Avionik Pesawat bukan lagi hanya buatan pabrikan Eropa dan Amerika yang bisa bikin Avionik kelas wahid. Di Surabaya, kota yang terkenal sebagai kota buaya, anda akan bangga melihat sekelompok teknisi putra bangsa yang bisa membuat sendiri avionic pesawat tempur. Beberapa malah telah dimodifikasi hingga berkemampuan lebih tinggi.
Rumah Produksi yang didirikan sekelompok insinyur Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya ini, sebenarnya sudah berdiri sejak 1992, namun baru berjalan beberapa tahun belakangan namanya terpublikasikan. Nama Adi Sasongko, Kepala Divisi Defence PT Infoglobal, terpilih menjadi satu dari enam peraih penghargaan Indigo Fellow 2010.
Indigo Fellow adalah penghargaan tahunan dari Telkom Group dan majalah Warta Ekonomi yang diadakan untuk mengangkat teladan di bidang pengembangan industri kreatif digital nasional.
Profil Adi dari kreasi yang dipamerkan sebenarnya tidak begitu eye catching. "Tapi setelah barang yang saya bawa dan di terangkan secara terbalik, barulah tim juri tersadar. Sebab, dibalik barang ini tertera jelas bahwa Indonesia sudah bisa membuat piranti elektronik untuk pesawat terbang." kenang Adi Sasongko sambil menunjuk Inertial Navigation Unit (INU-Avionik pemandu navigasi) dan penjaga orientasi pesawat tempur, barang yang mengantarnya sebagai peraih penghargaan yang cukup bergensi itu.
Beberapa Juri kaget dan kagum waktu dirinya menjelaskan bahwa INU adalah salah satu piranti elektronik vital pengendali misi penerbangan pesawat tempur. Lalu dijelaskan bahwa peranti tersebut merupakan computer mini dan giroskop - komponen langka nan mahal yang biasa digunakan untuk menjaga keseimbangan rudal.
Menurut Adi, meniru avionik buatan negara maju bukanlah pekerjaan sederhana karena harus ditopang misi yang jelas, biaya yang tidak sedikit, peralatan canggih, serta berhadapan dengan resiko gagal. Hal terakhir tak bisa ditolak mengingat hampir semua peralatan dengan spesifikasi militer telah "dikunci" oleh pembuatnya, alias sedemikian rupa hingga mustahil bisa ditiru. Pada kenyataannya, semua ini bisa dilalui.
Sejauh apakah kehebatan industri kreatif yang dikembangkan Adi dan teman-temannya itu? Apakah kreasi mereka hanya sebatas INU?
Ketika Angkasa bertandang kerumah produksi Infoglobal yang tergolong sederhana, yang hanya dihuni puluhan insiyur, teknisi dan staf administarsi, Divisi Defence Infoglobal ternyata telah membuat pula Multi Purpose Display, Digital Video Recorder, Head Up Monitor, Radar Display Unit, dan Multi Function Display.
"Kalau dipadukan, semua ini sebenarnya sudah merupakan kesatuan avionik yang utuh, seperti yang biasa terlihat di dashboard pesawat tempur sendiri. Jadi Kalau ditanya, apakah Indonesia bisa membuat pesawat tempur sendiri? Jawabanya adalah bisa! Untuk airframe serahkan saja pada Dirgantara Indonesia, sedang untuk avionik biar kami yang buat," sahut Adi penuh percaya diri.
Yang lebih mencengangkan, tak jarang dalam avionik rancangan Surabaya ini dicangkokan sub-sistem modifikasi yang amat diperlukan penerbang. Dalam DVR, avionik perekam maneuver penerbangan yang tergolong vital untuk pesawat tempur F-6, Hawk 100/200 dan F5E Tiger II, misalnya, telah dipasang hard disk yang bisa merekam data gerakan pesawat jauh lebih banyak.
"Kalau DVR orisinil buatan BAE (British Aerospace) hanya bisa merekam 45 menit, kami telah membuatnya sampai 11 jam, " ujar Adi. Dengan kapasitas rekam yang lebih besar, penerbang maupun instruktur selanjutnya bisa leluasa mengevaluasi proses latihannya di udara.
Alih-alih menyesuaikan dengan kebutuhan masa kini, mereka juga telah "menanam" modul pengisian data berikut konektor USB rancangan sendiri pada CDU. Berkat modul ini, penerbang tak perlu lagi terburu-buru memasukan data penerbangan di kokpit pesawat. Mereka bisa mempersiapkannya selagi di markas. Data tersebut tinggal di transfer lewat flashdisk. Cara ini jauh lebih hemat dan praktis ketimbang cara lama yang harus langsung diisi di kokpit dalam keadaan mesin pesawat hidup.
"Belakangan kami juga telah merapungkan Multi Fuction Display yang bisa menyederhanakan sederetan avionic analog C-30 Hercules hanya pada satu layar CRT saja, " tambahnya.
Kebijakan Teknis
Begitupun, semua kehebatan ini tidak datang dengan sendirinya. Adi dan teman-temannya harus menempuh jalan berliku dan kerja tak kenal menyerah. Teknisi dibagian workshop, misalnya, telah memecahkan sepuluh keeping LCD yang cukup mahal demi mengetahui teknik memotong LCD yang benar. Untuk menguasai cara kerja giroskop, mereka juga harus "mengorbankan" sebuah giroskop hanya untuk dibedah.
Jalan pintas yang terbilang "riset" ini diyakini harus dilalui karena dengan cara seperti itu mereka bisa memahami piranti yang akan "ditiru" atau :diciptakan". Dengan cara seperti ini mereka juga yakin menguasai cara membuat piranti canggih yang tak pernah diajarkan di bangku sekolah, yang uniknya hanya karena didapat setelah melalui kegagalan demi kegagalan di bengkel.
"Bagaimanapun, semua harus kami cari sendiri, karena tak satupun Negara mau bermurah hati memberinya secara gratis. Dalam industri piranti canggih, pilihannya hanya dua: mencuri atau membuat sendiri. masaklah kita harus mencuri?" ujar Adi.
Ketika perusahaan ini didirikan pada tahun 1992, para pendirinya tak membayangkn akan menggeluti industy avionic. Awalnya perusahaan yang lebih ingin disebut kelompk peneliti ini lebh tertarik merancang perangkat lunak dan system informasi untuk mengatasi problem dibidang manajemen. Seperti merancang Route Management System, Flight management System dan Crew Management System untuk perusahaan penerbangan.
Mereka juga merancang Automated Mapping/ Facility Management (AM/FM) untuk jaringan listrik, pesanan PT PLN. Lalu, sistem pemantau situasi udara pesanan Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) yang selanjutnya membuka cakrawala atau ide pembuatan piranti elektronik yang diperlukan angkatan udara. Dengan sistem pemantau situasi udara ini, Kohanudnas bisa memantau seluruh pergerakan pesawat udara secara real-time, baik sipil maupun militer, yang ada di wilayah udara Indonesia.
Dalam perjalanannya, karena mereka juga merancang komponen elektronik pendukung modul aplikasi grafik, akhirnya terpikir pula untuk membuat perangkat yang lebih canggih. Sejak itulah mereka kemudian tertantang membuat avionik.
Namun demikian, apalah artinya kepiawaian yang mereka kuasai jika tidak ditopang pasar yang tidak pasti? Masalah inilah yang mengganjal antusiasme mereka untuk berkembang sembari dan memajukan Indonesia. Di mata Adi Sasongko, Pemerintah Indonesia belum memberikan kebijakan teknis agar industri semacam ini bisa terus maju dan berkembang.
"Kalaupun Presiden sudah menyatakan bahwa Indonesia harus mengutamakan produk dalam negeri, sayangnya pernyataan itu hanya berhenti dalam tataran political will. Sejauh ini tidak ada juklak tentang apa yang yang harus kami lakukan dan tentang bagaimana barang-barang ini bisa diserap untuk kebutuhan dalam negeri," ujarnya.
Alhasil, sejauh ini industri dalam negeri seperti Infoglobal masih gamang ditengah aliran piranti serupa dari luar negeri. Di sejumlah negara, hal seperti ini tidak terjadi karena pemerintah memberi semacam proteksi dan stimuli berupa loan atau proyek sebagai bekal untuk pengembangan diri.
Di Korea, misalnya, sejumlah elektronik dan otomotif (seperti Samsung dan Daewoo) kerap diberi obligasi untuk membuat sistem persenjataan yang akan dibeli untuk memenuhi kebutuhan angkatan bersenjatanya. Memang dengan harga murah, namun setelah produksi mencapai titik impas, mereka bisa mengekspornya dengan harga internasional.
Semoga Pemerintah bisa menerapkan kebijakan semacam itu, agar industri-industri menggiurkan yang dikelola Adi Sasongko tidak diserap kekuatan asing, yang tahu bagaimana mengekploitasi kemampuan langka ini. Karena menurut info terakhir Malaysia berminat untuk menggunakan piranti ini untuk pesawat Hawk nya. Semoga dengan adanya UU Inhan, perusahaan kreatif seperti ini dapat maju dan mengharumkan Indonesia kedepan.
Sumber Majalah Angkasa Juli 2011
0 komentar:
Posting Komentar