PT Pindad Persero berencana memproduksi motor penggerak untuk mobil listrik secara massal tahun depan, dengan kapasitas 50 Kilowatt (KW). Saat ini, BUMN penghasil panser dan senjata api baru memproduksi satu motor penggerak tersebut.
"Sekarang baru satu yang kita produksi karena menunjukkan kalau kita bisa memproduksinya," kata Direktur Utama Pindad Adik Avianto Sudarsono dihubungi wartawan di Jakarta, Senin (6/8).
Menurut Adik, pembuatan motor penggerak ini seiring dengan diproduksinya mobil listrik yang dimulai tahun depan. Motor penggerak mobil listrik ini sudah diuji coba dan akan diperkenalkan pada Rabu (8/8).
"Pak Dahlan (Menteri BUMN) ke Pindad untuk mengetahui apakah kita sudah siapkan agar bisa diekspos Rabu nanti," ujarnya.
Ia mengharapkan pesanan berdatangan, setelah motor penggerak mobil listrik diperkenalkan. Ia menduga harga motor penggerak itu lebih mahal dibandingkan dengan produksi luar negeri karena komponennya masih diimpor.
"Komponennya bisa tembaga, silicon steel dan itu harus diimpor. Jauh lebih mahal enam kali kalau diproduksi," paparnya.
Ia mengakui motor penggerak berkapasitas 50 KW hanya diproduksi di Indonesia, sementara 15 KW dapat diproduksi oleh negara-negara lain. Namun, motor penggerak 50 KW tidak dijual.
Menteri BUMN Dahlan Iskan pernah menuturkan selain Pindad, PT Inka Persero juga dapat memproduksi motor penggerak mobil listrik tersebut. Namun, Pindad dianggap sebagai perusahaan yang siap memproduksi motor tersebut.
Author: Susan Silaban (www.imq21.com)
Read more...
Pindad Produksi Motor Penggerak Mobil Listrik 2013
Label:
PT Pindad
PT Len Industri Raih Sertifikasi SIL 02
PT Len Indonesia Persero mendapatkan sertifikasi uji kelaikan operasi Sistem Interlocking LEN (SIL 02) dari Kementerian Perhubungan.
SIL 02 merupakan salah satu produk PT Len Industri dalam bidang persinyalan kereta api yang didesain dan dikembangkan sepenuhnya oleh insinyur muda Tanah Air, dan telah diaplikasikan pada jalur-jalur kereta api di beberapa stasiun di sepanjang Pulau Jawa dan Sumatera dalam mendukung program penggantian persinyalan mekanik menjadi persinyalan elektrik yang dilakukan Kementerian Perhubungan.
Proses sertifikasi tersebut dilakukan oleh tim sertifikasi dengan anggota ahli-ahli dari institusi yang berkompeten di dalam negeri diantaranya dari Kementerian Perhubungan, PT KAI Persero, BPPT, ITB, dan PENS-ITS.
Menurut Direktur Utama Len Wahyuddin Bagenda, keberhasilan Len dalam pengembangan SIL-02 tidak lepas dari dukungan Direktorat Jenderal Perkeretaapian yang telah memberikan kesempatan kepada Len untuk mengembangkan produk ini dan produk-produk baru berikutnya mulai dari memberikan saran desain, dukungan uji lapangan, dan dukungan pelaksanaan pengujian dan pengawalan.
"Sistem persinyalan pada perkeretaapian memberikan kontribsi yang sangat besar bagi keselamatan penumpang maupun barang," kata Wahyuddin dalam paparannya di Jakarta, Senin (6/8).
Sistem persinyalan adalah sistem yang mengatur pergerakan kereta api baik ketika berada di area stasiun maupun di petak jalan antara dua stasiun. Sistem persinyalan harus menjamin semua pergerakan kereta baik di area stasiun maupun petak jalan di antara dua stasiun berlangsung secara aman, sehingga persinyalan harus berkinerja dengan baik.
SIL 02 telah dapat menjadi alternatif bagi pemerintah dalam memenuhi kebutuhan akan interlocking system yang selama ini disuplai dari industri-industri asing seperti VPI, SSI, dan Westrance. SIL 02 juta merupakan sistem interlocking berbasis PLC (Programmable Logic Controller).
SIL 02 dikembangkan dan didesain dengan keunggulan, antara lain mendukung semua jenis perlengkapan luar elektrik, mengacu pada standar EN-50129, komponen standar industri yang terbukti kehandalannya, didesain sederhana dan kompak, biaya operasional rendah, didesain memperhatikan kebutuhan operasional, mampu mengontrol stasiun dengan kompleksitas tinggi dapat dikembangkan ke fungsi operasi yang lebih tinggi, fleksibilitas terhadap konfigurasi sistem persinyalan, dan menggunakan komponen standar industri.
"Kementerian Perhubungan RI bersama Len telah memiliki kesepahaman untuk terus menggunakan SIL 02 sebagai produk dalam negeri dalam rangka mendukung pemanfaatan teknologi bangsa," paparnya.
Diakuinya, produk persinyalan Len telah mampu bersaing secara global, di mana saat ini Len mampu bersaing dengan pemain-pemain internasional di industri sejenis.
"Hal ini memotivasi Len untuk terus mengembangkan diri untuk mewujudkan kemandirian terknologi yang berdaya saing, yang menjadi motto penjualan Len," ungkapnya.
Author: Susan Silaban ( www.imq21.com )
Read more...
SIL 02 merupakan salah satu produk PT Len Industri dalam bidang persinyalan kereta api yang didesain dan dikembangkan sepenuhnya oleh insinyur muda Tanah Air, dan telah diaplikasikan pada jalur-jalur kereta api di beberapa stasiun di sepanjang Pulau Jawa dan Sumatera dalam mendukung program penggantian persinyalan mekanik menjadi persinyalan elektrik yang dilakukan Kementerian Perhubungan.
Proses sertifikasi tersebut dilakukan oleh tim sertifikasi dengan anggota ahli-ahli dari institusi yang berkompeten di dalam negeri diantaranya dari Kementerian Perhubungan, PT KAI Persero, BPPT, ITB, dan PENS-ITS.
Menurut Direktur Utama Len Wahyuddin Bagenda, keberhasilan Len dalam pengembangan SIL-02 tidak lepas dari dukungan Direktorat Jenderal Perkeretaapian yang telah memberikan kesempatan kepada Len untuk mengembangkan produk ini dan produk-produk baru berikutnya mulai dari memberikan saran desain, dukungan uji lapangan, dan dukungan pelaksanaan pengujian dan pengawalan.
"Sistem persinyalan pada perkeretaapian memberikan kontribsi yang sangat besar bagi keselamatan penumpang maupun barang," kata Wahyuddin dalam paparannya di Jakarta, Senin (6/8).
Sistem persinyalan adalah sistem yang mengatur pergerakan kereta api baik ketika berada di area stasiun maupun di petak jalan antara dua stasiun. Sistem persinyalan harus menjamin semua pergerakan kereta baik di area stasiun maupun petak jalan di antara dua stasiun berlangsung secara aman, sehingga persinyalan harus berkinerja dengan baik.
SIL 02 telah dapat menjadi alternatif bagi pemerintah dalam memenuhi kebutuhan akan interlocking system yang selama ini disuplai dari industri-industri asing seperti VPI, SSI, dan Westrance. SIL 02 juta merupakan sistem interlocking berbasis PLC (Programmable Logic Controller).
SIL 02 dikembangkan dan didesain dengan keunggulan, antara lain mendukung semua jenis perlengkapan luar elektrik, mengacu pada standar EN-50129, komponen standar industri yang terbukti kehandalannya, didesain sederhana dan kompak, biaya operasional rendah, didesain memperhatikan kebutuhan operasional, mampu mengontrol stasiun dengan kompleksitas tinggi dapat dikembangkan ke fungsi operasi yang lebih tinggi, fleksibilitas terhadap konfigurasi sistem persinyalan, dan menggunakan komponen standar industri.
"Kementerian Perhubungan RI bersama Len telah memiliki kesepahaman untuk terus menggunakan SIL 02 sebagai produk dalam negeri dalam rangka mendukung pemanfaatan teknologi bangsa," paparnya.
Diakuinya, produk persinyalan Len telah mampu bersaing secara global, di mana saat ini Len mampu bersaing dengan pemain-pemain internasional di industri sejenis.
"Hal ini memotivasi Len untuk terus mengembangkan diri untuk mewujudkan kemandirian terknologi yang berdaya saing, yang menjadi motto penjualan Len," ungkapnya.
Author: Susan Silaban ( www.imq21.com )
Read more...
Label:
PT LEN
Penemu Kedelai Tangguh Tahan Kekeringan
Ir Suhartina MP
HARI beranjak siang. Terlihat seorang pemulia sedang beraktivitas di laboratorium Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi), Malang, Jawa Timur.
Dengan sabar ia menyeleksi dan memilah setiap biji kedelai berwarna kuning dalam baskom dan sejumlah wadah plastik berdasarkan ukuran. Hasil seleksi selanjutnya dimasukkan ke bungkus plastik.
Siang itu, sang pemulia, Suhartina, sedang melakukan seleksi galur harapan kedelai DV/2984 -330. “Biji kedelai ini calon varietas unggul toleran cekaman kekeringan selama fase reproduktif,” tegasnya.
Kedelai hasil penelitian selama 6 tahun itu merupakan inovasi terbaru di Indonesia yang memiliki arti penting sebagai solusi mengatasi ketergantungan akan impor komoditas pangan. Selain itu, membuka peluang bagi petani dalam mengembangkan budi daya kedelai di musim kemarau, bahkan pada kondisi sangat kering sekalipun.
Ia menjelaskan agroekosistem utama kedelai di Indonesia ialah lahan sawah. Kedelai ditanam setelah padi pada musim kemarau 1 dan 2 dengan pola padi-padi-kedelai atau padi-kedelai-kedelai.
Pada kondisi demikian, budi daya kedelai sering kali menghadapi risiko kekeringan. Akibatnya, ada kekhawatiran terjadi gagal panen.
Belum lagi akhir-akhir ini terjadi perubahan iklim global yang menyebabkan peningkatan intensitas iklim ekstrem, terutama kekeringan dan kelebihan air atau banjir.
Oleh karena itu, kata Suhartina, perlu inovasi varietas unggul yang lebih adaptif, baik itu varietas berumur genjah (siap panen) atau yang toleran terhadap kekeringan.
Tersedianya varietas seperti itu, menurut Suhartina, sangat penting untuk mendorong kedaulatan pangan karena Indonesia menghadapi masalah serius, misalnya terbelenggu impor kedelai sejak 1976.
Bukti lain, akhir-akhir ini terjadi krisis kedelai nasional akibat suplai dari Amerika Serikat (eksportir) sempat terhenti. Sebelumnya hal serupa juga pernah terjadi.
"Dibutuhkan komitmen dari pemerintah dengan memperluas areal tanam serta menetapkan harga kedelai yang aman bagi petani dan industri. Teknologi budi daya sudah tersedia. Bahkan mengembangkan kedelai dengan memanfaatkan tanaman sela di hutan produksi pun sudah bisa dilakukan," tuturnya.
Perlu terobosan
Sarjana lulusan Jurusan Budi Daya Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, itu mengaku sektor pertanian di Indonesia, khususnya pangan, memerlukan terobosan besar agar swasembada.
Dari situ, Suhartina mengembangkan ide budi daya kedelai pertama di Indonesia yang tahan kekeringan. Hal itu menjadi tantangan tersendiri. Dia menjelaskan, terdapat 73 varietas unggul kedelai di Indonesia. Yang berindikasi toleran kekeringan ialah varietas wilis yang dilepas pada 1983 dan tidar (1987).
Karakteristik wilis ialah berukuran biji sedang, yakni 10 gram per 100 biji, warna biji kuning, umur masak genjah 85-90 hari, dan rata-rata hasilnya 1,6 ton per hektare (ha).
Adapun tidar berukuran biji kecil, yakni 7 gram per 100 biji, biji kuning kehijauan, umur masak genjah sekitar 75 hari, dan rata-rata hasilnya 1,4 ton per ha. “Varietas wilis dan tidar digunakan sebagai pembanding dalam kegiatan perakitan,” ujarnya.
Silsilah galur
Langkah awal Suhartina untuk menghasilkan kedelai yang tahan kekeringan ialah melakukan proses persilangan berbekal koleksi plasma nutfah kedelai di Balitkabi. Ia memperoleh sejumlah genotipe yang teridentifikasi toleran kekeringan, yakni MLG 2805, MLG 2984, MLG 3474, MLG 3072, dan MLG 2999.
Genotipe tersebut digunakan untuk memperbaiki ukuran, warna biji, dan potensi hasil. Untuk penelitian tersebut, Suhartina menggunakan galur harapan DV/2984 yang berasal dari persilangan tunggal antara varietas unggul davros dan genotipe toleran kekeringan MLG 2984.
Seleksi awal, kata dia, menggunakan metode silsilah (pedigree), menyilangkan varietas unggul davros dengan MLG 2984 untuk mendapatkan biji F1 sampai dengan F3. Proses itu dilakukan pada 2000-2006.
Selanjutnya, seleksi galur diteruskan pada generasi F4-F5 sampai dengan uji daya hasil lanjutan di kebun percobaan Muneng, Probolinggo, Kendalpayak, dan Jambegede, Malang, Jawa Timur.
Pada tahap tersebut terpilih 60 galur homozigot berdasarkan keragaman tanaman, jumlah polong per tanaman, dan skor tingkat kelayuan tanaman.
Galur-galur itu ditanam pada lingkungan yang tercekam kekeringan selama fase reproduktif. Pengairan pun dilakukan pada saat tanam sampai 50% berbunga dengan interval 10-15 hari sekali.
Memasuki seleksi F5, galur DV/2984-330 yang ditanam menunjukkan semua daun masih hijau dan segar pada umur tanaman 50-65 hari. Bahkan, pada umur 70 hari juga tidak dijumpai daun yang kecokelatan.
Hal itu menunjukkan bahwa galur itu toleran kekeringan sehingga diputuskan layak untuk diteruskan sebagai galur terpilih pada uji daya hasil pendahuluan dan lanjutan selama 2007-2008.
Kemudian, dilakukan seleksi lagi untuk mengambil sebanyak 30 galur. Berdasarkan indeks toleransi cekaman, terpilih 12 galur harapan sebagai bahan uji adaptasi pada MK 2009-2010. Varietas tidar dan wilis digunakan sebagai pembanding yang ditanam di lingkungan optimal dan lingkungan tercekam kekeringan.
Dari serangkaian pengujian tersebut didapatkan galur harapan DV/2984-330 yang konsisten toleran terhadap cekaman kekeringan selama fase reproduktif. Setelah itu, baru melakukan uji adaptasi di 16 lokasi di daerah sangat kering, di antaranya Kabupaten Probolinggo, Jombang, dan Mojokerto, Jawa Timur.
Proses panjang itu dilakoni Suhartina dengan sabar dan ikhlas. Sebagai pemulia, ia sadar memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi bangsa, negara, dan masyarakat. Ia tidak menyerah kendati kerap menemui kendala dan mengalami kegagalan.
“Yang pasti pernah gagal. Selain serangan hama, lahan juga terkena rembesan air,” ujarnya. Gagal berarti harus menunggu satu tahun. Namun, semua itu tetap ada solusinya. “Kami menanam galur harapan di 20 lokasi dari 16 lokasi yang sudah ditentukan. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi ketika terjadi kegagalan di sejumlah lokasi yang sudah ditentukan."
Suhartina tidak sendiri. Ada sejumlah pemulia yang mendukung kerja kerasnya itu, yakni Purwantoro, Novita Nugrahaeni, Suyanto, Arifin, dan Muchlish Adie. Ada juga peneliti lain yang turut membantu, di antaranya Abdullah Taufiq, Wedanimbi Tengkano, dan Sri Hardaningsih. (M-1)
Bagus Suryo, bagussuryo@mediaindonesia.com
Read more...
HARI beranjak siang. Terlihat seorang pemulia sedang beraktivitas di laboratorium Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi), Malang, Jawa Timur.
Dengan sabar ia menyeleksi dan memilah setiap biji kedelai berwarna kuning dalam baskom dan sejumlah wadah plastik berdasarkan ukuran. Hasil seleksi selanjutnya dimasukkan ke bungkus plastik.
Siang itu, sang pemulia, Suhartina, sedang melakukan seleksi galur harapan kedelai DV/2984 -330. “Biji kedelai ini calon varietas unggul toleran cekaman kekeringan selama fase reproduktif,” tegasnya.
Kedelai hasil penelitian selama 6 tahun itu merupakan inovasi terbaru di Indonesia yang memiliki arti penting sebagai solusi mengatasi ketergantungan akan impor komoditas pangan. Selain itu, membuka peluang bagi petani dalam mengembangkan budi daya kedelai di musim kemarau, bahkan pada kondisi sangat kering sekalipun.
Ia menjelaskan agroekosistem utama kedelai di Indonesia ialah lahan sawah. Kedelai ditanam setelah padi pada musim kemarau 1 dan 2 dengan pola padi-padi-kedelai atau padi-kedelai-kedelai.
Pada kondisi demikian, budi daya kedelai sering kali menghadapi risiko kekeringan. Akibatnya, ada kekhawatiran terjadi gagal panen.
Belum lagi akhir-akhir ini terjadi perubahan iklim global yang menyebabkan peningkatan intensitas iklim ekstrem, terutama kekeringan dan kelebihan air atau banjir.
Oleh karena itu, kata Suhartina, perlu inovasi varietas unggul yang lebih adaptif, baik itu varietas berumur genjah (siap panen) atau yang toleran terhadap kekeringan.
Tersedianya varietas seperti itu, menurut Suhartina, sangat penting untuk mendorong kedaulatan pangan karena Indonesia menghadapi masalah serius, misalnya terbelenggu impor kedelai sejak 1976.
Bukti lain, akhir-akhir ini terjadi krisis kedelai nasional akibat suplai dari Amerika Serikat (eksportir) sempat terhenti. Sebelumnya hal serupa juga pernah terjadi.
"Dibutuhkan komitmen dari pemerintah dengan memperluas areal tanam serta menetapkan harga kedelai yang aman bagi petani dan industri. Teknologi budi daya sudah tersedia. Bahkan mengembangkan kedelai dengan memanfaatkan tanaman sela di hutan produksi pun sudah bisa dilakukan," tuturnya.
Perlu terobosan
Sarjana lulusan Jurusan Budi Daya Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, itu mengaku sektor pertanian di Indonesia, khususnya pangan, memerlukan terobosan besar agar swasembada.
Dari situ, Suhartina mengembangkan ide budi daya kedelai pertama di Indonesia yang tahan kekeringan. Hal itu menjadi tantangan tersendiri. Dia menjelaskan, terdapat 73 varietas unggul kedelai di Indonesia. Yang berindikasi toleran kekeringan ialah varietas wilis yang dilepas pada 1983 dan tidar (1987).
Karakteristik wilis ialah berukuran biji sedang, yakni 10 gram per 100 biji, warna biji kuning, umur masak genjah 85-90 hari, dan rata-rata hasilnya 1,6 ton per hektare (ha).
Adapun tidar berukuran biji kecil, yakni 7 gram per 100 biji, biji kuning kehijauan, umur masak genjah sekitar 75 hari, dan rata-rata hasilnya 1,4 ton per ha. “Varietas wilis dan tidar digunakan sebagai pembanding dalam kegiatan perakitan,” ujarnya.
Silsilah galur
Langkah awal Suhartina untuk menghasilkan kedelai yang tahan kekeringan ialah melakukan proses persilangan berbekal koleksi plasma nutfah kedelai di Balitkabi. Ia memperoleh sejumlah genotipe yang teridentifikasi toleran kekeringan, yakni MLG 2805, MLG 2984, MLG 3474, MLG 3072, dan MLG 2999.
Genotipe tersebut digunakan untuk memperbaiki ukuran, warna biji, dan potensi hasil. Untuk penelitian tersebut, Suhartina menggunakan galur harapan DV/2984 yang berasal dari persilangan tunggal antara varietas unggul davros dan genotipe toleran kekeringan MLG 2984.
Seleksi awal, kata dia, menggunakan metode silsilah (pedigree), menyilangkan varietas unggul davros dengan MLG 2984 untuk mendapatkan biji F1 sampai dengan F3. Proses itu dilakukan pada 2000-2006.
Selanjutnya, seleksi galur diteruskan pada generasi F4-F5 sampai dengan uji daya hasil lanjutan di kebun percobaan Muneng, Probolinggo, Kendalpayak, dan Jambegede, Malang, Jawa Timur.
Pada tahap tersebut terpilih 60 galur homozigot berdasarkan keragaman tanaman, jumlah polong per tanaman, dan skor tingkat kelayuan tanaman.
Galur-galur itu ditanam pada lingkungan yang tercekam kekeringan selama fase reproduktif. Pengairan pun dilakukan pada saat tanam sampai 50% berbunga dengan interval 10-15 hari sekali.
Memasuki seleksi F5, galur DV/2984-330 yang ditanam menunjukkan semua daun masih hijau dan segar pada umur tanaman 50-65 hari. Bahkan, pada umur 70 hari juga tidak dijumpai daun yang kecokelatan.
Hal itu menunjukkan bahwa galur itu toleran kekeringan sehingga diputuskan layak untuk diteruskan sebagai galur terpilih pada uji daya hasil pendahuluan dan lanjutan selama 2007-2008.
Kemudian, dilakukan seleksi lagi untuk mengambil sebanyak 30 galur. Berdasarkan indeks toleransi cekaman, terpilih 12 galur harapan sebagai bahan uji adaptasi pada MK 2009-2010. Varietas tidar dan wilis digunakan sebagai pembanding yang ditanam di lingkungan optimal dan lingkungan tercekam kekeringan.
Dari serangkaian pengujian tersebut didapatkan galur harapan DV/2984-330 yang konsisten toleran terhadap cekaman kekeringan selama fase reproduktif. Setelah itu, baru melakukan uji adaptasi di 16 lokasi di daerah sangat kering, di antaranya Kabupaten Probolinggo, Jombang, dan Mojokerto, Jawa Timur.
Proses panjang itu dilakoni Suhartina dengan sabar dan ikhlas. Sebagai pemulia, ia sadar memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi bangsa, negara, dan masyarakat. Ia tidak menyerah kendati kerap menemui kendala dan mengalami kegagalan.
“Yang pasti pernah gagal. Selain serangan hama, lahan juga terkena rembesan air,” ujarnya. Gagal berarti harus menunggu satu tahun. Namun, semua itu tetap ada solusinya. “Kami menanam galur harapan di 20 lokasi dari 16 lokasi yang sudah ditentukan. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi ketika terjadi kegagalan di sejumlah lokasi yang sudah ditentukan."
Suhartina tidak sendiri. Ada sejumlah pemulia yang mendukung kerja kerasnya itu, yakni Purwantoro, Novita Nugrahaeni, Suyanto, Arifin, dan Muchlish Adie. Ada juga peneliti lain yang turut membantu, di antaranya Abdullah Taufiq, Wedanimbi Tengkano, dan Sri Hardaningsih. (M-1)
Bagus Suryo, bagussuryo@mediaindonesia.com
Read more...
Label:
Inspirasi
Langganan:
Postingan (Atom)