Halaman

Penerima Habibie Award Termuda

Di antara 4 orang penerima Habibie Award 2010, salah satunya adalah Dr-Eng Eniya Listiani Dewi, peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Ia merupakan penerima Habibie Award termuda.

Karya perempuan kelahiran 14 Juni 1974 tersebut berkisar pada lingkup elektrokimia, suatu cabang ilmu kimia yang berkaitan dengan potensi listrik dan energi. Penelitiannya adalah tentang sel bahan bakar berbasis hidrogen yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi baru yang ramah lingkungan.

Salah satu karya yang mengawali kiprahnya di bidang sel bahan bakar adalah penemuan katalis baru untuk sel bahan bakar. Penemuan tersebut menurutnya adalah sebuah inovasi yang ditemukan secara kebetulan.

"Saya kan kalau sedang eksperimen suka saya tinggal waktu makan siang. Saya pikir kan tidak masalah. Nah, waktu itu ketika saya melihat hasil eksperimen setelah saya tinggal, kok jadinya berbeda, ternyata perbedaan malah jadi inovasi," terang Eniya. Polimer yang terbentuk menjadi terdiri dari 10 penyusun, padahal harusnya ada 2 penyusun.

Dari hasil karya yang kebetulan tersebut, perempuan yang menyelesaikan gelar doktor dari Fakultas Aplikasi Kimiawi, Polimer, Katalis dan Sel Bahan Bakar Waseda University ini meraih beragam penghargaan, termasuk Mizuno Awards dan Koukenkai Awards dari Waseda University dan Polymer Society Japan pada tahun 2003.

Karya terbarunya adalah ThamriON, sebuah membran sel bahan bakar temuannya yang baru saja mendapatkan penghargaan Inovasi Paten dari Ditjen HKI 2010. "Prinsipnya, ThamriON tersebut adalah membran sel bahan bakar yang terbuat dari plastik yang direaksikan dengan asam sulfat. Karena telah direaksikan, maka plastik bisa menghantarkan listrik," ungkapnya.

Nama ThamriON sendiri punya sejarah tersendiri. "Saya kan bekerja di Jalan MH Thamrin Jakarta jadi nama itu saya ambil untuk nama karya saya. Kalau ON sendiri berasal dari kata ion, karena plastiknya bisa jadi menghasilkan ion," terangnya sambil tertawa mengenang penamaan hasil karyanya.

Teknologi sel bahan bakar dan bahan pendukung lain hasil risetnya di kembangkan 80 persen dari material lokal, sehingga biayanya lebih murah. Dengan proses manufaktur secara mandiri, sel bahan bakar yang tersebut telah diterapkan untuk menyalakan perangkat elektronik dan sepeda motor dengan kapasitas 500 Watt.

Untuk mengembangkan proses produksi dan penyimpanan bahan bakar, Eniya bekerja sama dengan berbagai pihak. "Ada Teknik Kimia UGM, Pusat Teknologi Bioindustri, industri polimer dan baterai," ungkap perempuan yang kini menjadi Kepala Perekayasaan Sel Bahan Bakar di BPPT.

Eniya adalah putri pertama dari pasangan Hariyono (alm) dan Sri Ningsih, berasal dari kota Magelang, Jawa Tengah. Ketertarikannya dengan dunia teknologi dan lingkungan sudah ada sejak ia masih duduk di bangku SMA Negeri 1 Magelang.

"Sejak saya SMA, saya sudah tertarik pada hal-hal yang berbau sains dan ramah lingkungan. Waktu itu, kalau mengarang, saya selalu menulis tema-tema teknologi dan isu ramah lingkungan," ujarnya yang sebenarnya lebih menyukai ilmu fisika daripada kimia.

Setelah lulus SMA, ia beruntung dapat memperoleh beasiswa lewat program Science and Technology Advance Industrial Development (STAID) Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Ia kemudian melanjutkan pendidikan S-1 ke Waseda University.

Pendidikan strata dua dan tiga ia lanjutkan dengan beasiswa dari lembaga lain. Total masa pendidikan yang ia butuhkan untuk mencapai gelar doktor adalah 10 tahun, berawal dari tahun 1993 hingga tahun 2003.

Salah satu ambisi terbesarnya adalah mewujudkan penggunaan bahan bakar ramah lingkungan dari bahan hidrogen. "Bahan hidrogen ini sangat berpotensi, bisa diproduksi dari berbagai macam sumber, termasuk biomassa," terangnya. Ambisi tersebut diperoleh setelah melihat pengembangan kota Fukuoka, Jepang yang mengaplikasikan hidrogen sebagai sumber energi.

Hidrogen bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan listrik, bahan bakar kendaraan dan lainnya. "Dengan bahan bakar hidrogen, motor tidak mengeluarkan asap, tapi air murni," jelas Eniya.

Ide Eniya dalam pemakaian hidrogen sebagai sumber bahan bakar juga dipresentasikan dalam 7th Biomass Asia Workshop yang berlangsung di gedung BPPT, Senin (29/11/2010).

Membuka Jalan ke Kota Hidrogen

Selama belajar 10 tahun hingga memperoleh gelar doktor di Jepang, 1993-2003, inspirasi puncak Eniya Listiani Dewi meretas jalan menuju ”kota hidrogen” di Indonesia, seperti tahun 2003 saat Jepang mulai mewujudkannya di kota industri otomotif, Fukuoka.

Eniya berhasil membuka jalan ke kota hidrogen setelah memproduksi ”jantung” sel bahan bakar hidrogen dengan komponen lokal 80 persen sehingga harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan pasaran di Asia kini. Masyarakat Ilmu Polimer Jepang memberinya penghargaan atas temuan tersebut dalam simposium internasional di Kobe, 29 Mei 2009 lalu. Sebanyak 4.000 ahli polimer dari berbagai penjuru dunia diundang menghadiri kegiatan itu.

Namun, pemberangkatan Eniya dan semua peserta yang lain kemudian dicegah karena saat itu Kobe terserang pandemi flu A-H1N1. Simposium dibatalkan. Simbol anugerah dikirimkan ke Indonesia dan diterima Eniya akhir Juni 2009.

”Justru masyarakat Jepang lebih dulu menghargai temuan hasil riset tim kami,” ujar Eniya, Kepala Perekayasaan Fuel Cell atau Sel Bahan Bakar pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Eniya, putri pertama dari dua bersaudara pasangan Hariyono (almarhum) dan Sri Ningsih, asal Magelang, Jawa Tengah, ini meraih banyak penghargaan di bidangnya.

Memulai dari Akhir

Memahami kota hidrogen mencakup pemenuhan kebutuhan energi masyarakat kota secara ramah lingkungan. Tujuannya, melanggengkan kehidupan kota tanpa risiko pencemaran karena sel bahan bakar hidrogen menghasilkan energi tanpa mengemisi karbon dan limbahnya hanya air dan panas.

Aplikasi sel bahan bakar untuk kota hidrogen bertujuan memenuhi kebutuhan rumah tangga, mulai dari penerangan, memasak, sampai kendaraan. Jadi, knalpot kendaraan tak mengepulkan asap, tetapi mengucurkan air murni.

Menurut Eniya, Jepang membuat simulasi kota hidrogen dengan membagikan generator sel bahan bakar berkapasitas 1.000 watt-2.000 watt kepada 2.000 keluarga di Fukuoka untuk penggunaan cuma-cuma selama lima tahun. Disediakan pula angkutan umum bus dengan bahan bakar hidrogen yang ramah lingkungan.

Keinginannya mewujudkan kota hidrogen di Indonesia memang terkesan tak mungkin. Di balik itu Eniya mengungkap spirit dari teknokrat BJ Habibie dalam teknik berinovasi, yaitu start from the end atau memulai dari yang terakhir.

Kenangan akan Habibie terus mengendap karena Eniya berhasil mewujudkan keinginannya sejak kecil untuk studi di luar negeri berkat kebijakan Habibie era 1990-an. Saat itu, Kementerian Negara Riset dan Teknologi di bawah Habibie memberi beasiswa bagi lulusan SMA berprestasi untuk melanjutkan studi ke berbagai negara industri. Ia terpilih menjadi salah satu penerima beasiswa dalam program Science and Technology Advance Industrial Development (STAID) Kementerian Negara Riset dan Teknologi.

Eniya menyelesaikan S-1 di Universitas Waseda, Tokyo, hingga memperoleh gelar doktor (S-3) pada Fakultas Aplikasi Kimiawi, Polimer, Katalis, dan Sel Bahan Bakar. Teknologi sel bahan bakar termasuk the end atau bagian akhir pengembangan teknologi mutakhir menyongsong peradaban ramah lingkungan dalam pemenuhan energi dengan sumber energi tak terbatas, seperti air sebagai sumber hidrogen.

Menurut Eniya, metode produksi hidrogen, selain proses elektrolisis dari air, dapat pula ditempuh seperti di Fukuoka, yakni mengubah metana dari berbagai bahan bakar gas, termasuk biogas menjadi hidrogen.

Memupuk Harapan

Seperti para periset dan perekayasa lain, Eniya berharap ada investor yang mampu mengaplikasikan temuannya untuk pengembangan sel bahan bakar secara kompetitif. Ia membuka secara transparan, bagaimana mengganti komponen ”jantung” sel bahan bakar impor dari AS atau Jepang dengan komponen-komponen lokal.

Manufaktur generator sel bahan bakar dengan komponen lokal sudah diuji menurunkan 80 persen harga dari pasaran Asia. Substitusinya antara lain pada material katalis elektrode sel bahan bakar impor dengan logam platina, yang berharga jauh lebih mahal, diganti komponen lokal vanadium yang fungsi dan keandalannya tak jauh beda.

Penggunaan nafion pada polimer elektrolit sel bahan bakar impor seharga 1.000 dollar AS (sekitar Rp 10 juta) per meter persegi disubstitusi proses sintesis hidrokarbon polimer nanosilika berharga Rp 1,5 juta per meter persegi, atau berkurang 85 persen. Substitusi material impor juga untuk komponen lain sel bahan bakar yang dirangkai berurutan membentuk lapisan stack fuel cell atau generator sel bahan bakar.

Komponen itu meliputi end-plate, current collector, graphite bipolar-plate, dan membrane electrode assembly (MEA) sebagai ”jantung” sel bahan bakar. Rangkaian stack fuel cell impor (tanpa MEA) senilai Rp 23,95 juta bisa diturunkan menjadi Rp 5 juta.

”Untuk mengaplikasikan temuan ini, saya berpijak pada upaya memproduksi listrik permukiman dengan sumber hidrogen yang menyesuaikan sumber daya setempat. Aplikasi untuk sistem transportasi bisa menyesuaikan kemudian,” ujar Eniya.

Yunanto Wiji Utomo, Nawa Tunggal (Kompas)

Read more...

Pondasi Cakar Ayam Mendunia dari Ancol

Peranan pondasi turut menentukan usia dan ke stabilan suatu konstruksi bangunannya. Dalam dekade terakhir ini sistem pondasi telah berkembang dengan bermacam variasi. Tapi hanya sedikit yang menampil kan sistem pondasi untuk mengatasi masalah membangun konstruksi di atas tanah lembek.

Sistem pondasi yang konvensional, cenderung hanya di sesuaikan dengan besarnya beban yang harus didukung, tapi kurang mempertimbangkan kondisi tanah lembek. Akibatnya, bangunan itu mengalami penyusutan usia atau ketidakstabilan, seperti penurunan, condong, bahkan roboh. Hal itu tentu merugikan pemilik dan kontraktor bersangkutan.

Perlakuan yang seimbang antara beban dan kondisi tanah lembek perlu dipecahkan. Problema ini pernah dihadapi oleh Prof Dr Ir Sedijatmo tahun 1961, ketika sebagai pejabat PLN harus mendirikan 7 menara listrik tegangan tinggi di daerah rawa-rawa Ancol Jakarta.

Dengan susah payah, 2 menara berhasil didirikan dengan sistem pondasi konvensional, sedangkan sisa yang 5 lagi masih terbengkelai. Menara ini untuk menyalurkan listrik dan pusat tenaga listrik di Tanjung Priok ke Gelanggang Olah Raga Senayan dimana akan diselenggarakan pesta olah raga Asian Games 1962.

Karena waktunya sangat mendesak, sedangkan sistem pondasi konvensional sangat sukar diterapkan di rawa-rawa tersebut, maka dicarilah sistem baru untuk mengatasi masalah itu. Lahirlah ide Ir Sedijatmo untuk mendirikan menara di atas pondasi yang terdiri dari plat beton yang didukung oleh pipa-pipa beton di bawahnya. Pipa dan plat itu melekat secara monolit (bersatu), dan mencengkeram tanah lembek secara meyakinkan.

Oleh Sedijatmo, hasil temuannya itu diberi nama sistem pondasi cakar ayam. Perhitungan yang dipakai saat itu (1961), masih kasar dengan dimensi 2,5 kali lebih besar dibanding dengan sistem pondasi cakar ayam yang diterapkan sekarang. Meski begitu, ternyata biayanya lebih murah dan waktunya lebih cepat daripada menggunakan tiang pancang biasa. Menara tersebut dapat diselesaikan tepat pada waktunya, dan tetap kokoh berdiri di daerah Ancol yang sekarang sudah menjadi ka wasan industri.

Sedyatmo, RM
Penemu konstruksi pondasi yang khusus dipakai untuk tanah yang lunak, lembek atau tanah berawa-rawa. Dia kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah, 24 Oktober 1909, dikenal sebagai sosok yang bersahaja, ramah, enerjik dan penuh dengan gagasan. Cakar ayam (temuannya yang telah mendunia itu) merupakan salah satu dari berbagai penemuannya, selain pipa pesat dan pompa air curug, Karya pertamanya tercipta ketika ia masih berusia 27 tahun, dua tahun setelah menyandang gelar insinyur sipil dari Technische Hoge Schol (sekarang ITB) dan bekerja di Departemen Waterstaat en Wederopbouw. Pada tahun pembuatan jembatan pada jembatan Wiroko di Bengawan Solo.

Metodenya itu semula dicela oleh Menteri PU Hindia Belanda, Ir. Valkenburg dan Rektor THS Prof. Sprenger. Mereka menilai rancangannya menyimpang dari buku teks dan bisa jadi jembatan itu ambruk sebelum proses pembuatan selesai. Sejak itu, dengan keyakinan dan kreativitas tinggi, berbagai inovasi lain lahir dari tangannya. Cakar ayam dan pipa pesat di antaranya telah meraih 17 hak paten dari berbagai negara di Eropa dan Amerika Serikat. Seperti juga buah karya lainnya, pila pesat mempunyai kelebihan dalam hal efisiensi. Pipa tersebut dapat menahan tekanan sangat tinggi dari zat cair atau gas yang disalurkan. Ia bahkan masih dapat melahirkan gagasan baru dalam bidang teknik sipil, yaitu sistem jembatan yang disebutnya Bahari Ontoseno. Inovasinya itu dirancang untuk jembatan di sungai yang lebar dan dalam. Dengan konstruksi Ontoseno, pekerjaan menjadi lebih sederhana dan murah karena tidak memerlukan alat besar dan bahan bangunan yang banyak. Meninggal tahun 1984 di usia 75 tahun dan memperoleh Bintang Mahaputra Kelas I dari pemerintah RI.

Dasar pemikiran.

Pondasi cakar ayam terdiri dan plat beton bertulang dengan ketebalan 10-15 cm, tergantung dari jenis konstruksi dan keadaan tanah di bawahnya.

Di bawah plat beton dibuat sumuran pipa-pipa dengan jarak sumbu antara 2-3 m. Diameter pipa 1,20 m, tebal 8 cm, dan panjangnya tergantung dari beban di atas plat serta kondisi tanahnya. Untuk pipa dipakai tulangan tunggal, sedangkan untuk plat dipakai tulangan ganda.

“Sistem pondasi ini bisa diterapkan pada tanah lunak maupun tanah keras. Tapi menurut pengalaman, lebih ekonomis bila diterapkan atas tanah yang berdaya dukung 1,5 sampai 4 ton per meter persegi.

Dasar pemikiran Iahirnya pondasi cakar ayam ialah memanfaatkan tekanan tanah pasif, yang pada sistem pondasi lain tak pernah dihiraukan. Plat beton yang tipis itu akan mengambang di permukaan tanah, sedangkan kekakuan plat ini dipertahankan oleh pipa-pipa yang tetap berdiri akibat tekanan tanah pasif. Dengan demikian maka plat dan konstruksi di atasnya tidak mudah bengkok.

Pada sistem pondasi lain, yang menggunakan plat beton dengan balok pengaku, maka kekakuan itu berasal dan konstruksinya sendiri. Sedangkan pada sistem pondasi cakar ayam, kekakuan didapat dari tekanan tanah pasif. ini berarti dengan daya dukung yang sama, volume beton pada cakar ayam akan berkurang, dan konstruksinya bisa lebih ekonomis.

Telapak beton

Telapak beton, pada pondasi cakar ayam sangat baik untuk beban yang merata. Sistem pondasi ini mampu mendukung beban 500-600 ton per kolom. Dalam hal ini, di bagian bawah kolom dibuatkan suatu telapak beton, untuk mengurangi tegangan geser pada plat beton.

Jika beban itu terpusat, maka tebal plat beton di bawah pusat beban ditentukan oleh besarnya daya geser, bukan oleh besarnya momen, untuk ini dilakukan penambahan pertebalan plat beton dibawah kolom bersangkutan.

Paten

pondasi-cabg.jpgSistem pondàsi cakar ayam sangat sederhana, hingga cocok sekali diterapkan di daerah dimana peralatan modern dan tenaga ahli sukar didapat. Sampai batas-batas tertentu, sistern ini dapat menggantikan pondasi tiang pancang. Untuk gedung berlantai 3-4 misalnya, sistem cakar ayam biayanya akan sama dengan pondasi tiang pancang 12 meter.

Makin panjang tiang pancang yang dipakai, makin besar biayanya. Apalagi jika alat pemancangan dan tenaga ahli harus didatangkan dari tempat lain. Dengan kemampuan yang sama, sistem cakar ayam dapat menghemat biaya sampai 30%.

Pelaksanaan sistem ini dapat dilakukan secara simultan, tanpa harus bergiliran. Misalnya sebagai pondasi menara, dapat dikerjakan dalam jumlah banyak secara bersamaan. Seluruh sumuran beton dicetak dengan cetakan biasa di lokasi proyek, sesuai dengan standar. Karena itu sistem ini sangat menghemat waktu.

Bagi daerah yang bertanah lembek, pondasi cakar ayam tidak hanya cocok untuk mendirikan gedung, tapi juga untuk membuat jalan dan landasan. Satu keuntungan lagi, sistem ini tidak memerlukan sistem drainasi dan sambungan kembang susut.

Banyak bangunan yang telah menggunakan sistem yang di ciptakan oleh Prof Sedijatmo ini, antara lain: ratusan menara PLN tegangan tinggi, hangar pesawat terbang dengan bentangan 64 m di Jakarta dan Surabaya, antara runway dan taxi way serta apron di Bandara Sukarno-Hatta Jakarta, jalan akses Pluit-Cengkareng, pabrik pupuk di Surabaya, kolam renang dan tribune di Samarinda, dan ratusan bangunan gedung bertingkat di berbagai kota.

Sistem pondasi cakar ayam ini telah pula dikenal di banyak negara, bahkan telah mendapat pengakuan paten internasional di 11 negara, yaitu: Indonesia, Jerman Timur, Inggris, Prancis, Italia, Belgia, Kanada, Amerika Serikat, Jerman Barat, Belanda; dan Denmark.

[Teknologi, No.6, Th.I, Jan-Feb.1987]

Read more...

Chipset Xirka dan Impian Seorang Ilmuwan

Bekerja untuk perusahaan kenamaan di Jepang, Eko Fajar Nurprasetyo tidak lupa Tanah Airnya. Panggilan untuk pulang itu datang setelah ia menyelesaikan studi strata satu hingga tiga di negara yang terkenal dengan kecanggihan produk elektroniknya itu. "Saya kembali ke Indonesia tahun 2006," kata Eko.
Keputusannya untuk hengkang dari Sony LSI membuat pimpinan perusahaan tersebut terkejut. Bahkan, sang presiden direktur ingin mendapat penjelasan langsung dari Eko. "Beliau mengatakan jika masalahnya gaji, itu bisa dirundingkan."
Kendati demikian, keputusan Eko sudah bulat. Ada tiga hal yang menguatkan hatinya untuk pulang.
"Ibu saya sudah sepuh sementara kedua adik juga berdomisili di luar negeri," jelasnya.

Eko merasa dirinya harus mengalah. Apalagi, dialah yang paling lama merantau ke negeri orang.
"Saya juga ada keinginan membesarkan kelima anak dengan atmosfer masyarakat Muslim."
Saat itu, Eko tengah menjabat sebagai distinguished engineer Sony LSI. Ini posisi yang sangat strategis sebab merekalah yang menentukan inovasi produk perusahaan semi-konduktor-itu.
Eko meraih jabatan itu di usia 33 tahun setelah tiga tahun bergabung dengan Sony LSI. Ia dipromosikan untuk meninggalkan posisi scientist terkait hasil riset dan pengembangannya yang mengesankan.
"Saya orang termuda dan satu-satunya warga negara asing di grup beranggotakan 40 ilmuwan penentu produk teranyar di perusahaan itu."
Rasa ingin pulang, kencang memanggil Eko setelah dua tahun menjadi distinguished engineer. Di depan presiden direktur (presdir) Sony LSI, ia pun menceritakan kegelisahannya.
"Selama ini, saya berkontribusi untuk Jepang, belum untuk negara saya," ujar Eko yang di usia 18 tahun memulai usaha penyediaan daging halal ke berbagai sudut Kyushu dan kini ke seantero Jepang.
Presdir Sony LSI menerima keputusan Eko. Akan tetapi, ia diminta untuk tidak pindah ke perusahaan sejenis. Maklum saja, di otaknya telah terekam informasi strategis pengembangan produk perusahaan itu.
"Meskipun sudah berhenti, Sony LSI masih mengirimkan gaji saya selama enam bulan pertama. Ini sesuatu yang langka di Jepang."

Industri desain chipset
Pulang ke Indonesia tahun 2006, setahun kemudian Eko mendirikan design house semikonduktor, Versatile Silicon Technology. Pelanggannya mayoritas orang Jepang. "Kami mendesain IC untuk power controller produk power supply komputer dan cukuran janggut serta image processor untuk barcode scanner."
Tahun 2008, Eko melihat kesempatan untuk mendesain cip Wimax. Ia memang masih harus memproduksinya di luar negeri. "Tetapi, cip itu menjadi produk pertama yang memakai merek Indonesia dan inilah satu-satunya perusahaan di Asia Tenggara yang mendesain cip untuk Wimax."
Kini, Eko kesulitan memenuhi permintaan pasar. Ia memimpikan Xirka, perusahaan desainer chipset pertama di Indonesia itu, tak berjalan sendirian di bisnis ini.
"Minimal harus ada sepuluh perusahaan sejenis," cetus pria kelahiran Tangerang, 26 September 1971 ini.
Harapan Eko bukan sesuatu yang muluk, sejatinya. Apalagi, di percaturan dunia, negara yang memiliki industri semikonduktor jauh lebih dihargai.
"Sayangnya, kebanyakan orang masih berkonsentrasi di hilir, tidak serius menggarap industri hulunya."
Semua negara maju, lanjut Eko, memiliki industri semikonduktor. Teknologi ini sangat penting untuk kemandirian bangsa. "Semikonduktor merupakan teknologi yang menjadi pintu masuk bagi kemunculan teknologi lain."
Eko menuturkan internet, ponsel, bahkan energi listrik tak akan ada tanpa semikonduktor. Sebaliknya, begitu ada produsen semikonduktor, Indonesia bisa bergegas. "Kita sebetulnya membuatnya sendiri saat suku cadang roket militer kita yang masih diembargo," ucap Eko yang sempat kuliah di jurusan Teknik Informatika, ITB sebelum meraih beasiswa ke Jepang.
Eko memaparkan saat ini Indonesia tercatat sebagai satu-satunya negara anggota
Group of Eight (G8) yang belum memiliki industri semikonduktor. Dengan adanya industri tersebut, Eko yakin Indonesia akan lebih maju. Kekayaan alam negeri ini pun bisa diolah dengan produk dalam negeri.
Alumnus Kyushu University, Jepang ini berpesan pada ilmuwan Indonesia yang bekerja untuk perusahaan asing agar tetap mempertahankan rasa cinta Tanah Air. Lalu, upayakan bekerja sebaik mungkin sampai mendapatkan pengakuan kompetensi. "Begitu masuk ke lingkaran dalam, kita bisa mengambil ilmu sebagai bentuk transfer teknologi."
Eko merencanakan 5 sampai 10 tahun mendatang Indonesia bisa memiliki pabrik silikon sendiri. "Harus direncanakan dengan matang dan kolaboratif jika tak ingin usaha ini ambruk di tengah jalan."
Kini, ada 70 insinyur yang menjadi binaan Eko. Hanya saja, tak banyak yang dapat memenuhi cita-cita pria yang hobi berkebun ini. "Paling hanya tujuh orang yang tampaknya bisa menjadi pengusaha masa depan”.
Atas prakarsanya di dunia chipset lokal, Eko mendapat Bacharuddin Jusuf Habibie Technology Award (BJHTA) 2010. Penghargaan ini hanya diberikan untuk peneliti yang menciptakan inovasi kreatif.
"Setelah itu. suara saya mulai lebih didengar." celetuk ilmuwan yang belum lama berselang dipanggil menghadap Wapres Boediono.

(Republika)

Read more...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...