Di antara 4 orang penerima Habibie Award 2010, salah satunya adalah Dr-Eng Eniya Listiani Dewi, peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Ia merupakan penerima Habibie Award termuda.
Karya perempuan kelahiran 14 Juni 1974 tersebut berkisar pada lingkup elektrokimia, suatu cabang ilmu kimia yang berkaitan dengan potensi listrik dan energi. Penelitiannya adalah tentang sel bahan bakar berbasis hidrogen yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi baru yang ramah lingkungan.
Salah satu karya yang mengawali kiprahnya di bidang sel bahan bakar adalah penemuan katalis baru untuk sel bahan bakar. Penemuan tersebut menurutnya adalah sebuah inovasi yang ditemukan secara kebetulan.
"Saya kan kalau sedang eksperimen suka saya tinggal waktu makan siang. Saya pikir kan tidak masalah. Nah, waktu itu ketika saya melihat hasil eksperimen setelah saya tinggal, kok jadinya berbeda, ternyata perbedaan malah jadi inovasi," terang Eniya. Polimer yang terbentuk menjadi terdiri dari 10 penyusun, padahal harusnya ada 2 penyusun.
Dari hasil karya yang kebetulan tersebut, perempuan yang menyelesaikan gelar doktor dari Fakultas Aplikasi Kimiawi, Polimer, Katalis dan Sel Bahan Bakar Waseda University ini meraih beragam penghargaan, termasuk Mizuno Awards dan Koukenkai Awards dari Waseda University dan Polymer Society Japan pada tahun 2003.
Karya terbarunya adalah ThamriON, sebuah membran sel bahan bakar temuannya yang baru saja mendapatkan penghargaan Inovasi Paten dari Ditjen HKI 2010. "Prinsipnya, ThamriON tersebut adalah membran sel bahan bakar yang terbuat dari plastik yang direaksikan dengan asam sulfat. Karena telah direaksikan, maka plastik bisa menghantarkan listrik," ungkapnya.
Nama ThamriON sendiri punya sejarah tersendiri. "Saya kan bekerja di Jalan MH Thamrin Jakarta jadi nama itu saya ambil untuk nama karya saya. Kalau ON sendiri berasal dari kata ion, karena plastiknya bisa jadi menghasilkan ion," terangnya sambil tertawa mengenang penamaan hasil karyanya.
Teknologi sel bahan bakar dan bahan pendukung lain hasil risetnya di kembangkan 80 persen dari material lokal, sehingga biayanya lebih murah. Dengan proses manufaktur secara mandiri, sel bahan bakar yang tersebut telah diterapkan untuk menyalakan perangkat elektronik dan sepeda motor dengan kapasitas 500 Watt.
Untuk mengembangkan proses produksi dan penyimpanan bahan bakar, Eniya bekerja sama dengan berbagai pihak. "Ada Teknik Kimia UGM, Pusat Teknologi Bioindustri, industri polimer dan baterai," ungkap perempuan yang kini menjadi Kepala Perekayasaan Sel Bahan Bakar di BPPT.
Eniya adalah putri pertama dari pasangan Hariyono (alm) dan Sri Ningsih, berasal dari kota Magelang, Jawa Tengah. Ketertarikannya dengan dunia teknologi dan lingkungan sudah ada sejak ia masih duduk di bangku SMA Negeri 1 Magelang.
"Sejak saya SMA, saya sudah tertarik pada hal-hal yang berbau sains dan ramah lingkungan. Waktu itu, kalau mengarang, saya selalu menulis tema-tema teknologi dan isu ramah lingkungan," ujarnya yang sebenarnya lebih menyukai ilmu fisika daripada kimia.
Setelah lulus SMA, ia beruntung dapat memperoleh beasiswa lewat program Science and Technology Advance Industrial Development (STAID) Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Ia kemudian melanjutkan pendidikan S-1 ke Waseda University.
Pendidikan strata dua dan tiga ia lanjutkan dengan beasiswa dari lembaga lain. Total masa pendidikan yang ia butuhkan untuk mencapai gelar doktor adalah 10 tahun, berawal dari tahun 1993 hingga tahun 2003.
Salah satu ambisi terbesarnya adalah mewujudkan penggunaan bahan bakar ramah lingkungan dari bahan hidrogen. "Bahan hidrogen ini sangat berpotensi, bisa diproduksi dari berbagai macam sumber, termasuk biomassa," terangnya. Ambisi tersebut diperoleh setelah melihat pengembangan kota Fukuoka, Jepang yang mengaplikasikan hidrogen sebagai sumber energi.
Hidrogen bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan listrik, bahan bakar kendaraan dan lainnya. "Dengan bahan bakar hidrogen, motor tidak mengeluarkan asap, tapi air murni," jelas Eniya.
Ide Eniya dalam pemakaian hidrogen sebagai sumber bahan bakar juga dipresentasikan dalam 7th Biomass Asia Workshop yang berlangsung di gedung BPPT, Senin (29/11/2010).
Membuka Jalan ke Kota Hidrogen
Selama belajar 10 tahun hingga memperoleh gelar doktor di Jepang, 1993-2003, inspirasi puncak Eniya Listiani Dewi meretas jalan menuju ”kota hidrogen” di Indonesia, seperti tahun 2003 saat Jepang mulai mewujudkannya di kota industri otomotif, Fukuoka.
Eniya berhasil membuka jalan ke kota hidrogen setelah memproduksi ”jantung” sel bahan bakar hidrogen dengan komponen lokal 80 persen sehingga harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan pasaran di Asia kini. Masyarakat Ilmu Polimer Jepang memberinya penghargaan atas temuan tersebut dalam simposium internasional di Kobe, 29 Mei 2009 lalu. Sebanyak 4.000 ahli polimer dari berbagai penjuru dunia diundang menghadiri kegiatan itu.
Namun, pemberangkatan Eniya dan semua peserta yang lain kemudian dicegah karena saat itu Kobe terserang pandemi flu A-H1N1. Simposium dibatalkan. Simbol anugerah dikirimkan ke Indonesia dan diterima Eniya akhir Juni 2009.
”Justru masyarakat Jepang lebih dulu menghargai temuan hasil riset tim kami,” ujar Eniya, Kepala Perekayasaan Fuel Cell atau Sel Bahan Bakar pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Eniya, putri pertama dari dua bersaudara pasangan Hariyono (almarhum) dan Sri Ningsih, asal Magelang, Jawa Tengah, ini meraih banyak penghargaan di bidangnya.
Memulai dari Akhir
Memahami kota hidrogen mencakup pemenuhan kebutuhan energi masyarakat kota secara ramah lingkungan. Tujuannya, melanggengkan kehidupan kota tanpa risiko pencemaran karena sel bahan bakar hidrogen menghasilkan energi tanpa mengemisi karbon dan limbahnya hanya air dan panas.
Aplikasi sel bahan bakar untuk kota hidrogen bertujuan memenuhi kebutuhan rumah tangga, mulai dari penerangan, memasak, sampai kendaraan. Jadi, knalpot kendaraan tak mengepulkan asap, tetapi mengucurkan air murni.
Menurut Eniya, Jepang membuat simulasi kota hidrogen dengan membagikan generator sel bahan bakar berkapasitas 1.000 watt-2.000 watt kepada 2.000 keluarga di Fukuoka untuk penggunaan cuma-cuma selama lima tahun. Disediakan pula angkutan umum bus dengan bahan bakar hidrogen yang ramah lingkungan.
Keinginannya mewujudkan kota hidrogen di Indonesia memang terkesan tak mungkin. Di balik itu Eniya mengungkap spirit dari teknokrat BJ Habibie dalam teknik berinovasi, yaitu start from the end atau memulai dari yang terakhir.
Kenangan akan Habibie terus mengendap karena Eniya berhasil mewujudkan keinginannya sejak kecil untuk studi di luar negeri berkat kebijakan Habibie era 1990-an. Saat itu, Kementerian Negara Riset dan Teknologi di bawah Habibie memberi beasiswa bagi lulusan SMA berprestasi untuk melanjutkan studi ke berbagai negara industri. Ia terpilih menjadi salah satu penerima beasiswa dalam program Science and Technology Advance Industrial Development (STAID) Kementerian Negara Riset dan Teknologi.
Eniya menyelesaikan S-1 di Universitas Waseda, Tokyo, hingga memperoleh gelar doktor (S-3) pada Fakultas Aplikasi Kimiawi, Polimer, Katalis, dan Sel Bahan Bakar. Teknologi sel bahan bakar termasuk the end atau bagian akhir pengembangan teknologi mutakhir menyongsong peradaban ramah lingkungan dalam pemenuhan energi dengan sumber energi tak terbatas, seperti air sebagai sumber hidrogen.
Menurut Eniya, metode produksi hidrogen, selain proses elektrolisis dari air, dapat pula ditempuh seperti di Fukuoka, yakni mengubah metana dari berbagai bahan bakar gas, termasuk biogas menjadi hidrogen.
Memupuk Harapan
Seperti para periset dan perekayasa lain, Eniya berharap ada investor yang mampu mengaplikasikan temuannya untuk pengembangan sel bahan bakar secara kompetitif. Ia membuka secara transparan, bagaimana mengganti komponen ”jantung” sel bahan bakar impor dari AS atau Jepang dengan komponen-komponen lokal.
Manufaktur generator sel bahan bakar dengan komponen lokal sudah diuji menurunkan 80 persen harga dari pasaran Asia. Substitusinya antara lain pada material katalis elektrode sel bahan bakar impor dengan logam platina, yang berharga jauh lebih mahal, diganti komponen lokal vanadium yang fungsi dan keandalannya tak jauh beda.
Penggunaan nafion pada polimer elektrolit sel bahan bakar impor seharga 1.000 dollar AS (sekitar Rp 10 juta) per meter persegi disubstitusi proses sintesis hidrokarbon polimer nanosilika berharga Rp 1,5 juta per meter persegi, atau berkurang 85 persen. Substitusi material impor juga untuk komponen lain sel bahan bakar yang dirangkai berurutan membentuk lapisan stack fuel cell atau generator sel bahan bakar.
Komponen itu meliputi end-plate, current collector, graphite bipolar-plate, dan membrane electrode assembly (MEA) sebagai ”jantung” sel bahan bakar. Rangkaian stack fuel cell impor (tanpa MEA) senilai Rp 23,95 juta bisa diturunkan menjadi Rp 5 juta.
”Untuk mengaplikasikan temuan ini, saya berpijak pada upaya memproduksi listrik permukiman dengan sumber hidrogen yang menyesuaikan sumber daya setempat. Aplikasi untuk sistem transportasi bisa menyesuaikan kemudian,” ujar Eniya.
Yunanto Wiji Utomo, Nawa Tunggal (Kompas)
0 komentar:
Posting Komentar