Halaman

Serat Nano untuk Energi Surya

Entah seberapa sering kita mengeluhkan teriknya panas matahari kala siang. Namun, bagi Hendri Widiyan-dari, semakin panas, ia malah tambah semangat meneliti alat penangkap energi sang surya.

Pasalnya, Indonesia yang tropis dan diterangi banyak sinar matahari memang tertinggal dalam pemanfaatan energi solar sebagai konversi energi pembangkit listrik.

"Alasannya sederhana dan klise, saat ini harga sel surya ini masih relatif mahal jika dibandingkan dengan listrik dari PLTA atau PLTN. Namun, teknologi ini lebih ramah lingkungan, tanpa emisi CO (karbon monoksida) dan tidak akan habis sepanjang matahari masih bersinar," ucap perempuan yang akrab dipanggil Hendri itu kepada Media Indonesia, Rabu (11/ 8/2010).

Keprihatinan peneliti yang juga pengajar Universitas Diponegoro tersebut semakin menjadi saat berkesempatan mengunjungi Jepang pada 2004. Bukan hanya industri besar, permukiman penduduk pun mulai memberdayakan energi solar dalam kehidupan sehari-hari baik untuk pemanasan maupun penerangan.

"Pernah saya menonton acara TV di Jepang yang menayangkan sebuah mobil mirip van yang menggunakan sel surya untuk menggerakkan mesin, dan mobil tersebut mampu berjalan sepanjang siang hingga sore di sepanjang pesisir Jepang," tuturnya iri.

Hendri pun mulai mengutak-atik teknologi sel surya berjenis pewarna sensitif atau yang biasa disebut DSSC (dye sensitized solar cells).

Dari sederet komponen DSSC, ujar Hendri, ia tertarik dengan TCO (transparent conductive oxide) glass, yang merupakan material utama sekaligus material termahal dalam pembuatan DSSC.

Memang, salah satu faktor yang membuat pembuatan sel surya berjenis DSSC mahal ialah material gelas penghan-tar listrik (gelas konduktor). Harganya mahal, serta tidak optimal menghantarkan listrik. Kuncinya ada pada struktur dari permukaan gelas konduktor tersebut.

"Selama ini permukaan area atau interfacial area yang ada masih berbentuk planar atau butiran-butiran. Nah saya memodifikasi struktur tersebut menjadi serat nano, seperti serat laba-laba, sehingga area permukaannya lebih luas," papar Hendri Widiyandari.

Dengan begitu, kemampuan gelas tersebut untuk menghantarkan listrik akan lebih optimal. "Nah, agar gelas ini lebih baik lagi berfungsi sebagai konduktor, ia harus transparan atau istilahnya transparent conductive oxide (TCO glass)," imbuhnya.

Di awal penelitiannya, Hendri mengaku sempat kebingungan dengan material pembuat TCO glass, yakni ITO (indium tin oxide). Harga bahan baku sangat mahal dan tersedia dalam jumlah terbatas. "Saya pun menggantinya dengan mate-rial flourine tin oxide (FTO). Di beberapa negara maju, FTO ini bahkan sudah dijual secara komersial dalam bentuk negatif film," ucap Hendri.

Selain itu, FTO memiliki beberapa kelebihan dari ITO. FTO ternyata lebih tahan banting, tidak gampang rusak, serta lebih tahan panas. "Meskipun sebagai konduktor ITO tetap lebih baik tapi dengan dana yang terbatas, hasil gelas transparan yang tercipta cukup optimal," tandas Hendri.

Metode electrospinning

Untuk menciptakan TCO glass yang memiliki permukaan area berstruktur serat nano, Hendri menggunakan metode electrospinning. Terbukti, metode itu menghasilkan serat yang kuat dan mampu menempel pada TCO glass dengan sempurna. "Metode ini memanfaatkan tekanan elektrostatis dari beda tegangan dan aliran cairan dalam pipa kapiler," jelasnya.

Selain sederhana, imbuh Hendri, metode pembuatan film serat nano FTO ini terbukti lebih murah dengan kualitas tinggi karena lebih transparan. Tingkat kerentanan terhadap listrik juga rendah.

"Electrospinning ini terbukti dapat menghasilkan serat dengan bentuk dan ukuran yang bisa dikontrol. Selain itu, seratnya juga terbentuk dengan beragam komposisi dan dengan ukuran diameter yang seragam dari nanometer hingga mikrometer. Dimensi panjangnya pun juga sangat panjang. Jadi, benar-benar mirip benanglaba-laba," ucapnya.

Hendri menambahkan saat ini ia sedang melakukan riset lebih lanjut mengenai angka efisiensi listrik yang dihasilkan dengan menggunakan gelas transparan dengan permukaan serat nano.

"Dari berbagai jenis sel surya, penelitian sel surya dari pewarna sensitif ini (DSSC) ini memang tergolong baru di Indonesia. Jadi, kalau kita bisa membuatnya dengan biaya yang lebih murah, akan menjadi solusi yang efisien untuk krisis energi," pungkasnya.

Aplikasi beragam

Hendri mengaku masih butuh penelitian lanjutan untuk menghasilkan DSSC yang benar-benar efektif dalam menghasilkan listrik. Teknologi DSSC terakhir di Jerman saja, imbuhnya, baru dapat menghasilkan listrik 11%. Namun, setidaknyasaat ini TCO glass berbahan serat negatif film berukuran nanonya bisa diaplikasikan tak hanya untuk teknologi sel surya semata. "Pemanfaatan gelas TCO ini tidak terbatas pada sel surya saja, namun bisa digunakan juga untuk pembuatan elektroda pada PEC (photoelectrochemical) untuk menghasilkan hidrogen, yang juga merupakan salah satu energi alternatif," ucapnya.

Bahkan, ia bermimpi pengembangan risetnya mengenai serat nano ini suatu saat akan menghasilkan berbagai aplikasi di berbagai bidang.

Teknologi serat nano bisa diaplikasikan untuk banyak hal, baik dalam bidang energi, filter, kedokteran, dan lingkungan. Misalkan saja untuk membuat filter AC atau untuk membuat jaringan dalam tubuh di bidang kedokteran," jelasnya.

Saat ini ia dan timnya me-mang sedang memfokuskan diri mengembangkan teknis pembuatan serat nano dengan metode electrospinning. "Prinsip kerja dari metode ini untuk memproduksi nanofiber adalah dengan memanfaatkan electrostatic force," sahutnya.

Modal nekat

Meneliti tema yang masih terbilang baru di Indonesia ini bukanlah perkara mudah. Namun, Hendri yang sejak kecil dikenal sebagai bondo (modal) nekat ini tak peduli. Tertem-pa dengan kegigihan ayahnya yang seorang wirausaha, Hendri pun berjuang ke sana kemari untuk menciptakan TCO glass berbahan nanofiber hingga ke Jepang.

"Saya sejak kecil ditempa oleh perjuangan ayah dan ibu dalam membesarkan saya dan tiga orang adik. Meski tampak sulit, ya saya coba saja. Apalagi sel surya jenis DSSC ini terbilang baru. Yang kata orang Jawa ya bondo nekat saja," ucapnya polos.

Padahal Hendri menyadari benar tantangan yang akan dihadapinya dalam meneliti benda yang masih terasa asing ini cukup berat. Mulai dari bahan pembuatan penelitian yang sulit didapat hingga berbagai fasilitas alat uji yang jauh dari memadai.

"Singkatnya, kalau di Jepang, pembuatan TCO glass membutuhkan satu bulan. Di Indonesia bisa satu tahun. Setiap uji satu komponen, saya bisa mengganti tempat penelitian," ucapnya.

Apalagi, tak seperti di Jepang, universitas di Indonesia ternyata tidak memiliki koordinasi yang kuat, bahkan antar fakultasnya. "Mengurus izin dan birokrasinya saja butuh waktu dan energi tersendiri," tandasnya.

Belum lagi profesinya sebagai dosen tidak jarang justru menghambat penelitiannya. "Lebih enak kalau benar-benar fokus ke penelitian. Banyak tugas-tugas harian dosen yang cukup menyita waktu. Tapi keuntungannya, saya bisa sembari promosikan riset bidang energi solar ini ke mahasiswa. Terutama mahasiswa pascasarjana, biar tambah banyak yang tertarik," sahutnya.

Hendri merasa krisis energi adalah permasalahan global dan Indonesia memiliki sumber energi solar besar. "Matahari itu ibaratnya bersinar pagi sampai sore, sepanjang tahun, sinarnya seakan tak pernah berhenti. Alangkah baik jika bisa memanfaatkan matahari," tutup ibu satu putra itu.

(Vini Mariyane Rosya, Sumber MediaIndonesia)

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...