Astra dan Technological Capability
PT Astra International Tbk (Astra) merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang otomotif, di samping memiliki usaha di berbagai industri lainnya seperti industri alat berat, perkebunan, jasa keuangan, dan sebagainya. Kekuatan Astra sebagai distributor dari berbagai merek yaitu Toyota, Daihatsu, Isuzu, Peugeot, Nissan Diesel dan BMW cukup kuat, tercermin dari perolehan pangsa pasar yang berhasil diraih yaitu sekitar 51,59% (1997), 32,33% (1998), 48,47% (1999), 47,07% (2000), 43,65% (2001), 41,24% (2002) dan 42,23% (2003).
Keberhasilan Astra di bidang penjualan tidaklah identik dengan keberhasilan di bidang alih teknologi dan hal ini sering menjadi polemik yang berkepanjangan, terutama ketika munculnya Timor (yang dikenal sebagai mobnas) dan Perkasa (mobil truk produksi Texmaco).
Untuk mempertajam pembahasan, kita akan fokus ke Toyota sebagai perwakilan Astra dalam menjawab apakah transfer teknologi tersebut sudah dilakukan. Hal ini kami lakukan mengingat besarnya pangsa pasar yang sudah diraih oleh Toyota dan juga nama besar Toyota sebagai pemain dunia.
Latar Belakang dan Sejarah
Perkembangan industri otomotif di Indonesia cenderung bertumbuh, ditandai dengan pergerakan jumlah volume penjualan yang terjual yaitu bergerak dari 72 ribu unit dari tahun 1996 sampai mencapai puncaknya di tahun 1997 sebesar 387 ribu unit, akan tetapi dengan adanya krisis ekonomi di tahun 1997, penjualan unit mobil turun secara drastis dan menyentuh angka hanya sebesar 58 ribu unit. Namun pemulihan kembali terlihat di tahun 2000, dimana penjualan mobil sudah kembali mencapai angka 300 ribu unit.
Perkiraan besarnya pasar untuk tahun-tahun ke depan, diharapkan bisa mencapai angka 400 ribu unit. Membesarnya pasar, belum tentu diikuti oleh besarnya pangsa pasar yang dapat diraih oleh setiap pemegang merek, karena kue tersebut harus dibagi ke beberapa puluh pemain, antara tahun 1971-1978 ada 35 merek, tahun 1979-1988 ada sekitar 27 merek, tahun 1989-1992 ada 23 merek, tahun 1993-1998 dengan masuknya Timor sehingga menjadi 24 merek, dan terakhir di tahun 1999 sampai sekarang kurang lebih 31 merek.
Belum lagi jika dikupas, ada beberapa tipe mobil yang ada, yaitu kelas commercial dan non commercial, jadi ada sekitar puluhan tipe mobil yang beredar di Indonesia. Secara nasional diperhitungkan ada kapasitas produksi terpasang sebesar 750 ribu unit/tahun, akan tetapi yang baru digunakan sekitar 400 ribu unit/tahun dan produksi aktual baru mencapai 300 ribu unit/tahun. Gambaran ini menunjukkan bahwa industri otomotif di Indonesia dijalankan dengan kapasitas yang masih rendah. Sebagai gambaran, bahwa penjualan Toyota di Amerika saja sudah mencapai 1,9 juta unit/tahun. Data-data menunjukkan bahwa pasar di Indonesia belumlah cukup besar untuk menampung sedemikian banyaknya pemain di Indonesia.
Pemerintah dalam konteks Sistem Inovasi Nasional pada dasarnya sudah memberikan banyak insentif untuk memajukan industri otomotif ini, akan tetapi belum fokus melihat rantai industri pendukung lainnya yang diperlukan untuk memajukan industri otomotif. Pada tahun 1974, pemerintah menganjurkan untuk impor kendaraan bermotor (KBM) harus dalam keadaan Component Knock Down (CKD), sehingga memungkinkan hidupnya perusahaan perakitan dan memberikan lapangan pekerjaan di Indonesia. Peraturan ini sedikit banyak membantu proses belajar teknologi di Indonesia. Setelah itu meningkat, yaitu di tahun 1976, adanya keharusan menggunakan komponen buatan lokal. Sejalan dengan kebijakan ini, mulailah tumbuh industri komponen. Pemerintah mulai lebih berani dengan mengeluarkan peraturan yang mengharuskan adanya proses machining untuk komponen utama seperti: mesin, transmisi dan axle serta manufacturing untuk body di tahun 1986. Dilanjutkan dengan memberikan pola insentif terhadap pencapaian penggunaan komponen lokal, meskipun masih dipercayakan untuk melakukan self assessment. Dukungan ini dipertajam dengan adanya larangan untuk melakukan impor mobil-mobil CBU.
Toyota Astra Motor yang memproduksi kijang, yang hampir memiliki pangsa pasar 65% di segmennya cukup berambisi menekuni kebijaksanaan pemerintah dengan harapan akan memperoleh insentif yang lebih besar. Selanjutnya dapat menjual kijang dengan lebih murah karena dapat mencapai persyaratan pencapaian komponen lokal 60%. Kemauan ini dinyatakan dengan membangun Sunter Plant II di area seluas 64.000 m2 dengan bangunan sebesar 30.000m2 untuk Stamping Plant, lalu di lokasi yang sama dengan luas tanah sebesar 65.000 m2 dan bangunan sebesar 19.000 m2, pada tahun 1982 dibangun Casting Plant. Dimana sejak tahun 1973, TAM sudah memiliki Assembly Shop di areal sebesar 98.000 m2 dan bangunan sebesar 76.000 m2 di Sunter II, guna memproduksi semua mobil Kijang, sementara itu ada rencana membangun pabrik di Karawang untuk semua mobil sedan.
Pembangunan pabrik di Karawang sebagai suatu one stop fabric, karena sebagian besar proses produksinya sudah berada di satu lokasi, mulai dari Stamping Plant (6.000 m2), Welding Shop ( 20.000 m2), Painting Shop (13.200 m2), Assembly Shop ( 24.000 m2), Painting Part Shop ( 8.000 m2) dan Kantor (7,000 m2). Ambisi untuk menjadi mobil nasional ternyata pupus, setelah Pemerintah mengeluarkan Program Mobnas untuk Timor di tahun 1996. Kelanjutan untuk membangun Transmisi Plant pun ditunda. Meskipun tahun 1998, program Mobnas dicabut, akan tetapi Astra International maupun perusahaan lain di Indonesia mengalami krisis keuangan. Jadi, jangankan untuk membangun rantaian pabrikasi lanjutan, untuk mempertahankan hidupnya pun Astra sebagai pemegang saham sebesar 51% di TAM harus melakukan Debt Reschedulling, dimana salah satu persyaratannya adalah diharuskan menjual beberapa anak perusahaannya guna melunasi hutang yang tiba-tiba menggelembung 4-5 kali akibat perubahan kurs Rupiah-Dollar. Persoalan internal belum selesai, disusul lagi dengan aturan main yang diciptakan oleh negara-negara besar dalam konteks globalisasinya, dimana WTO meminta untuk dicabutnya pola insentif, adanya liberalisasi, dibukanya impor CBU dan diturunkan pajak/bea masuk. Peraturan ini memaksa pemain lokal seperti Astra harus keluar dari selimut proteksi Pemerintah dan dimulailah arena permainan baru.
Awal tahun 2003, Astra harus rela melepas divisi manufacturing Toyotanya ke TMC (Toyota Motor Corp.) dengan harga 256 juta dolar, dan dibentuklah Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) dimana Astra hanya memiliki saham sebesar 5% sedang 95% dimiliki oleh TMC. Kepemilikan TAM, yang hanya sebagai distributor company tetap tidak berubah yaitu 51% Astra dan 49% TMC. Apakah dengan perubahan kepemilikan ini akan terjadi transfer teknologi yang lebih cepat di TMMIN, mengingat besarnya kepemilikan TMC di perusahaan tersebut? Hal ini dapat dilihat di kemudian hari dan harus ada keberanian pemerintah untuk menyatakan sasarannya dalam bidang teknologi ini.
Sebelum menjawab hal tersebut, berikut ini adalah uraian apa yang telah dan sebenarnya dikerjakan di TAM (manufacturing,) dan bagaimana pandangan atau policy TMC sendiri dalam menjadi pemain di arena international, sehingga kita dapat menjawab apakah transfer teknologi ini sudah terjadi atau belum.
Toyota Management System
Dalam menjalankan perusahaan raksasanya, Toyota menggunakan Toyota Management System yang pada dasarnya mengkaitkan beberapa fungsi-fungsi yang dominan yang ada dalam perusahaannya (Toyota Management System, Yasuhiro Monden). System yang terpadu ini bertujuan tidak lebih adalah ingin mencapai effectiveness, karena dengan mencapai effectiveness ini berarti perusahaan akan mampu bereaksi terhadap perubahan-perubahan lingkungan dan mencapai tujuannya dengan efisien dan bebas dari pemborosan atau kesia-siaan.
Tujuh fungsi yang penting ini adalah :
1. Production Management
2. R & D Management
3. Sales Management
4. Financial Management
5. Cost Planning
6. Organizational Management
7. Planning of International Production Strategy
TMC hanya menekankan pada fungsi financial management guna mencapai keseimbangan antara perolehan modal dan penggunaan modal tersebut. Jadi tidak hanya mengejar besarnya portofolio produk yang akan diproduksi, akan tetapi juga membaca kemungkinan kembalinya dengan profit tertentu. Untuk memproduksi satu model saja sudah harus menginvestasi sebesar 365 juta dolar. Untuk itu dari awal perencanaan, team Finance atau Accounting sudah ikut berdiskusi untuk merealisasikan produksi suatu produk baru yang ber-profit dengan melakukan Target Costing System, diikuti setelah berproduksi pun mereka terus melakukan perbaikan di bidang pembiayaan dengan ber-"Kaizen Costing System".
Organisasi Toyota dijalankan dengan sistem sentralisasi, untuk itu mereka sangat memperhatikan masalah Cooperation dan Coordinating dalam mengimplementasikan Quality Control, sehingga Cross Function Meeting merupakan keharusan bagi company ini, begitu juga untuk anak-anak perusahaannya. Organisasinya juga terkenal sebagai "Flat Organization, karena penerapan "just in time dalam segala lini. Selain itu, perusahaan juga sangat memperhatikan Sales Management, mengingat besarnya produksi sangat tergantung pada berapa besar produknya dapat diserap oleh masyarakat pembeli. Tidak heran kalau mereka sangat memperhatikan jumlah sales outlet dan kemampuan tenaga penjualan.
Di dalam mengembangkan produk baru, proses yang biasa terjadi memerlukan waktu kurang lebih 43 bulan, yaitu meliputi proses market surveys, new product planning, exterior and interior design, body and main parts design, prototype fabrication and testing, dan line setup. Untuk setiap tipe model, TMC menentukan satu orang Chief Engineer yang bertanggung jawab untuk keseluruhan proses dalam perencanaan sampai komersialisasi produk baru tersebut. Bagaimana informasi dari end user ke dealer dan sampai ke tangan pabrikan dan bagaimana mengelola para supplier? TMC mengembangkan apa yang dinamakan Production Management System, yang terdiri dari Strategic Information System (SIS), yang menyediakan network yang dapat menyalurkan semua informasi tentang sales (penjualan). Dan untuk memproses data-data tersebut, TMC mengembangkan Computer Integrated Manufacturing (CIM), sedangkan untuk menggerakkan pabrik agar dapat berjalan dikembangkan Kaizen System dan dalam production system dilanjuti dengan Just in Time.
Selain itu ada beberapa permasalahan atau isu yang dihadapi oleh TMC dalam percaturan global, antara lain :
1. Akuisisi perusahaan asing
2. Pembentukan joint venture dengan perusahaan asing
3. Produksi berdasarkan kontrak
4. Transfer teknologi
5. Produksi Original Equipment Manufacturer (OEM)
6. Ekspansi independen
Strategi akuisisi adalah perusahaan otomotif asing (perusahaan pembuat kendaraan bermotor) yang membeli perusahaan otomotif lokal secara keseluruhan dan menjalankan produksi dan pengadaan barang dengan menggunakan fasilitas perusahaan yang tersedia. Contoh Lotus British Automobile Company diakuisisi oleh General Motors (USA), Maserati (Italia) diakuisisi oleh Chrysler dan lain-lain. Masalah ini merupakan ancaman bagi TMC dalam mengembangkan posisinya untuk merebut pasar, karena untuk membangun satu company baru memakan waktu yang cukup banyak, sementara pesaing banyak menggunakan strategi ini. TMC ataupun perusahaan Jepang lainnya lebih suka melakukan joint venture dibandingkan menggunakan pola yang pertama. Hal tersebut dapat dilihat dalam Tabel 6.13 dan 6.14.
Di samping joint venture,, TMC banyak melakukan perjanjian kerja sama/kontrak dengan Volswagen untuk memproduksi Toyota kelas mini, seperti pick up di Jerman Barat untuk pasaran Eropa. Keberatan TMC dalam menjalankan strategi ini adalah kekhawatiran mereka akan ketersediaan teknologi di mitra lokal, sementara produk yang dihasilkan akan dijual melalui jaringan distribusinya Toyota, akan tetapi cara-cara ini dilakukan untuk mengurangi resiko modal.
Perjanjian transfer teknologi telah banyak dilakukan oleh TMC untuk negara-negara seperti Korea Selatan dan Taiwan, begitu juga untuk perusahaan-perusahaan kecil di Eropa dan Amerika Utara, dengan syarat adanya kesiapan dalam alih teknologi di mitra lokalnya, begitu juga dengan dananya. Ada juga pola yang lain, seperti melakukan Direct Production Expansion.
Tabel 6.14. Major Examples of Direct Production Expansion by Japanese Automakers in Europe and North America
Toyota kebanyakan memilih pola gambar di bawah ini, yaitu Contracted Production, Technology Transfer, dan Receive Finished Vehicles.
Ada beberapa pola yang digunakan oleh pesaing Toyota seperti Mazda, Daihatsu, Mitsubishi, Isuzu dan Suzuki dalam memainkan peranannya di market international, dapat dilihat dari Gambar 6.2.
Sementara itu Toyota lebih menyukai pola seperti Gambar 6.3.
Beberapa problem yang cukup mendapat perhatian dari Toyota dalam memantapkan fasilitas produksi di luar negeri: antara lain adalah masalah komponen lokal. Masalah komponen lokal ini merupakan permasalahan yang peka antarnegara, semakin membesarnya mobil yang dijual di suatu pasar, makin besar komponen yang dipakai atau digunakan. Toyota sendiri berkepentingan untuk menyebarkan ketergantungan komponen-komponen ini baik secara kapital maupun resiko kegagalan. Akan tetapi Toyota sendiri mempunyai standar tertentu untuk memakai komponen mobil tersebut, sehingga Toyota juga tertarik untuk membawa rekanannya di Jepang untuk berusaha di negara dimana Toyota akan membangun pabrik mobilnya. Lagipula dengan berkembangnya industri komponen di negara luar tersebut, ketergantungan secara fisik atau jarak menjadi berkurang.
Yang perlu dicermati dalam hal ini adalah keberanian Astra dalam mengajak juga rekanan Toyota untuk berusaha di Indonesia, misalnya dengan mengajak Aisin, Nippon Denso dll. Kemampuan Astra dalam ber-joint venture dengan rekanan pabrikan Jepang ini tidak diragukan lagi yaitu dengan adanya Astra Oto Part (AOP).
Dalam mengembangkan produk barunya, Toyota rata-rata memerlukan waktu kurang lebih 43 bulan, yang meliputi beberapa tahapan seperti :
- Planning
- Product Development
- Production Preparation
- Production
Pengerjaan di tiap tahapan ini bukanlah sekuensial, akan tetapi ada juga beberapa pekerjaan yang dilakukan secara paralel. Tahapan ini terbagi menjadi dua kelompok, yaitu tahapan planning yang dilakukan langsung di TMC, Jepang dan bagian lain dikerjakan di TAM, Indonesia.
Pekerjaan yang dikerjakan langsung di Jepang adalah:
- Desain baik eksterior maupun interior
- Body Engineering
- Component Engineering; meliputi:
1. Engine
2. Chasis
3. Drive Train
4. Hectronics
- Prototype Production
- Evaluasi
- Persiapan produksi
- Cost Management
- Mass Management
Kedisiplinan dalam time management, Toyota sangat kuat, n-43 bulan ketika Chief Engineer mengumumkan tentang dimulainya suatu proyek pengembangan produk baru, yang dinamakan CE Image. Ketika akan mengumumkan CE Image ini, tim dari TAM Indonesia pun sudah diundang untuk mengikuti jalannya setiap proses yang akan dilalui. Dalam hal ini, engineer TAM pun sudah banyak yang mengikuti dari tahap awal. Tahun 2003 sudah ada tim dari Indonesia yang memenangkan beberapa desain, baik desain eksterior maupun interior.
Untuk desain eksterior maupun interior, akan memerlukan waktu kurang lebih 20 bulan, mulai dari penuangan konsep, idea sketch sampai rendering, lalu dibuat Full Scale Clay Model dan terakhir dibuatkan Full Scale Exterior Drawing.
Sementara itu, di bagian Body Engineering dimulai dari concept study sampai production drawing release, yang bisa menghasilkan sampai puluhan ribu gambar. Begitu juga di bagian Component Engineering. Di bagian Prototype Production bisa dilakukan sampai beberapa kali pembuatan proto dan dievaluasi terus menerus. Setelah Proto tersebut cukup memuaskan, spesifikasinya yang dinamakan Homologation Vehicle akan diserahkan ke negara dimana mobil tersebut akan diproduksi atau dijual untuk disesuaikan dengan regulasi yang berlaku di negara yang dituju. Beberapa hal yang dievaluasi, misalnya adalah standar safety/rem dan bahan bakar. Untuk di Indonesia, materi ini dikirim ke 2 departemen yaitu Departemen Perindustrian dan Departemen Perhubungan, untuk nantinya diperoleh sertifikat uji layak jalan. Kekuatan Toyota Management System ini tampak kuat sekali, terutama kesepakatan untuk menjual mobil yang terjangkau atau yang sesuai dengan segmen market-nya. Jadi dari awal sudah ditekankan bukan saja kemampuan untuk menghasilkan produk mobil, akan tetapi dikontrol dengan ketat untuk setiap biaya produksi per komponen (part) agar total biaya produksi yang sudah diperkirakan tidak terlampaui. Divisi ini men-deploy total cost target, menjadi cost target dan masing-masing bagian, lalu di-deploy lagi sampai ke masing-masing cost target dari tiap komponen. Disini berkumpul kurang lebih 1200 supplier komponen.
Di Mass Management dibahas bagaimana dapat menghasilkan bukan saja mobil yang baik, tapi juga mobil yang tidak berat. Uji coba dilakukan berkali-kali, kurang lebih sampai memakan waktu 20-25 bulan.
Mengamati bagian pekerjaan yang terpusat di Jepang, adalah:
1. Pekerjaan ini menuntut investasi yang begitu besar, baik dari segi financial maupun sumber daya manusia. Dapat dibayangkan kalau satu tipe produk saja dipimpin oleh satu Chief Engineer yang membawahi puluhan engineer lain di setiap divisi, maka dapat dibayangkan ada berapa banyak yang dibutuhkan. TMC bisa membuat average cost dalam human resources investment menjadi menurun karena begitu banyaknya produk yang akan dikembangkan, sehingga secara matriks sudah selesai di proyek A, tersebut bisa bergabung ke proyek lainnya, misal B.
2. Technological Capability untuk industri mobil bukanlah sesuatu yang gampang dipelajari. Ini merupakan fungsi dari pengalaman dari sejumlah individu, organisasi dan pemerintah.
Jadi, bukan sekadar kemampuan berproduksi, akan tetapi lebih dari itu yaitu kemampuan mengelola semua resources, mulai dari planning sampai mass production dan pengulangannya dengan biaya produksi yang dapat dipertanggungjawabkan, yaitu berupa harga jual yang dapat diterima oleh konsumen.
Sudahkah Astra menjalankan Tugasnya ?
Melihat uraian di atas dan perbedaan yang dinyatakan oleh Limsu Kim, perlu dicermati perbedaan antara Technological Capability dan Production Capability, maka dapat disimpulkan bahwa Astra belum melakukan atau belum sepenuhnya mampu mengalihkan atau memiliki Technological Capability. Dalam hal ini, dapat dikatakan TAM baru memiliki Production Capability. Apakah ada harapan untuk menuju penguasaan Technological Capability? Untuk menjawab tantangan ini, dicoba menggunakan pendekatan Cluster Diamond dari Michael Porter.
1. Factor/Input Condition. Ketergantungan yang besar terhadap prinsipal, terutama untuk prinsipal yang sudah memiliki brand equity yang tinggi, seperti Toyota, Mitsubishi, Honda, Suzuki dan lain sebagainya. Tidak semua teknologi akan ditransfer ke Indonesia, seandainya pun prinsipal tersebut bersedia, ketersediaan dana di level perusahaan rata-rata di Indonesia belumlah memadai. Keterbatasan untuk mendalami management sales pun kurang dihargai di Indonesia. Mengingat pengetahuan akan lokasi adalah bekal dalam mengembangkan outlet-outlet, maka seharusnya kekuatan ini terus dikembangkan, misalnya informasi tentang penjualan mobil, lokasi yang potensial serta industri penunjang lainnya, misalnya industri baja yang mumpuni pun belum ada di Indonesia.
2. Demand Condition. Market otomotif di Indonesia diperkirakan masih memerlukan waktu kurang lebih 5 tahun untuk menyamai market di Thailand, yaitu kurang lebih 500 ribu unit/tahun. Belum lagi dengan bervariasinya keinginan pembeli akan berbagai tipe mobil dan merek, sehingga dapat dikatakan bahwa demand condition untuk industri otomotif bukan poin yang begitu positif. Akan tetapi jika AFTA diberlakukan dan kemungkinan adanya pasar bersatu di ASEAN, diharapkan market otomotif ini akan cukup menarik yaitu bisa mencapai sekitar 1,5 juta unit/tahun bahkan bisa mencapai kurang lebih 2,5 juta unit/tahun di tahun 2008.
3. Context for Firm Strategy, Stucture and Rivalry. Persaingan yang cukup dominan diantara pelaku bisnis antarmerek, menimbulkan poin positif dari konteks persaingan harga. Belum lagi ijin dari Pemerintah yang memperbolehkan misalnya bus/truk bekas untuk diimpor.
4. Related and Supporting Industries. Kemauan dari prinsipal juga untuk mengembangkan related ataupun supporting industries, misalnya komponen-komponen mobil untuk berusaha di Indonesia, membuat industri ini cukup berkembang.
Dari analisa di atas, nampak bahwa competitiveness dari industri otomotif ini sangatlah terbatas, apalagi jika diserahkan kemajuannya hanya pada sektor swasta atau di level perusahaan. Banyak bagian yang harusnya menjadi tugas rumah bagi Pemerintah untuk membangun industri ini.
Penutup
Sebagai penutup dari subbab ini, ada beberapa hal yang dapat dilakukan Pemerintah untuk mengembangkan kemampuan teknologi industri otomotif di Indonesia yaitu :
Pertama, harus ada keberanian dari Pemerintah dalam menentukan arah pertumbuhan industri otomotif ini, artinya apakah memang tepat untuk Indonesia memiliki industri otomotif, ataukah hanya memiliki industri komponen atau otomotif related industries saja, sehingga tidak membingungkan pemain dalam sektor industri ini. Jika memang terkonsentrasi untuk menjadi "pedagang" mobil saja, maka segala pengetahuan, skill, pengalaman yang berkaitan seharusnya dibundle dengan baik menjadi sales management yang lebih baik.
Kedua, jika pilihan tetap ingin memiliki industri otomotif, mulailah melakukan blueprint jangka panjang terutama dari persiapan input yang dibutuhkan untuk industri otomotif, yaitu terutama industri baja. Kejelasan dalam kebijakan yang diterapkan, karena bermain di industri ini bukanlah pemain yang bisa mengharapkan payback yang pendek. Sebagai gambaran, untuk membangun satu showroom saja membutuhkan kurang lebih Rp 15-25 miliar, dan dengan kemampuan jual seperti Toyota kurang lebih 150 unit/bulan, serta bunga untuk modal kerja dan lain-lain sekitar 8%, diperlukan waktu pengembalian kurang lebih 8-10 tahun. Apalagi membangun suatu pabrik mobil.
Ketiga, dibutuhkan keberanian untuk melakukan investasi dibidang sumber daya, dengan cara membangun universitas yang berafiliasi langsung dengan industri otomotif ini, sehingga para mahasiswa tidak saja belajar hal-hal yang bersifat eksplisit, akan tetapi yang lebih penting dapat memiliki tacit knowledge-nya. Juga berani melakukan pembelajaran langsung ke negara yang kuat industri otomotifnya, misalnya Jepang, Korea maupun Taiwan.
DR. Zulkieflimansyah, Ph.D. © 2010
Read more...