPTN.


Sejak tahun 1975-1998 perusahaan ini memproduksi berbagai macam produk baik produk pesawat maupun produk yang bersifat jasa. Dan sejak tahun 1976 hingga saat ini PT DI telah berhasil menyerahkan berbagai produk maupun jasa kepada para konsumen baik dalam maupun luar negeri.


Kemampuan memproduksi berbagai jenis produk seperti yang telah disebutkan diatas bukanlah perkara gampang dan segera dapat dilakukan. Semuanya membutuhkan proses dan memakan waktu yang panjang. Hal tersebut disadari betul oleh para pendiri perusahaan ini. Oleh karenanya dilakukan strategi loncat katak yang memuat beberapa tahapan dalam penguasaan teknologi kedirgantaraan Indonesia. Tahapan-tahapan tersebut akan dijelaskan dibawah ini.




@DR. Zulkieflimansyah, Ph.D

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...