Halaman

Penemu Kedelai Tangguh Tahan Kekeringan

Ir Suhartina MP

HARI beranjak siang. Terlihat seorang pemulia sedang beraktivitas di laboratorium Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi), Malang, Jawa Timur.
Dengan sabar ia menyeleksi dan memilah setiap biji kedelai berwarna kuning dalam baskom dan sejumlah wadah plastik berdasarkan ukuran. Hasil seleksi selanjutnya dimasukkan ke bungkus plastik.

Siang itu, sang pemulia, Suhartina, sedang melakukan seleksi galur harapan kedelai DV/2984 -330. “Biji kedelai ini calon varietas unggul toleran cekaman kekeringan selama fase reproduktif,” tegasnya.

Kedelai hasil penelitian selama 6 tahun itu merupakan inovasi terbaru di Indonesia yang memiliki arti penting sebagai solusi mengatasi ketergantungan akan impor komoditas pangan. Selain itu, membuka peluang bagi petani dalam mengembangkan budi daya kedelai di musim kemarau, bahkan pada kondisi sangat kering sekalipun.

Ia menjelaskan agroekosistem utama kedelai di Indonesia ialah lahan sawah. Kedelai ditanam setelah padi pada musim kemarau 1 dan 2 dengan pola padi-padi-kedelai atau padi-kedelai-kedelai.

Pada kondisi demikian, budi daya kedelai sering kali menghadapi risiko kekeringan. Akibatnya, ada kekhawatiran terjadi gagal panen.

Belum lagi akhir-akhir ini terjadi perubahan iklim global yang menyebabkan peningkatan intensitas iklim ekstrem, terutama kekeringan dan kelebihan air atau banjir.

Oleh karena itu, kata Suhartina, perlu inovasi varietas unggul yang lebih adaptif, baik itu varietas berumur genjah (siap panen) atau yang toleran terhadap kekeringan.

Tersedianya varietas seperti itu, menurut Suhartina, sangat penting untuk mendorong kedaulatan pangan karena Indonesia menghadapi masalah serius, misalnya terbelenggu impor kedelai sejak 1976.

Bukti lain, akhir-akhir ini terjadi krisis kedelai nasional akibat suplai dari Amerika Serikat (eksportir) sempat terhenti. Sebelumnya hal serupa juga pernah terjadi.

"Dibutuhkan komitmen dari pemerintah dengan memperluas areal tanam serta menetapkan harga kedelai yang aman bagi petani dan industri. Teknologi budi daya sudah tersedia. Bahkan mengembangkan kedelai dengan memanfaatkan tanaman sela di hutan produksi pun sudah bisa dilakukan," tuturnya.

Perlu terobosan

Sarjana lulusan Jurusan Budi Daya Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, itu mengaku sektor pertanian di Indonesia, khususnya pangan, memerlukan terobosan besar agar swasembada.

Dari situ, Suhartina mengembangkan ide budi daya kedelai pertama di Indonesia yang tahan kekeringan. Hal itu menjadi tantangan tersendiri. Dia menjelaskan, terdapat 73 varietas unggul kedelai di Indonesia. Yang berindikasi toleran kekeringan ialah varietas wilis yang dilepas pada 1983 dan tidar (1987).

Karakteristik wilis ialah berukuran biji sedang, yakni 10 gram per 100 biji, warna biji kuning, umur masak genjah 85-90 hari, dan rata-rata hasilnya 1,6 ton per hektare (ha).

Adapun tidar berukuran biji kecil, yakni 7 gram per 100 biji, biji kuning kehijauan, umur masak genjah sekitar 75 hari, dan rata-rata hasilnya 1,4 ton per ha. “Varietas wilis dan tidar digunakan sebagai pembanding dalam kegiatan perakitan,” ujarnya.

Silsilah galur

Langkah awal Suhartina untuk menghasilkan kedelai yang tahan kekeringan ialah melakukan proses persilangan berbekal koleksi plasma nutfah kedelai di Balitkabi. Ia memperoleh sejumlah genotipe yang teridentifikasi toleran kekeringan, yakni MLG 2805, MLG 2984, MLG 3474, MLG 3072, dan MLG 2999.

Genotipe tersebut digunakan untuk memperbaiki ukuran, warna biji, dan potensi hasil. Untuk penelitian tersebut, Suhartina menggunakan galur harapan DV/2984 yang berasal dari persilangan tunggal antara varietas unggul davros dan genotipe toleran kekeringan MLG 2984.

Seleksi awal, kata dia, menggunakan metode silsilah (pedigree), menyilangkan varietas unggul davros dengan MLG 2984 untuk mendapatkan biji F1 sampai dengan F3. Proses itu dilakukan pada 2000-2006.

Selanjutnya, seleksi galur diteruskan pada generasi F4-F5 sampai dengan uji daya hasil lanjutan di kebun percobaan Muneng, Probolinggo, Kendalpayak, dan Jambegede, Malang, Jawa Timur.

Pada tahap tersebut terpilih 60 galur homozigot berdasarkan keragaman tanaman, jumlah polong per tanaman, dan skor tingkat kelayuan tanaman.

Galur-galur itu ditanam pada lingkungan yang tercekam kekeringan selama fase reproduktif. Pengairan pun dilakukan pada saat tanam sampai 50% berbunga dengan interval 10-15 hari sekali.

Memasuki seleksi F5, galur DV/2984-330 yang ditanam menunjukkan semua daun masih hijau dan segar pada umur tanaman 50-65 hari. Bahkan, pada umur 70 hari juga tidak dijumpai daun yang kecokelatan.

Hal itu menunjukkan bahwa galur itu toleran kekeringan sehingga diputuskan layak untuk diteruskan sebagai galur terpilih pada uji daya hasil pendahuluan dan lanjutan selama 2007-2008.

Kemudian, dilakukan seleksi lagi untuk mengambil sebanyak 30 galur. Berdasarkan indeks toleransi cekaman, terpilih 12 galur harapan sebagai bahan uji adaptasi pada MK 2009-2010. Varietas tidar dan wilis digunakan sebagai pembanding yang ditanam di lingkungan optimal dan lingkungan tercekam kekeringan.

Dari serangkaian pengujian tersebut didapatkan galur harapan DV/2984-330 yang konsisten toleran terhadap cekaman kekeringan selama fase reproduktif. Setelah itu, baru melakukan uji adaptasi di 16 lokasi di daerah sangat kering, di antaranya Kabupaten Probolinggo, Jombang, dan Mojokerto, Jawa Timur.

Proses panjang itu dilakoni Suhartina dengan sabar dan ikhlas. Sebagai pemulia, ia sadar memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi bangsa, negara, dan masyarakat. Ia tidak menyerah kendati kerap menemui kendala dan mengalami kegagalan.

“Yang pasti pernah gagal. Selain serangan hama, lahan juga terkena rembesan air,” ujarnya. Gagal berarti harus menunggu satu tahun. Namun, semua itu tetap ada solusinya. “Kami menanam galur harapan di 20 lokasi dari 16 lokasi yang sudah ditentukan. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi ketika terjadi kegagalan di sejumlah lokasi yang sudah ditentukan."

Suhartina tidak sendiri. Ada sejumlah pemulia yang mendukung kerja kerasnya itu, yakni Purwantoro, Novita Nugrahaeni, Suyanto, Arifin, dan Muchlish Adie. Ada juga peneliti lain yang turut membantu, di antaranya Abdullah Taufiq, Wedanimbi Tengkano, dan Sri Hardaningsih. (M-1)

Bagus Suryo, bagussuryo@mediaindonesia.com

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...